Sunday, December 21, 2014

22 Desember: Hari Ibu, Hari Pergerakan Wanita Indonesia

Diambil dari Blog Bung Aslam (Kaderisasi)

https://aslamanandarizal.wordpress.com/2014/12/22/22-desember-hari-ibu-hari-pergerakan-wanita-indonesia/


Setiap tanggal 22 Desember di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Ibu. Di media sosial, hari tersebut selalu menjadi trending topic. Namun banyak yang tidak mengetahui mengapa tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Ibu. Pada 22-25 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Hari pembukaan kongres tersebut -22 Desember- ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959 sebagai Hari Ibu. Penetapan tersebut berdasarkan SK Presiden RI No. 316/1959. Kongres Pertama Indonesia yang pertama disebut sebagai titik awal pergerakan wanita Indonesia.

Melihat kondisi wanita Indonesia pada masa sekarang cukup memprihatinkan. Pergerakan wanita Indonesia saat ini seperti macan ompong. Para wanita dari kelas menengah ke atas banyak yang terlena dengan gemerlapnya dunia. Dari golongan sosialita, hingga remaja. Banyaknya pusat hiburan dan perbelanjaan di perkotaan  membuat para wanita semakin jauh dari nilai-nilai perjuangan yang dipelopori oleh R.A. Kartini yang diteruskan oleh Dewi Sartika, Rohana Kudus, dan lain-lain pada masa kolonial. Sementara para wanita dari kelas menengah ke bawah, masih banyak yang tertindas.
Berkali-kali media di Indonesia memaparkan kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga yang kebanyakan wanita, tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, dan buruh wanita terutama yang paling terkenal pada kasus Marsinah di penghujung masa Orde Baru. Seperti kata Soekarno, JAS MERAH: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Memang benar. Di saat ramainya ucapan selamat Hari Ibu di mana-mana. Marilah kita mempelajari sejarah awal pergerakan wanita Indonesia. Hal tersebut menjadi refleksi bagi para wanita Indonesia saat ini untuk tidak melupakan perjuangan para Srikandi bangsa demi keadilan bagi wanita. Juga untuk menyadarkan bahwa 22 Desember bukan hanya Hari Ibu, tetapi Hari Wanita Indonesia.
Menatap 2015, pemerintah harus semakin memperhatikan nasib kaum wanita Indonesia yang tertindas. Dunia pergerakan wanita di Indonesia yang mati suridi masa Orde Baru dengan dominasi PKK & Dharma Wanita, harus digalakkan kembali. Propaganda mengenai pentingnya wanita di Indonesia untuk bergerak melawan ketidakadilan harus diperbanyak.  Perlu ada reformasi bagi organisasi-organisasi wanita di Indonesia saat ini.
SEJARAH PERGERAKAN WANITA INDONESIA
Pergerakan wanita Indonesia pada masa kolonial diawali dari perjuangan untuk meninggikan kedudukan sosial. Menurut A.K. Pringgodigdo, soal-soal politik seperti hak-pemilihan sama tidak menjadi perundingan, sebab kaum laki-laki pun tidak mempunyainya, soal kemerdekaan tanah air sama sekali masih jauh dari padanya. Bagi kaum wanita pada masa itu, paham tentang budi pekerti, keagamaan dan adat, masih menjadi rintangan tersebsar baginya untuk dapat bertindak jauh daripada apa yang dekat-dekat terletak didepannya saja. Hal pertama yang menggerakan kaum wanita untuk bergerak adalah masalah pernikahan dan hidup keluarga. Banyaknya kawin paksa, poligami, kekuasaan mutlak kaum laki-laki dalam pernikahan menyebabkan berontaknya kaum wanita.
KARTINI: PELOPOR KEBANGKITAN WANITA INDONESIA
Raden Ajeng (R.A) Kartini, yang telah dinyatakan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1964, dan tanggal lahirnya masih dirayakan sebagai hari raya nasional, lahir pada 21 April 1879 dari keluarga yang bermadu. Ayahnya adalah Raden Mas Adipati Sosroningrat, Bupati Jepara. Ibunya adalah istri pertama Bupati itu tetapi secara sosial ibunya adalah istri kedua setelah garwa padmi atau istri pertama yang resmi. Ia dinikahi secara resmi, tetapi karena keturunan golongan rendah, hanya bisa menjadi garwa selir (istri simpanan)[1].
Pandangan umum berdasarkan buku-buku mengenai sejarah pergerakan wanita Indonesia menjelaskan bahwa Kartini adalah pelopor dari pergerakan tersebut. A.K. Pringgodigdo menganggap bahwa pergerakan wanita dalam permulaannya di masa kolonial adalah gerak dari seseorang yakni Kartini. Cita-cita Kartini semakin menyebar dan wanita-wanita Indonesia lain mulai ikut bergerak untuk maksud yang sama yakni pendidikan dan pengajaran untuk kaum wanita. Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia setelah rekannya seorang Kepala Departemen Pendidikan pemerintah kolonial sejak tahun 1900 –J.H Abendanon- pada tahun 1911 menerbitkan tulisan-tulisan Kartini yang merupakan surat-menyurat dengan dirinya berbahasa Belanda yang ia beri judul Door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Kartini sering dijadikan sebagai referensi utama bagi bangkitnya kesadaran kaum wanita Indonesia pada masa kolonial dan diikuti pada masa berikutnya hingga saat ini. Cora Vreede-De Stuers menyebut Kartini sebagai salah satu tokoh penting dari “para pelopor gerakan feminis”.  Kartini lahir di era transisi antara zaman feodal yang ditandai dengan corak ekonomi tanah (agraris) dan awal-awal bagi tumbuhnya industrialisasi modern, yang waktu itu didominasi industry perkebunan (cultuurstelsel)[2].
Pandangan Kartini yang universal tentang kaum wanita dan manusia telah menempatkannya sebagai tokoh yang memang layak diteladani oleh wanita modern saat ini. Berbeda dengan wanita saat ini yang begitu membanggakan diri akan zaman modern ketika struktur dan kultur pasar bebas (kapitalisme) memenjarakan mereka dalam gaya hidup satu dimensi. Kartini pada zamannya justru mempertanyakan tatanan feodal (kebangsawanan) yang mengungkungnya, yang membuatnya bertanya dan menggugat tradisi yang berkembang untuk memasung kemanusiaan[3]. Meskipun menentang poligami, namun Kartini tak kuasa menolak paksaan keluarga untuk menikahkannya dengan R.M. A.A. Djojohadiningrat, Bupati Rembang saat itu. Kartini meninggal setahun berikutnya, 1904, saat melahirkan anaknya.
Gagasan-gagasan Kartini menyebar begitu cepat dan menggerakkan kaum wanita Indonesia pada masa kolonial untuk mendobrak tatanan lama dalam masyarakat daerah. Semangat emansipasi wanita dan kesetaraan gender pasca wafatnya Kartini semakin tinggi di berbagai daerah di Hindia-Belanda. Tujuan utamanya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada kaum wanita agar tidak terbelakang dan selalu di bawah kekuasaan laki-laki. Pasca diberlakukannya politik Etis oleh pemerintah kolonial, banyak anak-anak bangsawan yang memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan. Hal tersebut membuat pemikiran orang-orang bumiputera semakin sadar untuk melawan penindasan yang ada. Pendidikan yang berbasis rasionalitas ala Barat, membuat rasionalitas para orang-orang bumiputera meningkat. Akibat pendidikan tersebut, muncul banyak organisasi orang-orang bumiputera dari berbagai kalangan yang didirikan hampir berbarengan. Di awali dari Budi Utomo yang berdiri pada 20 Mei 1908, hari tersebut kelak dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada tahun 1912 berdiri organisasi wanita pertama di Hindia-Belanda bernama Putri Mardika. Organisasi yang didirikan dengan bantuan Budi Utomo tersebut bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Setahun berikutnya pada berdiri organisasi Keutamaan Istri yang didirikan Dewi Sartika. Bertujuan untuk mengadakan rumah-rumah sekolah untuk anak-anak perempuan. Pada tahun tersebut pula berdiri badan-badan untuk mengadakan sekolah-sekolah Kartini. Selain itu, terdapat pula perkumpulan-perkumpulan kaum ibu yang memajukan kecakapan wanita seperti menjahit, memasak, memelihara anak, dan sebagainya. Di antaranya adalah Pawiyatan Wanito di Magelang, Wanito Susilo di Pemalang, Wanito Hadi di Jepara, dan lain-lain. Menurut A.K. Pringgodigdo dalam bukunya Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, karakter dari perjuangan wanita pada masa awal pergerakannya di masa kolonial adalah gerakan perbaikan kedudukan dalam pernikahan, hidup keluarga, dan kecakapan sebagai seorang ibu. Gerak wanita pada masa ini tidak saling menyerang dan dengan pelan-pelan. Pergerakan tersebut pada masa ini tidak bersifat politis, menyerang golongan Islam yang tidak menolak poligami, laki-laki, dan pemerintah kolonial.
Organisasi-organisasi wanita pada masa Hindia-Belanda tersebut menjadi politis baru terlihat pada sekitar tahun 1920-an, ketika organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain memiliki divisi khusus wanita. Pada periode tersebut (1920-an) pula muncul sejumlah bentuk protes yang terorganisasi pertama melawan masalah semacam pelacuran dan perdagangan perempuan. Menurut Petrus Blumberger, di Jawa Barat perhimpunan perempuan seperti Maju Kemuliaan di Bandung dan Hati Suci, bersuara tegas melawan kejahatan tersebut.
KONGRES PEREMPUAN I: TONGGAK AWAL PERGERAKAN WANITA INDONESIA
Kongres Perempuan Indonesia yang pertama diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Dihadiri oleh 30 perkumpulan wanita. Diantara pendorong-pendorong kongres tersebut adalah Putri Indonesia, Wanito Katolik, Wanito Mulyo, Wanito Utomo, Aisyiyah, Jong Islamieten Bond bagian wanita, Sarekat Islam bagian wanita, Jong Java bagian wanita, dan Wanita Taman Siswa. Kongres tersebut dipimpin oleh Nyonya Soekonto. Dalam kongres tersebut diambil keputusan: mendirikan Badan Permufakatan perkumpulan-perkumpulan wanita dengan nama Perikatan Perhimpunan Perempuan Indonesia (PPPII) yang bertujuan untuk memberi penerangan dan perantaraan kepada perkumpulan yang tergabung di dalamnya. PPPII akan memberikan dermasiswa / beasiswa untuk anak-anak perempuan yang pandai dan tidak mampu, mengadakan kursus-kursus tentang kesehatan, memberantas pernikahan anak-anak, dan memajukan kemajuan untuk anak-anak perempuan[4].
Dalam kongres tersebut juga terjadi kesepakatan untuk membuat tiga mosi kepada pemerintah kolonial, yakni menambah sekolah untuk anak-anak perempuan, pemberian keterangan ta’lik pada waktu nikah, mengadakan peraturan untuk menyokong janda-janda dan anak-anak piatu pegawai negeri Hindia-Belanda. Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan ini, hari pembukaan kongres tersebut, 22 Desember (1928), ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959 sebagai Hari Ibu. Penetapan tersebut berdasarkan SK Presiden RI No. 316/1959. Itulah yang dikenal sebagai Hari Ibu saat ini. Sejatinya, 22 Desember bukan hanya Hari Ibu, tetapi juga Hari Pergerakan Wanita Indonesia.
[1]  Saskia Eleonora Wieringa, Hesri Setiawan (penerjemah), Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, 1999, Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra, hlm. 98-99
[2]  Nurani Soyomukti, Perempuan di Mata Soekarno, 2009, Yogyakarta: Garasi, hlm. 30
[3]  Ibid., hlm 32
[4]  Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Masyarakat, 1981, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.171-172

Thursday, December 4, 2014

Mencintai Indonesia (Untuk anak cucu kami)



Mencintai Indonesia
(Untuk anak cucu kami)
Satu alasan,,
Betapa negeri ini terlalu indah untuk dibenci
Sungguh keberagaman menjadi hal mutkak
Identitas bangsa yang dibangun diatas persamaan nasib
Ukiran semangat dan kerja keras menjadi kebanggaan setiap insan
Keindahan setiap lekuk tubuh ibu pertiwi
Memebentuk kegamuman kami terhadap sang Khalik
Dari kami yang mencintai bangsa dan tanah surga ini
Bukankah banyak masalah?
Benar  nak, banyak masalah, teramat banyak untuk dihitung
Adalah mereka yang tidak mencintai bangsa ini penyebabnya
Usirlah mereka nak dari peradaban sejarah
Para perusak....
Suatu hari kelak ...
Akan ada senyum yang menghiasi setiap langkah tegapmu nak
Ceritakanlah, ceritakanlah nak betapa kami bangga
Kami bangga di dilahirkan di tanah yang kau injak sekarang
Damai dan tenang tidur diatas awan keberagaman
Ceritakanlah kepada anak cucu nanti nak
Betapa sudah lamanya kami mencari alsan untuk membenci bangsa ini
Ceritakanlah,ceritakan nak
Betapa banyaknya sampah di negara ini
Tapi ceritakanlah pula betapa kami mencoba pungut  satu persatu
Ceritakan juga betapa banyaknya borok di setiap lekuk tubuhnya
Kami coba obati dengan sebisa kami
Wariskanlah nak, wariskanlah kecintaan kami ini
Suatu hari nanti kau akan tahu
Betapa Semua itu adalah kebenaran nak
Saat semilir angin telah berhenti mengaliri darahmu


Matahari di ujung tanah anarki



Matahari di ujung tanah anarki
Terbit laksana senja di pagi hari
Mungkinkah?
Mungkin saja,senja di pagi hari
Ketika yang belum saatnya tiba tibalah sudah
Tak ada beda baik dan jahat
di tanah anarki
Ajakan pagi dari sebuah sore kelam
Di tanah anarki
Dimana penindasan dihalalkan
Kemunafikan dijunjung tinggi
Keberagaman dipandang rendah
Dan kejujuran tiada berharga
Sebenarnya ada hal yang paling gila di dunia ini
Kebohongan terhadap diri sendiri
Terlalu banyak jawaban kosong
Yang menenggelamkan sejarah
Sejarah peradaban di tanah anarki
Ya di tanah anarki
Lalu,,,
Seperti apa ini akan dilanjutkan
Ketika kebengisan menjadi modal utama
Dalam menentukan nasib berlaksa-laksa
Tergeletak menghampa di pinggiran asa
Tidak ada kejelasan dalam berpihak
Tiada lagi dia punya ruh kebaikan
Di tanah anarki....
Ketika seremoni dikedepankan daripada esensi
Ketika eksekusi dipentingkan daripada kemiskinan
Ketika persepsi ditandingkan dengan fakta
Di tanah anarki
Tiada perbedaan

Tuesday, December 2, 2014

UNTUKMU, PEKIK "MERDEKA!!!"

Disadur dari Blognya Bung Aslam https://aslamanandarizal.wordpress.com/2014/11/24/untukmu-pekik-merdeka/

ASLAMA NANDA RIZAL



Tersapu kian jauh
Terkikis kian habis
Yang dahulu berjaya
Kini langka yang tiba

Dahulu, kau selalu bergema

Penuh hirau akan lapisan sosial
Lambaian dan genggaman tangan
Pertanda, pertanda kau dahulu bermakna!

Dirimu masih resmi

Dirimu masih bersemi
Namun tercabik pedih ini hati
Dirimu tak lagi menyentuh dasar negeri

Kini, dimanakah dirimu?

Kau bilang, kau masih ada
Kau bela dirimu
Ah tidak, kami yang membelamu!

Tidurlah dengan lelap

Nikmatilah semilir angin
Hiruplah udara sejuk yang menyergap
Damaikanlah segenap dirimu punya batin

Cukup! Sudah cukup waktu tidurmu!

Bangunlah! Bangkit dan berjayalah!
Tak mampu? Apa? Kau bilang kau tak mampu?
Pecundang! Lemah!

Teganya, oh teganya

Peluh dan darah dahulu tersemai
Para pendahulu rela berkorban
Demi sesuatu yang indah rasanya
Ya. Terucapnya namamu dengan lantang

Kini, kami yang membelamu

Yang membangunkanmu
Dari tidur panjangmu
Yang membangkitkanmu
Dari penjajahan gaya baru

Kini, namamu selalu terucap

Getaranmu selalu terasa
Jiwamu selalu mengena
Dalam segenap kami punya cinta
Untukmu, pekik “MERDEKA!

Saturday, October 25, 2014

WHAT SHOULD JOKOWI - JK DO?

Pemerintahan Joko Widodo & Jusuf Kalla (Jokowi – JK) merupakan harapan baru bagi rakyat Indonesia. Pemenang Pilpres 2014 ini yang menjadi pemimpin bagi sekitar 250 juta rakyat Indonesia pada periode 2104-2019. Dengan banyaknya harapan yang menumpuk, Pemerintahan Jokowi – JK akan memikul beban berat. Permasalahan bangsa ini begitu banyak dan berat yang sangat sulit diselesaikan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Boediono yang baru saja berakhir, meninggalkan setumpuk permasalahan. Pemerintahan Jokowi – JK sebagai pemerintahan yang baru mewarisi permasalahan tersebut. Persebaran ekonomi, pembangunan, dan pendidikan yang belum merata, kasus korupsi pejabat yang sulit diberantas, permasalahan BBM, kriminalitas, diskriminasi terhadap minoritas, ancaman disintegrasi bangsa dengan banyaknya gerakan separatis yang ingin memisahkan dan ataupun menghancurkan NKRI, merupakan segelintir permasalahan warisan pemerintahan SBY – Boediono.
Pemerintahan Jokowi – JK diharapkan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin rasanya semua permasalahan bagi bangsa ini bisa terselesaikan. Karena masalah akan terus datang. Setelah menyelesaikan suatu permasalahan, akan timbul masalah yang baru. Maka dari itu, tidak mungkin pemerintahan Jokowi – JK menyelesaikan berbagai permasalahan “sendirian”. Pemerintahan Jokowi – JK membutuhkan bantuan rakyat. Jokowi – JK hanya sebagai komando, rakyatlah yang menjalankan komando tersebut. Jokowi – JK harus bekerjasama dengan rakyat dalam menjalankan pemerintahan.
Yang paling awal dari kebijakan pemerintahan yang baru adalah memutuskan “para penghuni kabinet yang baru”. Beberapa hari setelah dilantik menjadi Presiden & Wakil Presiden, Jokowi – JK belum memutuskan nama-nama menteri yang akan mengisi kabinetnya. Hal tersebut sangat fundamental karena para menterilah yang akan menjadi pembantu utama Presiden & Wakil Presiden dalam bertugas. Pemerintahan Jokowi – JK seharusnya memilih para menteri berdasarkan kualitas. Bukan kepentingan partai politik. Bukan bagi-bagi kursi. Bukan bagi-bagi kue. Sebagai langkah awal pemerintahannya, Jokowi – JK harus membuktikan kepada rakyat bahwa mereka akan menjalankan pemerintahan dengan baik. Para menteri haruslah orang-orang yang berkualitas di bidangnya. Bukan karena Koalisi Indonesia Hebat sebagai kubu pendukung Jokowi – JK pada saat Pilpres. Jokowi, sebagai Presiden, sebagai Panglima tertinggi, sebagai pemegang keputusan kebijakan, harus berani tegas dan tak takut menghadapi serangan politik dari musuh maupun dari pendukungnya sendiri.
Pemerintahan Jokowi – JK harus melakukan reformasi birokrasi. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa reformasi birokrasi tidak bisa dijalankan “sendiri”. Pemerintahan Jokowi – JK tidak bisa otoriter. Mereka harus melihat realita yang ada dan merangkul seluruh elemen masyarakat untuk mendukung dan bekerjasama dengan pemerintahannya. Jika Jokowi – JK mampu merangkul rakyat, mampu membuat rakyat bekerja membantu pemerintahan, mampu membuat rakyat ikut merasa memiliki Indonesia, mampu membuat rakyat turun tangan ikut menyelesaikan permasalahan yang ada, maka pemerintahan Jokowi – JK akan berhasil.
100 hari pertama merupakan hari-hari yang sangat krusial. Karena dalam 100 hari pertama, kualitas pemerintahan Jokowi – JK akan terlihat. “Mau dibawa ke mana Indonesia” akan tertebak. Jika Jokowi – JK gagal dan ataupun mengecewakan dalam 100 hari pertama mereka kerja, maka pemerintahan akan tidak stabil, kepercayaan rakyat akan turun. Maka menurut saya pribadi, 100 hari pertama kerja merupakan hari-hari yang sangat krusial. Pada hari-hari tersebut, Jokowi – JK harus kembali merangkul rakyat terutama para pendukungnya saat Pilpres yang lalu. Jokowi – JK jangan sampai melepaskan ikatan batin dengan para relawan yang telah ikut berjuang memenangkannya di Pilpres. Jokowi – JK harus sering blusukan di 100 hari pertama kerja. Bukan untuk pencitraan, melainkan mengajak rakyat secara langsung untuk membantunya bekerja. Pendekatan secara langsung menggunakan metode blusukan merupakan suatu keharusan bagi seorang pemimpin. Dengan pendekatan personal, hubungan batin akan tercipta.
Selain blusukan mengajak rakyat mendukung pemerintahannya, Jokowi – JK dalam 100 hari pertama kerja menurut saya harus memperbanyak kunjungan ke luar negeri. Mempererat hubungan diplomatik dengan berbagai negara agar bisa tercipta kerjasama yang baik dan tidak saling merugikan. Dengan dukungan dari banyak negara akan memperlancar pergerakan pemerintahan Jokowi – JK demi mensejahterakan rakyat Indonesia.
Pemerintahan Jokowi – JK juga harus langsung memikirkan bersama jajaran penghuni kabinetnya bagaimana caranya meratakan persebaran ekonomi, pembangunan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan yang belum merata di seluruh penjuru NKRI. Secara teknis saya pribadi tidak bisa memberikan saran yang konkrit karena ilmu saya belum mencukupi untuk hal itu. Tapi saya sangat berharap kepada pemerintahan Jokowi – JK, pilihlah menter-menteri dari kalangan professional, akademisi yang ilmunya tak diragukan lagi. Jokowi – JK harus mau mengajak para ilmuwan bekerjasama untuk memajukan bangsa dan negara. Namun saya persamaan tujuan politik juga penting agar jalannya pemerintahan bisa stabil tanpa banyak gangguan. Meskipun pada penjelasan awal saya menolak Jokowi – JK bagi-bagi kursi, bukan berarti saya menolak 100% persen mengenai kepentingan politik. Kabinet Jokowi – JK harus diisi dengan mayoritas professional / akademisi, dan minoritasnya diisi oleh Koalisi Indonesia Hebat sebagai pendukung pemerintahan Jokowi – JK. Hal tersebut akan memudahkan jalannya pemerintahan. Namun dengan catatan, orang-orang dari Koalisi Indonesia Hebat yang menjadi menteri-menteri juga haruslah dari kalangan professional / akademisi. Harus diseleksi secara ketat kualitasnya. Jadi meskipun dari partai politik, kualitas dan semangatnya demi NKRI adalah hal yang paling utama.
Karena tiap menteri akan memimpin kementriannya masing-masing. Jika kementrian dipimpin oleh orang-orang yang berkualitas dan sejalan dengan apa yang diinginkan Jokowi – JK, maka pemerintahan akan berjalan lancar. Terutama kementrian yang berhubungan dengan perseberan ekonomi, pembangunan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Jika Jokowi – JK mampu memegang “elemen-elemen” tersebut, maka kemerataan niscaya bisa diwujudkan.
            Pemerintahan Jokowi – JK juga harus memperbanyak organisasi masyarakat yang bertujuan baik demi bangsa dan negara. Selain memperbanyak, Jokowi – JK juga harus merangkul seluruh organisasi masyarakat yang telah ada. Pendekatan kepada seluruh organisasi masyarakat tersebut juga harus melalui pendekatan personal agar hubungan batin tercipta. Karena organisasi masyarakat memiliki massa, maka rakyat yang tergabung maupun simpatisan dari organisasi masyarakat tersebut akan “nurut” dengan kebijakan organisasinya. Jika organisasi masyarakat tersebut mendukung dan membantu pemerintahan Jokowi – JK dengan berbagai kegiatan yang positif, hal tersebut akan memperkuat pemerintahan. Rakyat akan semakin mencintai Jokowi – JK dan akan ikut membantu pemerintahan.

            Sangat sulit memang tugas pemerintahan Jokowi – JK. Namun semua tantangan niscaya bisa dilalui jika kobaran api semangat para pendiri bangsa dan negara ini melebur ke dalam jiwa kita semua.

Wednesday, October 22, 2014

TIKUS BERDASI

Aslama Nanda Rizal


Tuhan, apa Engkau tak salah
Menuliskan dalam buku takdirmu
Menjadikan mereka sebagai wakil kami?
Yang tiada mengenal etika saat persidangan
Yang sering berteriak “interupsi!”
Kami, yang mereka wakilkan di istana hijau yang besar dan tinggi
Menyaksikan langsung dari layar televisi
Keributan para TIKUS BERDASI
Demi pertahankan kepentingan golongan sendiri
Kami selalu dibawa-bawa
Kami selalu disebut-sebut
Kami selalu dicatut-catut
Dalam kampanye, diskusi, dan orasi mereka
Tuhan, saat ini aku tiada punya kuasa
Untuk berkubang dalam lumpur kotor itu
Untuk membungkam mulut-mulut bau
Yang selalu berteriak demi bangsa dan negara
Tuhan, jika Engkau sudah mencatatkan diriku dalam buku takdirmu
Untuk menjadi bagian dari mereka di masa depan
Maka, wahai Tuhanku
Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Izinkanlah aku menjadi pahlawan

Bagi rakyat yang malang

SOSIO-DEMOKRASI

Mengikuti gerakan yang berorientasi pemikiran Bung Karno, berarti harus siap untuk terus memutar otak. Karena tidak sembarang orang bisa mengerti pemikiran Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu. Bung Karno satu-satunya tokoh nasional yang pemikirannya menjadi ideologi tersendiri. Tidak mengekor kepada ideologi maupun tokoh luar negeri yang ideologinya dijadikan dasar perjuangan suatu golongan. Ideologi Bung Karno tersebut adalah Marhaenisme. Ideologi murni bangsa Indonesia.
Marhaenisme jika dijelaskan secara singkat berarti suatu paham untuk menyelamatkan kaum Marhaen (petani kecil, buruh kecil, nelayan kecil, pedagang kecil, dan lain-lain yang kecil-kecil). Bung Karno pernah berkata “yang saya namakan kaum Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat. Atau lebih tepat: yang dimelaratkan oleh Kapitalisme, Kolonialisme & Imperialisme”. Inti daripada Marhaenisme ada tiga: SOSIO-NASIONALISME, SOSIO-DEMOKRASI, dan KETUHANAN YANG MAHA ESA. Yang ketiganya disebut sebagai TRISILA, hasil perasan daripada PANCASILA. Jadi Marhaenisme adalah PANCASILA itu sendiri.
Pada diskusi GMNI Komisariat Caretaker Geografi UGM kali ini membahas tentang SOSIO-DEMOKRASI. Apa itu Sosio-Demokrasi? Di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I, Bung Karno menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi-Politik dan Demokrasi-Ekonomi”, bahwa Sosio-Demokrasi adalah demokrasi yang berdiri dengan dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-Demokrasi bukan demokrasi ala Revolusi Perancis, bukan demokrasi ala Amerika, Inggris, Belanda, Jerman, dan lain-lain. Tetapi adalah demokrasi sejati yang mencari kebesaran politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-Demokrasi adalah demokrasi politik dan ekonomi.
Demokrasi Indonesia seharusnya tidak membebek kepada demokrasi barat yang borjuis. Dalam demokrasi barat, rakyat berhak memberikan suaranya. Rakyat juga berhak untuk duduk di parlemen. Hanya demokrasi dalam politik, namun tidak dalam ekonomi. Karena ekonomi barat dikuasai para Kapitalis Lintah Darat penghisap rakyat. Pada Revolusi Perancis, kaum proletar / buruh dan kaum miskin lainnya diajak bersama-sama oleh para kaum borjuis untuk menumbangkan Raja dan system Feodalisme. Dengan dalih “Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan”.
Rakyat jelata di Perancis yang tergiur oleh slogan tersebut turut berjuang bersama kaum borjuis tersebut. Namun setelah Raja digulingkan, Feodalisme malah berganti menjadi Kapitalisme. Pemerintahan dan ekonomi dikuasai oleh para pebisnis di Perancis demi kesejahteraan mereka sendiri. Itu yang terjadi begitu lama di Eropa, dari Perancis menyebar ke berbagai negara di Eropa. Meskipun pada perkembangannya, rakyat jelata akhirnya diberikan hak untuk bersuara dan ataupun duduk di kursi parlemen. Namun dalam perekonomian, rakyat jelata tak dapat berbuat banyak. Karena terutama Eropa Barat, menganut Liberalisme yang menurunkan system Kapitalisme. Ya, siapa yang kaya dia yang berkuasa. Persaingan bebas, perburuhan, kasta antara Budak & Majikan terjadi karena system tersebut.
Itu yang tidak diinginkan Bung Karno, maka dari itu dicetuskanlah apa yang disebut sebagai SOSIO-DEMOKRASI. Bahwa demokrasi bukan hanya dalam bidang politik saja. Melainkan juga dalam bidang ekonomi yang berpengaruh kepada hubungan sosial. Sosio-Demokrasi timbul karena Sosio-Nasionalisme dari akar Nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia tidak bersifat Chauvinis apalagi Fasis. Nasionalisme Indonesia bukan Nasionalisme barat. Nasionalisme Indonesia adalah karena perikemanusiaan. Bukan Nasionalisme sempit yang membatasi antara Indonesia dan negara lain. Bukan Nasionalisme yang merasa bahwa bangsa Indonesia adalah yang terbaik di dunia. Apa itu Sosio-Nasionalisme? Singkatnya adalah Nasionalisme rakyat, yang menolak borjuasi penyebab kepincangan masyarakat.

Sosio-Demokrasi adalah kelanjutan daripada Sosio-Nasionalisme. Inti daripada Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi adalah bahwa Indonesia tidak serta menjiplak Nasionalisme dan Demokrasi ala Eropa. Tetapi Indonesia memiliki caranya sendiri dalam menjalankan Nasionalisme dan Demokrasi yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.

TANTANGAN PEMERINTAHAN JOKOWI – JK DALAM MELINDUNGI MINORITAS DI INDONESIA

20 Oktober 2014 yang lalu, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi – JK) dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Banyak tantangan yang harus dihadapi pemerintahan Jokowi – JK sebagai warisan dari pemerintahan sebelumnya, SBY – Boediono. Kasus korupsi yang merajalela, masalah bahan bakar minyak (BBM),  kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) bagi rakyat miskin yang amburadul, kebijakan penyaluran bantuan dana BOS bagi sarana pendidikan di Indonesia yang tak merata, permasalahan kasus bank Century yang sampai saat ini belum tuntas, tidak adanya transparansi kerja pemerintah kepada rakyatnya, sistem ekonomi kapitalis yang masih mencengkeram Ibu Pertiwi, hingga masalah Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan beberapa contoh permasalahan pada masa pemerintahan SBY – Boediono yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi – JK.
Tantangan bagi pemerintahan Jokowi – JK yang menjadi fokus pembahasan opini ini adalah mengenai permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Penyerangan terhadap rumah ibadah bahkan pada jama’ahnya tidak bisa diterima. Contohnya di Yogyakarta pada bulan Mei 2014 yang lalu. Tercatat ada 6 kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas. Kasus-kasus kekerasan tersebut diantaranya penyerangan terhadap umat kristiani yang tengah beribadah, dan lain-lain. Akibatnya, status Yogyakarta sebagai Negeri Toleran dipertanyakan.
 Juga terhadap warga Syi’ah & Ahmadiyah Indonesia, 2 aliran kepercayaan dalam Islam yang masih menjadi musuh bagi kelompok-kelompok Islam intoleran di Indonesia. Mengutip dari ahlulbaitindonesia.org pada tanggal 4 September 2014, dijelaskan bahwa pengungsi Muslim Syi’ah Sampang di Sidoarjo, dan pengungsi Ahmadiyah di asrama Transito, Nusa Tenggara Barat, juga banyaknya masjid-masjid Syi’ah dan Ahmadiyah yang disegel menyebabkan para Jama’ahnya harus beribadah di luar masjidnya sendiri, hingga detik-detik terakhir pemerintahan SBY – Boediono masih berada dalam ketidakjelasan nasib.
Komnas HAM menyebut pemerintahan SBY – Boediono gagal dalam pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi rakyatnya. Menurut M. Imdadun Rahmat, salah satu Komisioner Komnas HAM, kasus Muslim Syi’ah Sampang dan Jama’ah Ahmadiyah yang masih berada di pengungsian merupakan potret nyata bahwa SBY telah gagal. Pernyataan tersebut disampaikan oleh M. Imdadun Rahmat dalam konferensi pers yang dilakukan Komnas HAM pada 4 September yang lalu di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta, dengan tema “Mendesak Komitmen Jokowi – Jusuf Kalla terhadap Penyelasaian Kasus Kebebasan Beragama Berkeyakinan sebagai Agenda Prioritas Pemerintah”.
Dalam sejarah Indonesia, Syi’ah dan Ahmadiyah adalah bagian yang tak terpisahkan dari umat Muslim Indonesia. Syi’ah telah berkembang di Nusantara sejak abad ke 12, sementara Ahmadiyah berkembang di Hindia-Belanda pada masa kolonial. Kita tidak bisa melepaskan mereka dari bagian kita, terutama Ahmadiyah. Gerakan Islam yang berasal dari India tersebut telah menginjakkan kakinya di tanah air sekitar 20 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. Ahmadiyah Lahore masuk ke tanah air dibawa oleh Mirza Wali Ahmad Beig pada 1924, sementara Ahmadiyah Qadian menyusul dibawa oleh Rahmat Ali.
Pada kongres Sarekat Islam di Yogyakarta tahun 1928 membicarakan tafsir Al-qur’an yang digarap oleh Cokroaminoto dengan menggunakan tafsir Ahmadiyah Lahore. Haji Agus Salim berpendapat bahwa dari segala jenis tafsir Al-qur’an, baik dari kaum kuno, mu’tazillah, ahli sufi, dan golongan modern, tafsir Ahmadiyahlah yang paling baik untuk memuaskan para pemuda Indonesia yang terpelajar. Ahmadiyah juga mewarnai para pemuda Islam dalam Jong Islamieten Bond. Para Proklamator kemerdekaan Indonesia, Soekarno & Hatta juga dekat dengan Ahmadiyah karena gerakan tersebut dinilai modernis, progesif, dan segar.
Perkembangan kedua kelompok Islam minoritas di Indonesia tersebut seharusnya dipahami betul oleh pemerintahan Jokowi – JK. Sungguh tak adil rasanya, jika hanya karena perbedaan aliran kepercayaan mereka harus tergusur dari rumahnya sendiri. Bahkan tak bisa beribadah di rumah ibadahnya sendiri yang disegel karena dianggap sesat. Jokowi – JK dan jajaran pemerintahannya harus membebaskan mereka dari cengkeraman kelompok Islam intoleran.

Kasus-kasus kekerasan atas nama agama tak boleh dianggap angin lalu bagi pemerintahan Jokowi – JK. Harus ditindak dengan sangat tegas dan tanpa ampun. Indonesia sebagai negara yang plural sedang dilanda ancaman bagi pluralitas tersebut. Dengan dilantiknya Jokowi – JK menaikkan harapan untuk perdamaian dan persatuan Indonesia atas nama Bhinneka Tunggal Ika yang pada dua periode kepemimpinan SBY gagal diwujudkan. Harapan minoritas ada di pundak Jokowi – JK saat ini.