SWASEMBADA MENYONGSONG KEDAULATAN PANGAN
Kebijakan
Swasembada Pangan sangat mempengaruhi keberadaaan pangan di Indoensia.
Swasembada sendiri dapat dimaknai sebagai pemenuhan atas kebutuhan sendiri,
tidak bergantung kepada luar negeri. Indonesia pernah dikenal sebagai negara
swamsembada pangan, namun sebutan ini semakin luntur akibat semakin turunnya
produktivitas panen Indonesia.
Sejak lama pemerintahan Indonesia memikirkan cara untuk
swasembada pangan. Pemerintahan Orde baru dengan kebijakan Pelita IV di tahun
1984 (dekade tahun 80-an) berhasil melaksanakan swasembada pangan, hingga yang
terbaru rezim pemerintahan Jokowi-JK dengan kebijakan swasembada pangan yang
oleh Menteri Pertanian di targetkan tercapai dalam kurun waktu tiga tahun sejak
pemerintahan Jokowi-JK resmi menjabat. Wakil presiden Jusuf Kalla bahkan
memproyeksikan Indonesia akan swasembada pangan dalam jangka waktu satu tahun.
Berbagai
strategi digunakan oleh pemerintahan Jokowi-JK untuk mewujudkan swasembada
pangan, mulai dari anggaran yang besar untuk perbaikan irigasi dan pembangunan
waduk, distribusi pupuk bersubsidi, serta bantuan traktor untuk petani .
Bantuan traktor terbaru sekitar 6000 unit di kab. Ponorogo, Jawa Timur. Sebelumnya,
presiden Jokowi sudah membagikan sekitar 1.099 traktor secara langsung di
Subang . Pembagian traktor di Kab. Ponorogo ini menimbulkan permasalahan yang
sempat marak di media. Kejanggalan
pembagian traktor ini akibat ditariknya kembali traktor oleh pemerintah daerah,
sehingga membuat masyarakat khususnya petani menyindir pemerintah dengan
sebutan “janji palsu”. Untuk kasus ini,
presiden memberikan keterangan langsung, bahwa langkah yang diambil bertujuan
untuk pemerataan distribusi traktor ke
daerah-daerah lainnya.
Distribusi
pupuk juga menjadi sorotan pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan, tidak
tanggung-tanggung Menteri pertanian mengatakan akan mencabut izin operasi bagi
para distributor pupuk jika pengirimannya terlambat. Pupuk bersubsidi menjadi penting
bagi masyarakat untuk meningkatkan produktivitas pertanian, khususnya padi
sebagai bahan pokok utama pangan di Indonesia. Presiden Jokowi mengakui bahwa
dalam distribusi pupuk masih ada oknum yang “main”. Berbagai cara digunakan
untuk menanggulangi para mafia pupuk ini hingga pelibatan TNI dalam distribusi.
Modus yang dilakukan oleh mafia pupuk ini beragam, mulai dari menyelundupkan
pupuk bersubsidi hingga mendirikan koperasi gadungan. Tidak terkecuali dengan
DIY dan sekitarnya, kelangkaan pupuk
bersubsidi menjadi masalah karena kekurangan pasokan dari pusat. Di samping
itu, untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan pupuk bersusbsidi, TNI di
wilayah DIY dan sekitarnya dilibatkan secara langsung.
Upaya-upaya
yang dilakukan oleh pemerintah patut kita apresiasi, meski masih banyak celah
yang harus ditutupi. Seyogyanya Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam yang
melimpah dapat mewujudkan swasembada pangan, bahkan menjadi importir beras. Cukup
miris melihat Indonesia yang harus mengimpor beras dari negara tetangga seperti
Thailand dan Vietnam yang memiliki lahan pertanian sempit (dibanding Indonesia)
namun mampu mengoptimalkan hasil produksi pangan (khsusunya beras). Pemerintah
seperti kurang serius dalam melakukan swasembada, terkesan sepele dalam
menghadapi masalah pertanian. Hal ini dapat dilihat dari semakin sedikitnya
lahan pertanian di Indonesia. Lahan pertanian (khususnya persawahan) yang
semakin lama digantikan oleh pembangunan
lahan nonpertanian, seperti industri. Hal ini tentu bertentangan dengan
tujuan swasembada pangan, dimana di satu sisi permintaan akan beras semakin
banyak (jumlah penduduk yang bertambah)
namun lahan untuk memproduksi beras tersebut semakin sedikit, wajar saja
produksi beras di indonesia semakin menurun karena semakin berkurangnya lahan
pertanian.
Upaya
berikutnya yang dapat diterapkan adalah meningkatkan teknologi. Vietnam dan
Thailand mampu menemukan teknologi yang baik untuk mengahasilkan bibit unggul
untuk meningkatkan produsktivitas pertanian. Selain itu sistem pertanian kita
juga harus diperbaiki, semisal proses tanam bibit yang tadinya dilakukan pada
pertengahan dan akhir tahun, maka kali ini dilakukan pada awal tahun atau
setelah puncak musim hujan. Ahli pertanian mengutarakan bahwa penanaman bibit
di awal tahun akan meningkatkan produktivitas pertanian dan meminimalisiri
gagal panen. Regulasi terkait kepemilikan lahan juga harus menjadi sorotan
pemerintah, karena kepemilikan lahan petani Indonesia sangat minim, hal ini
akan mengurangi kesempatan petani
Indonesia dalam memproduksi beras. Masyarakat Inodonesia juga harus mampu
didorong untuk tidak bertumpu pada nasi (beras) sebagai makanan pokok.
Ketergantungan masyarakat terhadap beras terbukti dengan tidak kurang dari 90 %
masyarakat menjadikan beras sebagai makanan pokok, alternatif lain yang dapat diproduksi dalam
jumlah besar seperti jagung dan sagu
yang tidak kalah nutrisinya dengan padi.