Oleh:
Bung Aslam (Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi)
Bung Aslam (Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi)
Jean, remaja 15 tahun yang baru saja kehilangan orangtuanya meninggal dengan jarak berdekatan. Sebulan setelah ibunya meninggal, ayahnya menyusul ke pangkuan Tuhan. “Oh Bapa di Surga, Oh Tuhan Yesus, Oh Roh Kudus, Eli.. Eli.. Lama Sabaktani (Tuhanku, mengapa kau tinggalkan aku?)”. Gumam Jean tatkala mengetahui ayahnya meninggal.
Sejak itu, tekad kuat untuk bertahan
hidup laksana darah yang mengalir dalam tubuh Jean. Tekad kuat itu tak
terpisahkan dari jiwanya. Jiwa seorang remaja sebatang kara yang pada akhirnya,
mencambuknya tatkala ia lemah, tatkala ia berputus asa, tatkala ia tiada
memiliki semangat menjalani hidup. Tekad kuat itu laksana bayangan kedua
orangtuanya, yang selalu menghantui Jean kemanapun ia melangkah.
Jean bekerja pada Tuan Jacob,
seorang konglomerat yang sangat terkenal di kotanya. Tuan Jacob berusia 70
tahun. Tanah dan bisnisnya dimana-mana. Keluarganya yang menjalankan dan
meneruskan usahanya. Jean dengan rela hati membanting tulang menjadi petani di
sana. Puji Tuhan, Jean tak sendiri. Ia bekerja bersama puluhan orang lainnya
yang terpaksa menjadi petani demi menghidupi kebutuhan keluarganya. Siang hari,
para petani diizinkan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya
kembali.
“Siapa
namamu, anak manis?” tanya Olivier, seorang petani berusia 40 tahun yang telah
dua puluh tahun mengabdi untuk keluarga Tuan Jacob.
“Jean.
Jean Alexandre. Bapak?”
“Saya
Olivier. Olivier Boumsong. Kamu panggil saya Pak Olive saja”.
“Iya,
Pak Olive. Sudah lama bapak bekerja di sini?”
“Sudah
dua puluh tahun. Dari saya remaja sepertimu sampai berkeluarga dan memiliki
tiga orang anak, saya mengabdi pada keluarga Tuan Jacob. Semua ini demi
bertahan hidup sebab saya hanyalah orang miskin. Kamu baru bekerja di sini ya,
Nak? Berapa usiamu saat ini?”
“Lama
sekali, Pak. Iya,ini hari pertama saya kerja di sini. Beberapa waktu yang lalu
kedua orangtua saya meninggal dunia. Saya anak tunggal. Saya menjadi sebatang
kara. Karena itu, saya mencari pekerjaan untuk bertahan hidup. Sama seperti
bapak, saya orang miskin. Saya baru berusia 15 tahun”
“Wah….”.
“Waktu
istirahat sudah habis. Cepat lanjutkan pekerjaan kalian! Cepat!”. Belum sempat
Pak Olive melanjutkan pembicaraannya, seorang pegawai kelas atas di keluarga
Tuan Jacob laksana mandor berteriak lantang kepada seluruh petani. Orang itu
bernama Pierre, asisten keluarga Tuan Jacob.
***
Sepuluh tahun Jean bekerja pada
keluarga Tuan Jacob, menggarap tanahnya. Bersama puluhan petani lainnya, mereka
menyulap tanah menjadi hasil bumi yang menggiurkan. Namun, mereka hanya bisa
memandangi elok rupa dari hasil bumi tersebut. Sebab keluarga Tuan Jacoblah
yang berhak menerima hasil bumi dari tanah itu. Para petani hanya diberikan
upah. Mereka boleh menggarap tanah mereka sendiri jika punya. Namun, sebagai
konsekuensinya sebagian hasil bumi dari tanah mereka sendiri dikenakan pajak
oleh keluarga Tuan Jacob.
Kini Jean berusia 25 tahun. Jean
telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang amat tampan. Di usia yang cukup matang
tersebut, ia belum menikah. Jean belum menemukan wanita yang tepat, yang mau
hidup bersama dalam nuansa kesederhanaan.
Tuan Jacob pun semakin senja.
Usianya kini 80 tahun. Ia memiliki seorang cucu yang sangat cantik jelita,
bernama Felicia. Putri dari Mathieu, putra sulung Tuan Jacob, pewaris tahta
utama dari seluruh usaha keluarga Tuan Jacob. Felicia seusia dengan Jean, 25
tahun. Tatkala Jean pertama kali menjadi petani, Felicia sedang menghabiskan
masa mudanya di luar kota. Di tempat pamannya yang bernama Sebastian. Mathieu
yang menitipkan di sana sejak Felicia berusia 10 tahun.
Kini
lima belas tahun berselang. Felicia kembali ke kampung halamannya. Felicia sangat
cantik, anggun, dan berbudi pekerti luhur. Jauh dari watak keluarganya yang
tamak, dibanjiri keangkuhan yang menjulang ke angkasa.
Suatu saat, Felicia berkeliling
pekarangan rumah, suatu aktivitas yang tiap hari ia lakukan. Ia menyaksikan
dengan mata telanjang bahwa para petani tengah bertumpah peluh dan dahaga
menggarap tanah keluarganya. Rasa tak tega menyelimuti hatinya. Sesekali ia menyapa
para petani dan menebarkan semangat pada mereka. Dan dengan nekatnya ia sering
membawakan minuman untuk para petani. Durhaka
pada Orangtua versi keluarga Tuan Jacob. Siang itu, tiba waktu untuk
istirahat bagi para petani. Jean duduk seorang diri. Ia meluruskan kakinya yang
pegal dan berkali-kali mengelap peluh dengan kausnya yang kusam.
“Permisi,
selamat siang. Tetap semangat ya. Ini ku bawakan minuman untukmu. Bolehkah aku
duduk di sampingmu?”. Felicia berkata pada Jean. Rupanya Felicia tiap hari
memantau Jean. Ia sering memperhatikannya dari jauh, namun tak berani menyapa.
Felicia terpesona dengan ketampanan Jean. Berhari-hari sampai akhirnya ia
memberanikan diri mendatangi Jean.
“Silahkan.
Terimakasih sekali. Kamu siapa? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya”. Jawab
Jean sekaligus bertanya dengan muka penasaran yang tak terbendung.
“Aku
Felicia. Felicia Marie. Panggil saja aku Fely. Kamu?”
“Aku
Jean. Jean Alexandre. Apa kamu bekerja di sini juga? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya.
Memang aku tak mengenal seluruh petani di sini. Terlalu sibuk mengurusi tanah
Tuan Jacob yang luas ini sampai aku tak sempat bersosialisasi dengan sesama
petani”
“Hehehe.
Luar biasa dirimu, Jean. Perkenalkan, aku cucu Tuan Jacob”
“Apa???
Oh, Tuhan. Aku tak boleh berada di sini. Aku harus pergi. Aku tak boleh
bercengkerama denganmu. Nanti aku bisa dimarahi Pak Pierre. Aku bisa dilaporkan
pada ayah dan kakekmu. Aku tak pantas berada di sampingmu. Aku hanya petani
yang bekerja untuk keluargamu”
“Tenang
saja. Tak usah dirimu berpikir dan berkata seperti itu. Aku memang baru
beberapa hari ini di sini. Aku baru pulang. 15 tahun aku tinggal bersama
pamanku, kini aku pulang ke rumahku. Aku tak bersifat seperti keluargaku. Aku
sangat miris melihat kalian, para petani. Tiap hari aku selalu berkeliling
melihat kalian. Sebenarnya itu hanya alasanku untuk bisa menemani kalian.
Sekedar menebar senyum dan semangat serta memberi minum. Jangan khawatir ya,
Jean”. Jawab Felicia dengan senyum manisnya yang semakin menarik kecantikannya
yang tiada tara.
“Tapi…..”
“Tak
usah tapi-tapi. Ini, minumlah!”
“Aku
takut….”
“Takut
karena aku atau takut mati kehausan? Sudah, minumlah”.
“Terimakasih,
Tuan Fely”
“Tak
usah kau panggil diriku tuan. Sudah ku bilang, panggil saja aku Fely!”
“Baik.
Terimakasih, Fely”. Jawab Jean menggigil ketakutan sambil menenggak minuman
yang diberikan Felicia.
“Jean,
berapa usiamu? Ku lihat dirimu masih begitu muda. Dimana dirimu tinggal?”
“25
tahun, kamu? Aku tinggal di kampung Strelliaue. Rumahku berwarna merah, gubuk
terkecil di sana”
“Wah..
sama. Aku pun 25 tahun. Oh, kamu sudah menikah?”
“Ah,
kamu ini menghina diriku saja. Mana ada yang mau dengan pemuda sepertiku ini?
Aku hanya seorang petani miskin. Kau kan tahu, banyak wanita yang diperistri
oleh para tuan tanah. Pola pikir wanita zaman sekarang telah berubah. Jikalau
ingin hidupnya membaik, dipersunting tuan tanah adalah pilihan yang tak bisa
ditolak”
“Kau
kan tampan, berbudi pekerti tinggi lagi. Pak Olive sudah menceritakan padaku
tentang dirimu. Hehehe”
Tiba-tiba Pak Pierre datang dan
berteriak lantang pada mereka berdua. Rupanya ia telah memantau gerak-gerik
Felicia beberapa hari ini. Semenjak Felicia pulang, Pak Pierre ditugasi ayahnya
Felicia untuk memantau putrinya yang Mahajelita itu.
“Felicia!
Sedang apa kau di sini? Wah.. Kurang ajar kau, Jean. Petani berani-beraninya
mengganggu putri tuan tanah. Lancang kau!” Seketika Pak Pierre menampar muka
Jean hingga warna merah terlukis di pipi Jean.
“Om
Pierre! Anda yang kurang ajar! Jean tengah beristirahat seorang diri di sini.
Aku yang mendatanginya. Ku berikan minuman padanya karena ia kehausan. Dan aku yang
membuka obrolan dengannya”
“Fely,
saya hanya diberi tugas oleh ayahmu untuk memantaumu. Gerak-gerikmu dinilai
ayahmu mencurigakan. Maka saya disuruh untuk mengawasimu. Sekarang pulanglah!”
Sambil
menggenggam tangan Felicia sekuat tenaga, Pak Pierre menarik paksa dan membawa
Felicia pulang ke rumah.
“Cepat
kembali bekerja! Waktu isitirahat telah usai. Jangan ada yang berani kurang
ajar atau saya pecat!” teriak Pak Pierre hingga terdengar ke seluruh telinga
para petani.
Jean
hanya terdiam dan kembali bekerja.
Dua bulan lamanya Felicia dikurung
di rumah. Ia dalam pengawasan ketat. Terpenjara dalam rumahnya sendiri.
“Jikalau ku tahu akan seperti ini lebih baik tak pulang saja. Lebih baik ku
tetap tinggal di rumah paman”. Gumam Felicia. Setelah dua bulan, ia
‘dibebaskan’. Ayah dan ibunya iba melihat putri cantiknya yang tak kuasa
menahan kesedihan selama dua bulan lamanya. Akhirnya Felicia diberi izin untuk
bebas berkeliaran ke luar rumah tanpa pengawasan Pak Pierre.
Kesempatan itu tak disia-siakan oleh
Felicia. Sudah dua bulan lamanya ia merindukan Jean. Ternyata, Tuhan memang
Mahaindah. Dengan keindahan-Nya, Jean memiliki perasaan yang sama dengan
Felicia. Keduanya saling jatuh cinta. Namun Jean sangat tak kuasa. Bahkan untuk
sekedar memandangi kecantikan wajah Felicia yang tak kuasa dicegah, Jean tak
mampu. Jean sadar, ia hanya petani. Sedangkan Felicia, putri tuan tanah. Putri
majikannya.
Dengan
rindu yang tak terbendung, Felicia nekat mendatangi rumah berwarna merah laksana
gubuk itu, di kampung Strelliaue. Ya, rumah Jean. Felicia pergi ke sana di
waktu yang tepat, tatkala senja baru saja disantap oleh keperkasaan malam.
Tatkala Jean telah pulang ke rumahnya. Setelah bekerja seharian, Jean mandi dan
makan malam di dalam gubuknya. Seorang diri, suatu kondisi yang sudah biasa
menyelimutinya.
“Permisi.
Selamat malam, Jean”
(Jean
membukakan pintu)
“Astaga,
untuk apa kau kemari? Jangan membuatku takut. Aku tak punya pekerjaan lagi. Apa
kau tega jikalau aku dipecat?”
“Tak
perlu cemas, Jean. Aku sudah bebas. Aku dikurung dua bulan di rumahku sendiri.
Ayah dan ibu akhirnya terbuka mata hatinya. Mereka membebaskanku serta menjamin
tak ada yang mengawasiku lagi. Bolehkah aku masuk?”
“Ya,
silahkan”
Di
dalam rumah Jean, mereka berbincang-bincang sampai tengah malam datang
menjelang. Bak suatu negeri yang dianugerahkan hujan setelah sekian lama tak
turun hujan. Mereka saling merindu. Perbincangan hangat itu melepaskan jeratan
kerinduan mereka. Namun Jean tetap tahu diri, sadar bahwa ia tak pantas untuk
Felicia.
“Felicia,
sudah saatnya kau pulang. Sudah terlalu malam. Nanti orangtuamu khawatir. Nanti
aku yang dicurigai karena kepulangan larutmu ini”
“Iya,
aku pulang ya. Terimakasih sudah menemaniku. Sebelumnya, aku ingin berpesan
padamu. Genggam eratlah terus pesan ini sampai kau mati. Jean, jikalau suatu
saat nanti Tuhan memberimu izin untuk terbebas dari belenggu kemiskinan,
jikalau suatu saat nanti kau menjadi kaya raya, jangan biarkan keangkuhan tumbuh
dan menetap dalam hatimu. Tetaplah rendah hati. Jikalau suatu saat nanti
nasibmu terbalik, kau yang menjadi tuan tanah, maka jangan kau siksa para
petani”. Ujar Felicia, kemudian ia pulang.
***
Suatu hari, Tuan Willard, rekan Tuan
Jacob sesama konglomerat tengah sakit keras. Berbagai tabib telah didatangkan
namun tak berhasil menyembuhkan. Tuan Willard pun belum putus asa. Ia percaya
kekuatan magis bisa menyembuhkan. Kekuatan magis yang diinginkan Tuan Willard
bukan mantra, bukan jin, dan sebagainya. Tetapi puisi cinta romantis yang dapat
meluluhkan hatinya. Ia percaya demikian sebab istirnya yang sudah meninggal,
tatkala masih hidup adalah seorang penyair dan pembuat puisi cinta romantis
yang cukup terkenal di kotanya. Biasanya setiap sebelum tidur, Tuan Willard
sering dibacakan puisi cinta romantis oleh mendiang istrinya. Maka Tuan Willard
mengadakan sayembara, barangsiapa yang mampu mengobati sakitnya dengan puisi
cinta romantis untuknya, maka akan diberikan seperempat tanahnya dan berhak
menjadi tuan tanah di sana. Tanah Tuan Willard sangat luas, bahkan lebih luas
dari tanah Tuan Jacob.
Ratusan orang banyak yang mengikuti
sayembara itu, namun semuanya gagal. Sementara sakitnya Tuan Willard semakin
parah. Kesempatan untuk menjadi kaya raya ini tak disia-siakan Jean. Ia sejak
kecil memang hobi menulis puisi. Tulisan-tulisannya tersimpan rapi di gubuk
merahnya. Ia hanya menjadikannya sebagai koleksi pribadi. Karena puisi adalah
penghibur hati tatkala ia tengah kehilangan gairah kehidupan. Jean pun menulis
berbait-bait puisi cinta romantis. Setelah jadi, ia mendatangi keluarga Tuan
Willard untuk menyerahkan puisinya.
Dalam kondisi sakit yang parah, Tuan
Willard tetap yakin bisa sembuh dengan puisi cinta romantis. Ia tetap berusaha
membaca seluruh puisi yang dikirimkan kepadanya. Tatkala membaca puisi karya
Jean, ia bergumam, “Aduhai, betapa indahnya puisi ini. Mengingatkanku pada
istriku tercinta”. Berkali-kali ia baca puisi tersebut, semakin tersenyumlah
ia, semakin rianglah hatinya, semakin bersemangatlah jiwanya, semakin tak
terasa sakitnya. Dan akhirnya, sembuhlah ia. “Ini dia pemenang sayembara yang
ku janjikan. Umumkanlah bahwa ia pemenangnya, dan berhak menerima seperempat
tanahku”. Perintah Tuan Willard pada keluarganya.
Sayembara pun diumumkan. Jean tak
kuasa membendung derasnya rasa bahagia dalam hatinya. Nasib Jean berubah total.
Ia menjadi tuan tanah. Ia menjadi konglomerat dadakan. Ia pun berhenti sebagai
petani di keluarga Tuan Jacob. Setelah berkemas dan meninggalkan Strelliaue, ia
berpamitan pada keluarga Tuan Jacob dan seluruh petani yang bekerja di sana.
Termasuk Pak Olivier, yang kini telah berusia 50 tahun. Lalu ia pergi menuju Volxemau, tempat
dimana Tuan Willard tinggal. Keluarga Tuan Jacob awalnya tak kuasa menahan
ketidakpercayaannya, bahwa Jean, yang telah 10 tahun mengabdi pada keluarga
Tuan Jacob kini setara dengan mereka. Tuan Jacob beserta seluruh anggota
keluarganya meminta maaf atas perlakuan terhadap Jean selama mengabdi pada
mereka. Pak Pierre pun tersipu malu, dirinya teringat pernah menampar Jean.
Namun dengan budi pekertinya yang tinggi, Jean memaafkan segala perlakuan
keluarga Tuan Jacob, termasuk Pak Pierre. Ia pun berpamitan pada Felicia dengan
wajah sumringah. Felicia bahagia bercampur takut. Ia takut sifat Jean akan
berubah menjadi rakus dan angkuh.
Jean pun menjadi tuan tanah yang
baru. Ia berhasil merekrut banyak petani yang terpesona olehnya. Cerita tentangnya
menyebar ke penjuru kota. Ia dikenal bak pangeran dalam dongeng yang mampu membangunkan
seorang putri yang tertidur lama sekali dengan kecupannya. Ia pun teringat
dengan pesan yang disampaikan Felicia. Tetaplah rendah hati. Jean laksanakan
itu. Ia tetap rendah hati. Bahkan para petani yang bekerja di sana menjadi
sejahtera. Mereka diberikan modal untuk menggarap tanah mereka sendiri jika
punya, tanpa dipungut pajak oleh Jean.
Dengan status sosialnya yang telah
jauh meningkat, Jean memberanikan diri untuk mempersunting Felicia. Ia
mendatangi rumah kediaman keluarga Tuan Jacob. Alangkah senangnya hati Jean, ia
diterima baik di keluarga itu dan lamarannya pun diterima. Wajar memang, dengan
keangkuhan mereka, keluarga Tuan Jacob bisa menerima. Lain halnya jikalau Jean
melamar Felicia dalam keadaan sebagai petani. Tentu penolakan, cacian, bahkan
pemecatan tak akan ragu dilakukan keluarga Tuan Jacob. Setelah mendapat
persetujuan keluarga, Jean pun berbincang dengan Felicia.
“Fely,
maukah dirimu menjadi istriku? Menjadi ibu dari anak-anakku kelak. menjadi
permaisuriku. Aku mencintaimu”
“Kau
masih ingat pesanku, Jean?”
“Masih
dan sedang ku lakukan semua pesan yang kau sampaikan di rumahku waktu itu”
“Baik,
aku menerima cintamu. Aku mau menjadi permaisurimu. Aku rela hati menjadi
Nyonya Jean Alexandre. Karena kau tahu? Aku mencintaimu sejak pertama kali kita
bertemu”
“Aku
juga mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu, Felicia. Jikalau karena
eloknya parasmu, maka bukan itulah alasannya. Tetapi sapaanmu, tawaran airminum
darimu, dan obrolan pertama kita, bahkan dengan nekatnya kau datangi rumahku…. Itulah
alasannya. Ya, Felicia. Aku sangat mencintai kesederhanaanmu”
Mereka pun menikah. Sungguh bahagia
bukan kepalang bagi mereka berdua. Jean luar biasa. Tekad kuat, kerja keras,
dan semangat bertahan hidup menempanya menjadi seorang pemuda yang kuat secara
jiwa dan raga. Jean tak menyangka, dirinya akan sangat beruntung di masa depan
setelah di masa lalu ia ditinggal kedua orangtuanya di usia belia, lalu sepuluh
tahun berikutnya menjadi petani miskin. Puisinya mengantarkan Jean menuju singgasana
hati Felicia yang diikat secara sah dalam pernikahan.
Ya.
Jean dan Felicia adalah korban.
Cinta
dalam belenggu Feodalisme!