Oleh:
Aslama
Nanda Rizal
(Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi Komisariat GMNI Geografi UGM)
Trisakti
merupakan konsep membangun bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh Soekarno pada
pidatonya tahun 1963. Trisakti yang berarti tiga kekuatan (sakti) berisi:
Berdaulat di bidang politik, Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) di bidang
ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan. Trisakti prinsip dalam perjuangan
Indonesia melawan Imperialisme. Di bidang politik, Indonesia harus berdaulat
secara mutlak tanpa intervensi negara manapun. Indonesia tidak boleh berada di
bawah negara lain. Indonesia harus mutlak lepas dari Kolonialisme. Konsep
berdaulat di bidang politik tersebut juga berjalan seiring perjuangan merebut
Irian Barat dari Kolonialisme Belanda. Soekarno merasa Irian Barat adalah
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang saat itu masih menjadi
wilayah cengkeraman Belanda.
Setelah
Irian Barat berhasil masuk ke dalam Indonesia, konsep berdaulat di bidang
politik tetaplah relevan. Berdaulat di bidang politik berarti bangsa Indonesia
wajib mempertahankan kedaulatan negara, tidak boleh lepas ke tangan negara
lain. Hal tersebut menjadi riskan jika melihat fenomena lepasnya Sipadan dan
Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia. Hal tersebut tidak boleh terulang
kembali. Bangsa Indonesia harus mempertahankan kedaulatan negaranya. Lebih dari
itu, karena konteksnya adalah politik, jadi pembahasannya tidak hanya perihal
wilayah kedaulatan negara. Tapi juga jelas secara politik kenegaraan. Indonesia
adalah negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif. Artinya, Indonesia
bebas bersahabat dengan seluruh bangsa dan negara di dunia dan aktif dalam
perjuangan perdamaian dunia. Dalam sikap politik kenegaraan, Indonesia tidak
boleh diintervensi oleh negara lain. Indonesia harus menentukan sikap
politiknya sendiri yang sesuai dengan prinsip bebas aktif tersebut.
Di
bidang ekonomi, Soekarno mengamanatkan bangsa Indonesia agar Berdikari, atau
berdiri di atas kaki sendiri. Indonesia tidak boleh menjadi bangsa dan negara
yang ketergantungan dengan asing. Konsep ini adalah arahan bagi bangsa
Indonesia agar mewujudkan sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia. Konsep ini dicetuskan dengan maksud yang jelas, melawan
Kapitalisme. Perekonomian Indonesia tidak boleh liberal, tidak boleh bertekuk
lutut pada para pemodal, para kapitalis. Perekonomian Indonesia haruslah
menganut kolektif-kolegial, sesuai pasa 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam
Indonesia haruslah dikuasai negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya demi
kesejahteraan rakyat Indonesia. Tapi yang terjadi saat ini, kapitalisme
merajalela di Indonesia. Ekonomi Kerakyatan yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa
(Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain), pada dasarnya adalah konsep
Berdikari itu sendiri. Soekarno dengan Reformasi Agraria, Hatta dengan
Kooperasi, dan Syahrir dengan Sosialisme Pembangunan, pada hakikatnya adalah
untuk mewujudkan Berdikari di bidang ekonomi.
Terakhir,
adalah Berkepribadian dalam Kebudayaan. Soekarno mencetuskan konsep ini harus
dilihat konteksnya. Pada saat itu (1960-an), tengah berlangsung Perang Dingin
antara Blok Barat (Liberal-Kapitalis) melawan Blok Timur (Komunis). Indonesia
yang menganut politik bebas aktif, tidak memihak blok manapun. Malah Soekarno
mewakili Indonesia bersama para pemimpin bangsa dan negara lainnya yang
sepaham, membentuk gerakan sendiri yakni Gerakan Non Blok. Sebuah gerakan untuk
menengahi kedua blok. Negara-negara yang tergabung di dalamnya tidak memihak
blok manapun. Namun tetap satu perjuangan, melawan Kolonialisme dan
Imperialisme (yang utamanya ialah bangsa Barat). Soekarno tidak ingin Indonesia
jatuh ke tangan para kolonialis dan imperialis. Bangsa Barat yang terus
memperluas pengaruhnya (Kolonialisme dan Imperialisme), tidak hanya melakukan
ekspansi politik dan ekonomi, tapi juga di bidang kebudayaan. Budaya bangsa
Barat yang liberal masuk ke Indonesia sebagai dampak dari ekspansi tersebut
(westernisasi). Ekspansi kebudayaan tersebut adalah cara bangsa Barat
memperluas hegemoninya.
Soekarno
tidak ingin itu terjadi pada bangsa Indonesia. Maka pada saat itu, Soekarno
menetapkan suatu kebijakan larangan bangsa Indonesia untuk menikmati kebudayaan
Barat (seni, utamanya music sebagai yang paling mudah mempengaruhi manusia).
Soekarno melarang diputarnya lagu-lagu Barat, terutama yang sedang terkenal
saat itu, grup music The Beatles.
Soekarno menginginkan bangsa Indonesia agar mencintai dan menggunakan kebudayaannya
sendiri, kebudayaan Indonesia. Budaya tersebut berdasarkan Pancasila. Sebab
Pancasila adalah budaya bangsa Indonesia. Budaya berketuhanan, budaya
berkemanusiaan, budaya persatuan, budaya musyawarah, dan budaya memperjuangkan
keadilan sosial, dapat diperas menjadi satu yakni gotong royong.
Kebudayaan
nasional bukan berarti menghilangkan identitas masyarakat sesuai tempatnya
berasal. Masyarakat Jawa tetaplah pertahankan budaya Jawanya. Sunda, Madura,
Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, Bali, Sasak, Bugis, Makassar, Dayak, Toraja,
Manado, Maluku, Flores, Papua, dan seluruh suku bangsa di Indonesia tetaplah
pertahankan budayanya masing-masing sebagai identitas asli masyarakat sesuai
daerah asalnya. Namun identitas kedaerahan tersebut janganlah sampai menjadi
sentiment primordial. Tapi justru dengan banyaknya kebudayaan tersebut haruslah
membuat rakyat Indonesia bersatu dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebagai
bangsa yang majemuk namun menjunjung tinggi persatuan Indonesia. Sebab seluruh
kebudayaan yang ada di Indonesia memiliki satu benang merah yang sama, yakni
budaya gotong royong. Hal tersebut menjadi landasan sebagai kebudayaan bangsa
Indonesia.
Berkepribadian
dalam Kebudayaan. Hal tersebut sudah jelas. Bahwa dalam kebudayaan, bangsa
Indonesia haruslah memiliki kepribadian, yakni kepribadian bangsa Indonesia,
Nasionalisme Indonesia yang mempersatukan seluruh elemen kebudayaan tersebut.
Nasionalisme Indonesia adalah prinsip dari persatuan kebudayaan Indonesia.
Nasionalisme Indonesia haruslah menjadi pemersatu, bukan pemecah. Soekarno
mengatakan (mengutip dari Gandhi), My
Nationalism is Humanity. Nasionalisme Indonesia haruslah yang berjiwa
kemanusiaan. Bukan untuk menindas suku ataupun bangsa lain. Bukan untuk menjadi
bangsa perusak. Bukan sekadar sebagai kebanggaan yang terlalu kuat seperti
Jerman di masa lalu dengan Nazisme maupun Italia dan Jepang dengan Fasismenya.
Termasuk bangsa Barat dengan Kolonialisme dan Imperialismenya. Merasa bangsa
bahkan ras paling unggul, lalu menghancurkan bangsa lain demi menguasai dunia.
Bukan seperti itu yang diinginkan para pendiri bangsa Indonesia. Maka dari itu,
Soekarno mencetuskan konsep Berkepribadian dalam Kebudayaan.
Jika
melihat konteks saat ini, rasanya prihatin. Sebab berkepribadian dalam
kebudayaan telah luntur dari bangsa Indonesia. Masyarakat kini terjerumus dalam
Individualisme. Gotong royong kian ditinggalkan, seiring dengan westernisasi
yang semakin mencengkeram bangsa Indonesia dengan dalih modernisasi dan
globalisasi. Kemajuan adalah hal yang diinginkan, modernisasi dan globalisasi
adalah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan di zaman sekarang. Namun
westernisasi terbawa dengan modernisasi dan globalisasi tersebut, bangsa
Indonesia tidak mampu menyaringnya dengan baik. Sehingga lunturlah westernisasi
dalam modernisasi dan globalisasi.
Modernisasi
dan globalisasi sebenarnya positif, namun westernisasi membawa pengaruh
negatif. Padahal pada 1960-an, Soekarno telah mewanti-wanti hal tersebut bahkan
dengan kebijakan yang sangat tegas dan ekstrim, melarang hal apapun yang berbau
bangsa Barat masuk ke Indonesia. Namun sejak Orde Baru berkuasa, apalagi
setelah Reformasi 1998, mengubah hal tersebut. Pasca Reformasi 1998, Indonesia
semakin jatuh ke dalam Liberalisme dengan westernisasi dengan dalih modernisasi
dan globalisasi. Tanpa terasa, Indonesia dicengkeram Imperialisme. Tidak lagi
secara fisik, namun secara halus, di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Dampak
dari hal tersebut adalah Individualisme, lunturnya gotong royong. Masyarakat
Indonesia kebanyakan saat ini sibuk mengurusi dirinya sendiri, saling sikut
sana-sini, saling menindas, kriminal dimana-mana karena faktor ekonomi. Hal
tersebut terjadi juga di kalangan pemuda, khususnya mahasiswa. Saat ini,
mahasiswa semakin menjauh dari akarnya, yakni rakyat. Padahal mahasiswa adalah
penyambung lidah rakyat kepada pemerintah. Mahasiswa kini terjebak dalam sistem
pendidikan Indonesia yang dicengkeram Kapitalisme. Pendidikan tidak lagi untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, namun untuk mencetak pegawai-pegawai baru yang
sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan takluk oleh kepentingan pemodal
(kapitalis). Sistem pendidikan Indonesia utamanya di Perguruan Tinggi membuat
mahasiswa Indonesia saat ini menjadi semakin individualis. Sibuk kuliah dan
penelitian semata demi tuntutan akademik. Hal tersebut membuat banyak mahasiswa
menjadi apatis, kurang peduli dengan permasalahan rakyat.
Hal
tersebut juga bisa dilepaskan dari semakin majunya teknologi. Satu sisi,
kemajuan teknologi sangat baik demi kemajuan masyarakat. Tapi di sisi lain,
majunya teknologi memberi dampak Individualisme tersebut. Terutama sejak
semakin canggihnya gadget. Kini,
bahkan banyak anak kecil pun sudah memegang gadget
sendiri. Satu sisi, gadget sangat
baik demi memudahkan informasi dan pekerjaan. Tapi di sisi lain, gadget membuat orang menjadi malas.
Dampak dari gadget ialah menguatnya
Indvidualisme, apatis, dan lunturnya gotong royong, dan mendistorsi kebiasaan
kumpul bareng atau srawung. Bahkan
menjadi fenomena saat ini, jika sedang berkumpul, justru malah sibuk dengan gadget masing-masing.
Semua
itu adalah dampak hilangnya konsep Trisakti dari bangsa Indonesia, khususnya
Berkepribadian dalam Kebudayaan. Hal tersebut adalah tantangan zaman yang harus
diselesaikan bangsa Indonesia. Trisakti itu menembus zaman. Trisakti masih
sangat relevan hingga kapanpun. Oleh sebab itu, perlunya kita menggaungkan
kembali Trisakti sebagai prinsip bangsa Indonesia. Mulai saat ini hingga anak
cucu kelak, bangsa Indonesia harus kembali pada Trisakti. Tapi suatu tantangan
tersendiri bagi kita agar Trisakti bisa kembali menjadi populer dan menjadi
prinsip bangsa Indonesia. Implementasi dari Trisakti pada saat ini sangat
berat, tapi bukan tidak mungkin. Sebab Soekarno telah memberikan pondasi bagi
bangsa Indonesia, Trisakti tersebut. Tinggal kita sebagai penerusnya harus
mengimplementasikan kembali Trisakti yang kini terlupakan. Modernisasi,
globalisasi, kemajuan teknologi, dan gadget
seharusnya bukan menjadi alasan lunturnya kepribadian bangsa Indonesia. Justru
kemajuan teknologi, mudahnya akses informasi, harus dimanfaatkan secara
positif, utamanya untuk mempopulerkan kembali Trisakti. Hal tersebut adalah
tugas pemuda Indonesia saat ini: mengembalikan Trisakti sebagai prinsip bangsa
Indonesia