20
Oktober 2014 yang lalu, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi – JK) dilantik
sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Banyak tantangan yang
harus dihadapi pemerintahan Jokowi – JK sebagai warisan dari pemerintahan
sebelumnya, SBY – Boediono. Kasus korupsi yang merajalela, masalah bahan bakar
minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung
tunai (BLT) bagi rakyat miskin yang amburadul, kebijakan penyaluran bantuan
dana BOS bagi sarana pendidikan di Indonesia yang tak merata, permasalahan
kasus bank Century yang sampai saat ini belum tuntas, tidak adanya transparansi
kerja pemerintah kepada rakyatnya, sistem ekonomi kapitalis yang masih
mencengkeram Ibu Pertiwi, hingga masalah Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan
beberapa contoh permasalahan pada masa pemerintahan SBY – Boediono yang harus
diselesaikan oleh pemerintahan Jokowi – JK.
Tantangan
bagi pemerintahan Jokowi – JK yang menjadi fokus pembahasan opini ini adalah
mengenai permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni diskriminasi terhadap
kelompok minoritas. Penyerangan terhadap rumah ibadah bahkan pada jama’ahnya
tidak bisa diterima. Contohnya di Yogyakarta pada bulan Mei 2014 yang lalu. Tercatat
ada 6 kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas. Kasus-kasus kekerasan tersebut
diantaranya penyerangan terhadap umat kristiani yang tengah beribadah, dan
lain-lain. Akibatnya, status Yogyakarta sebagai Negeri Toleran dipertanyakan.
Juga terhadap warga Syi’ah & Ahmadiyah Indonesia,
2 aliran kepercayaan dalam Islam yang masih menjadi musuh bagi kelompok-kelompok
Islam intoleran di Indonesia. Mengutip dari ahlulbaitindonesia.org pada tanggal
4 September 2014, dijelaskan bahwa pengungsi Muslim Syi’ah Sampang di Sidoarjo,
dan pengungsi Ahmadiyah di asrama Transito, Nusa Tenggara Barat, juga banyaknya
masjid-masjid Syi’ah dan Ahmadiyah yang disegel menyebabkan para Jama’ahnya
harus beribadah di luar masjidnya sendiri, hingga detik-detik terakhir
pemerintahan SBY – Boediono masih berada dalam ketidakjelasan nasib.
Komnas
HAM menyebut pemerintahan SBY – Boediono gagal dalam pemenuhan hak atas
kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi rakyatnya. Menurut M. Imdadun Rahmat,
salah satu Komisioner Komnas HAM, kasus Muslim Syi’ah Sampang dan Jama’ah
Ahmadiyah yang masih berada di pengungsian merupakan potret nyata bahwa SBY
telah gagal. Pernyataan tersebut disampaikan oleh M. Imdadun Rahmat dalam
konferensi pers yang dilakukan Komnas HAM pada 4 September yang lalu di kantor
Komnas HAM, Menteng, Jakarta, dengan tema “Mendesak Komitmen Jokowi – Jusuf Kalla
terhadap Penyelasaian Kasus Kebebasan Beragama Berkeyakinan sebagai Agenda
Prioritas Pemerintah”.
Dalam
sejarah Indonesia, Syi’ah dan Ahmadiyah adalah bagian yang tak terpisahkan dari
umat Muslim Indonesia. Syi’ah telah berkembang di Nusantara sejak abad ke 12,
sementara Ahmadiyah berkembang di Hindia-Belanda pada masa kolonial. Kita tidak
bisa melepaskan mereka dari bagian kita, terutama Ahmadiyah. Gerakan Islam yang
berasal dari India tersebut telah menginjakkan kakinya di tanah air sekitar 20
tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. Ahmadiyah Lahore masuk ke tanah air dibawa
oleh Mirza Wali Ahmad Beig pada 1924, sementara Ahmadiyah Qadian menyusul
dibawa oleh Rahmat Ali.
Pada
kongres Sarekat Islam di Yogyakarta tahun 1928 membicarakan tafsir Al-qur’an
yang digarap oleh Cokroaminoto dengan menggunakan tafsir Ahmadiyah Lahore. Haji
Agus Salim berpendapat bahwa dari segala jenis tafsir Al-qur’an, baik dari kaum
kuno, mu’tazillah, ahli sufi, dan golongan modern, tafsir Ahmadiyahlah yang
paling baik untuk memuaskan para pemuda Indonesia yang terpelajar. Ahmadiyah juga
mewarnai para pemuda Islam dalam Jong Islamieten Bond. Para Proklamator kemerdekaan
Indonesia, Soekarno & Hatta juga dekat dengan Ahmadiyah karena gerakan
tersebut dinilai modernis, progesif, dan segar.
Perkembangan
kedua kelompok Islam minoritas di Indonesia tersebut seharusnya dipahami betul
oleh pemerintahan Jokowi – JK. Sungguh tak adil rasanya, jika hanya karena
perbedaan aliran kepercayaan mereka harus tergusur dari rumahnya sendiri. Bahkan
tak bisa beribadah di rumah ibadahnya sendiri yang disegel karena dianggap
sesat. Jokowi – JK dan jajaran pemerintahannya harus membebaskan mereka dari
cengkeraman kelompok Islam intoleran.
Kasus-kasus
kekerasan atas nama agama tak boleh dianggap angin lalu bagi pemerintahan
Jokowi – JK. Harus ditindak dengan sangat tegas dan tanpa ampun. Indonesia
sebagai negara yang plural sedang dilanda ancaman bagi pluralitas tersebut. Dengan
dilantiknya Jokowi – JK menaikkan harapan untuk perdamaian dan persatuan
Indonesia atas nama Bhinneka Tunggal Ika yang pada dua periode kepemimpinan SBY
gagal diwujudkan. Harapan minoritas ada di pundak Jokowi – JK saat ini.