Oleh:
Aslama Nanda Rizal
(Komisaris GMNI FIB UGM 2016)
Pengantar
Muhammadiyah
terkenal sebagai organisasi berasas Islam yang mengedepankan pemurnian Islam
yang sesuai Al-Qur’an & Sunnah dan menolak praktik keagamaan yang dianggap
bertentangan dengan keduanya. Muhammadiyah
dalam pemikirannya mengedepanan rasionalitas berdasarkan keilmuan modern,
dengan perjuangannya memberantas kebodohan baik dalam pemikiran yang dianggap
kuno hingga memberantas tahayul, bid’ah,
churafat (TBC). Muhammadiyah menasbihkan dirinya sebagai organisasi
sosial-keagamaan, bukan sebagai organisasi atau partai politik. Muhammadiyah
mengambil jalur pencerdasan terlebih dahulu kepada masyarakat lewat gerakan
sosialnya.
Walaupun
bukan organisasi maupun partai politik, namun bukan berarti Muhammadiyah tidak
peduli dengan urusan politik. Pada masa pergerakan nasional, Muhammadiyah
menjadi salah satu pendukung bahkan memiliki kontribusi yang sangat penting
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan hingga kini, Muhammadiyah adalah
salah satu organisasi kemasyarakatan yang konsisten mempertahankan Republik
Indonesia.
Perkembangan
Muhammadiyah dapat dikaji dalam banyak aspek, mulai dari dialektika pemikiran
di internal, gerakan sosial, hingga perjuangan politiknya. Namun dalam tulisan
ini, membahas lebih fokus pada gerakan sosial dan pengaruh Muhammadiyah di
pelosok atau pedalaman desa, terutama di Jawa. Hal tersebut menarik sebab
Muhammadiyah terkenal di lingkungan perkotaan, dan aktivisnya lebih banyak
bergelut di dunia intelektual dibanding melebur dengan kalangan bawah yang
sering dianggap sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU) –organisasi Islam yang
berlatar tradisional dan diklaim berbasis akar rumput / kalangan bawah-.
Perkembangan Varian Muhammadiyah
Muhammadiyah
kerapkali mendapat banyak stigma sebagai salah satu bagian dari kelompok
fundamentalis Islam atau Wahabi. Inti
ajaran Muhammadiyah terkait purifikasi Islam dianggap sama seperti kelompok
tersebut. Apakah benar demikian? Menurut Kuntowijoyo, ternyata ada beberapa
ragam atau varian Muhammadiyah pada perkembangannya (Mulkan, 2013: 17).
Kuntowijoyo membaginya menjadi kelompok Dahlan (kelompok awal Muhammadiyah oleh
K.H. Ahmad Dahlan dan sezamannya, masih toleran terhadap TBC), Al-Ikhlas (kelompok yang mengedepankan
penegakkan Syariat Islam yang puritan) Neo-Tradisionalis (kelompok MuNu / Muhammadiyah – NU). Neo-Sinkretis
(MuNas / Muhammadiyah – Nasionalis,
disebut juga MarMud / Marhaenis –
Muhammadiyah.
Kuntowijoyo
menyebut hal tersebut perlu diketahui publik sebab Muhammadiyah selama ini
selalu digambarkan sebagai gerakan purifikasi Islam yang homogen, ternyata pada
perkembangannya beragam. Walaupun pada perkembangannya, justru kelompok Al-Ikhlas justru dominan (seperti
tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berpolitik lewat Partai Masyumi, dan kini warga
Muhammadiyah yang berpolitik lewat Partai Keadilan Sejahtera / PKS, terjadi
pembauran antara Muhammadiyah dengan kelompok Tarbiyah, banyak terjadi).
Publik
(termasuk warga Muhammadiyah itu sendiri) seringkali melupakan bahwa
Muhammadiyah generasi awal dapat diterima semua golongan karena K.H. Ahmad
Dahlan sangat toleran dengan praktik keagamaan di zamannya, juga bermain cantik dalam perjuangan
politiknya melawan pemerintah kolonial Hindiia-Belanda dengan mengikuti alur
peraturan pendidikan yang diterapkan masa tersebut. Muhammadiyah zaman itu juga
mengikuti pola pendidikan Barat sehingga diterima pemerintah kolonial. Menurut
K.H. Ahmad Dahlan hal tersebut penting agar umat Muslim juga menjadi cerdas dan
dapat menerima ilmu modern agar dapat memperjuangkan agama Islam dengan
rasional dan melepaskan praktik keagamaan tradisional secara perlahan-lahan.
Setelah
wafatnya K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa. Hal tersebut
mempengaruhi dakwah Muhammadiyah, sebagaimana yang terjadi di tanah
Minangkabau. Umat Muslim Minangkabau yang sebelum menyebarnya Muhammadiyah, telah
terlebih dahulu dianggap sebagai fundamentalis Islam (sebagai penerus kaum
Padri). Maka itu akhirnya Muhammadiyah menjadi dominan unsur Anti-TBC dan
semakin keras penentangannya terhadap praktik keagamaan tradisional. Hal
tersebut berbeda dengan Muhammadiyah di Jawa, khususnya Yogyakarta saat ini,
yang tetap mempertahankan toleransinya terhadap kultur dan praktik keagamaan
tradisional masyarakat Jawa.
Jargon
Muhammadiyah yakni “kembali pada Qur’an dan Sunnah” seringkali dimaknai sebagai
formalisasi Syariah dan juga pembatasan. Abdul Munir Mulkan menyebut kelompok
tersebut kelompok “serba-ibadah”. Mereka berpendapat bahwa hal-hal yang tiada
tuntunannya dalam Qur’an & Sunnah berarti tidak boleh dilakukan. Hal
tersebut tentunya baik karena menjaga kemurnian Islam dan praktik keagamaan
yang dinilai sebagai bid’ah, namun
Mulkan menyebut bahwa hal tersebut bukan semata pembatasan, melainkan juga
pembebasan. Tiada tuntunan bukan berarti tidak boleh dikerjakan, selama tidak
menyimpang dari tentunya, Islam mengenal hukum mubah (Mulkan, 2013: 22).
Ada
persamaan antara kelompok Muhammadiyah MuNu
dengan MuNas. Keduanya sama-sama
berjiwa nasionalis, tradisional, dan membaur dengan kalangan akar rumput atau Marhaen, umat Muslim yang berada di
pedalaman desa. Salah satu contoh studi kasus yang dapat diangkat dalam hal ini
adalah dari hasil penelitian Mulkan yakni umat Muslim di Wuluhan, Jawa Timur.
Hasil penelitian tersebut yang diangkat dalam tulisan ini sebagai salah satu
contoh perkembangan Muhammadiyah yang ternyata berbeda-beda perkembangannnya di
berbagai daerah. Persamaan berikutnya ialah antara kelompok Muhammadiyah
Neo-Tradisionalis & Neo-Sinkretis tersebut ialah sama-sama suka melakukan
praktik keagamaan tradisional seperti tahlilan,
selametan, dan lain-lain).
Perbedaannya
mungkin hanya dalam pilihan aliran politik. Kelompok MuNu biasanya banyak terdiri dari keluarga NU yang menjadi anggota
maupun simpatisan Muhammadiyah dan melebur bersama, dalam pilihan aliran
politik justru condong ke NU atau bebas sesuai pilihan masing-masing. Sementara
kelompok MarMud merupakan warga
Muhammadiyah yang memilih aliran politik Nasionalis Bung Karno lewat Partai
Nasional Indonesia (PNI) pada zamannya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hingga
Partai Denokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada perkembangan berikutnya.
Muhammadiyah
di Kalangan Akar Rumput
Perjuangan
Muhammadiyah dalam memberantas TBC mengalami kesulitan di tataran akar rumput.
Menurut Karim, kesulitan tersebut karena TBC telah mengakar sejak lama dan
tataran akar rumput merupakan basis NU dengan kyai sebagai sumber pengetahuan
keagamaan, masyarakat bertaklid kepadanya (Karim 1995).
Masyarakat
kalangan akar rumput juga terkenal sebagai masyarakat yang sinkretik dengan
tradisi spiritualitasnya sendiri atau disbut abangan. Biasanya mereka
menjadikan dukun sebagai mediator
penghubung kekuatan magis spiritual dengan kehidupan mereka yang mayoritas
petani. Sejak periode 1920-an hingga 1960-an, anggota Muhammadiyah dari
kalangan akar rumput sangat sedikit. Perluasan Muhammadiyah di kalangan akar
rumput baru masif setelah goncangan politik 1965.Selama 1965-1970, anggotanya
bertambah 103% per tahun (88% petani) atau 600% pertambahan secara lingkup
nasional (Mulkan 2013).
Pemurnian
islam di kalangan akar rumput pedesaan harus menghadapi TBC yang telah menjadi
fungsi status dan pekerjaan petani. Interaksi keduanya membentuk format
keagamaan pengikut Muhammadiyah yang bervariasi, sesuai sejarah sosial
masing-masing dan dominasi elit setempat. Peran ahli syariah yang melemah
menyebabkan toleransi terhadap TBC meluas, begitu sebaliknya. Ahli syariah di
Muhammadiyah menerapkan ajaran Islam murni dalam buku tarjih Muhammadiyah secara
konsisten.
Di
pedalaman/pedesaan/ tataran akar rumput, penyebaran Muhammadiyah terdapat
beberapa pola. Peran ahli syariah sempat menguat dan terjadi banyak
penghancuran makam dan tempat yang dikeramatkan. Bahkan banyak dukun telah lenyap, tempat yang dikeramatkan
diubah menjadi rumah, atau minimal diterangi listrik dan menyebabkan “roh magis
pergi entah kemana”. Namun hal tersebut tidak menghilangkan unsur-unsur
spiritualitas masyarakat akar rumput, sebab “roh-roh” tersebut tetap berada di
dalam hatinya, hidup dalam kesadaran mereka.
Doktrin
Islam murni yang diperjuangkan kelompok Al-Ikhlas
di pedesaan ternyata sulit diterapkan di lapangan. Di luar ibadah formal atau
khusus, banyak jamaah Muhammadiyah di tataran akar rumput yang tetap tahlilan, selametan, dan lain-lain. Masyarakat pedesaan di sana juga masih
mempercayai kekuatan gaib yang mempengaruhi peristiwa duniawi, yang dianggap
“tidak ada tuntunannya dalam Qur’an & Sunnah”.
Gagasan
kesalehan merupakan faktor penting untuk memahami kehidupan umat di pedalaman/pedesaan.
Perkembangan Islam di Indonesia didominasi oleh kaum sufi dengan membawa ajaran
sufismenya yang ternyata cocok atau lebih diterima kalangan akar rumput di
negeri ini. Terutama karena nilai-nilai ajarannya yang sinkretik, cocok dengan
kearifan lokal masyarakat akar rumput Indonesia.
Sejak
dahulu, sufisme inilah yang paling dominan dan diterima umat Islam Indonesia
kebanyakan. Hal ini pula yang menjadikan Muhammadiyah dilemma dan pada
perkembangannya menerima sufisme dengan menghubungkannya tetap dengan Qur’an
& Sunnah. Menurut Rahman, dalam sejarah Islam justru sufisme sangat populer
di kalangan akar rumput dan berkembang menjadi ajaran perlawanan rakyat, ketika
elit penguasa didominasi ahli syariah (Rahman 1984).
Muhamamadiyah
sejak didirikan lebih berkembangan di kawasan kota dan pasar. Penegasan
terhadap pemberantasan TBC bukan model keagamaan petani atau kalangan akar
rumput (Geertz 1983). Namun menurut Surjo, cara hidup kalangan akar rumput di
pedalaman Indonesia terutama Jawa, telah menjadi lebih sistematis, ketikan
Islam murni diintegrasikan dengan kearifan lokal yang sinkretik mengikuti
tipologi penyebaran Islam ke wilayah Nusantara (Surjo, dkk. 1993).
Perluasan
Muhammadiyah ke pedesaan bukan tanpa konflik. Jelas, sebelumnya telah dijelaskan
bahwa Muhammadiyah awalnya kesulitan menembus garis akar rumput karena semangat
pemberantasan TBC yang bertolakbelakang dengan tradisi keagamaan masyarakat
pedesaaan Jawa. Upaya pencairan konflik tersebut pun berkali-kali dilakukan.
Masa pergerakan nasional misalnya, dr. Soetomo yang seorang nasionalis
memelopori pengembangan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan berkembang
secara lingkup nasional hingga saat ini.
Bahkan
Kyai Dahlan sendiri memilih sistem “sekuler” dalam banyak kegiatan sosial-keagamaan
utamanya pendidikan, dan aktif dalam Budi Utomo serta Sarekat Islam. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, Muhammadiyah menurut Mulkan justru menjadi
ekslusif setelah pucuk pimpinan Muhammadiyah dikuasai oleh kelomok Al-Ikhlas, hal tersebut yang menyulitkan
perluasan Muhammadiyah di tataran akar rumput.
Pribumisasi
Islam Murni sebagai Jalan Tengah Perluasan Muhammadiyah
Akhir
periode rezim Orde Baru menjadi tonggak awal para elit Muhammadiyah tingkat
nasional menyadari betapa pentingnya mengubah pola kepeimpinan dan perluasan
Muhammadiyah agar semakin diterima di seluruh lapisan umat Muslim Indonesia.
Pada Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995, digaungkanlah Spiritualisasi Syariah, yang bertujuan
kembali pada Islam sejati yang diterapkan Muhammadiyah pertama kali oleh Kyai
Dahlan yakni dengan akal dan hati suci.
Menurut
Mulkan, sebenarnya hal tersebut adalah tidak lain dari syariah plus sufisme.
Namun sejak awal Muhammadiyah memang menghindari diri dari penyebutan sufisme
demi menghindari mistifikasi Islam (Mulkan 2003). Menurut Mitsuo Nakamura,
sufisme sevara substantif dan informal sebenarnya telah diamalkan oleh
Muhammadiyah (Nakamura, Sufi Elements in
Muhammadiyah: Notes from Field Observation 1980, dalam Mulkan 2003: 23). Soewara Muhammadijah pada 1915 jauh-jauh
hari telah menyebutkan sufisme informal tersebut dengan istilah akhlaq mahmudah, bukan sufisme tapi
akhlak.
Kesepakatan
konsep “jalan baru” atau jalan tengah dalam perluasan Muhammadiyah pada
Muktamar Muhammadiyah 1995 disebabkan oleh latar belakang elit pimpinannya yang
kebanyakan saat itu merupakan para intelektual modern yang meluas sejak akhir
1980-an, para penggerak ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Hasil akhir
dari jalan tengah tersebut adalah istilah pribumisasi islam murni, berupa
siasat untuk memberantas TBC secara moderat. Hal tersebut pula yang menurut
Ketua Tarjih Muhammadiyah periode 1995-2000 sebagai neo-sufisme (Abdullah
1996).
Pribumisasi
Islam murni tersebut mencairkan konflik yang sebelumnya terjadi dalam usaha
perluasan Muhammadiyah. Kaum petani melalui pribumisasi Islam murni tersebur
dapat mengatasi konflik kepercayaan takdir dan ikhtiar bebas, keterikatan magis
usaha tani dan puritansme Muhammadiyah serta konflik sosial-politik. Mereka
memelihara harmoni hubungan sosial yang lebih luas dengan cara itu. Tradisi TBC
dihidupkan kembali dan seluruh golongan Islam dan politik dipersatukan.
Hal
tersebut juga menyebabkan meningkatnya partisipasi masyarakat pedesaan Jawa
dalam kegiatan Muhammadiyah tertutama melalui pendidikan modern yang mendorong
mobilitas sosial masyarakat akar rumput. Pribumisasi Islam murni dengan
spiritualisasi syariah tersebut membuat masyarakat pedesaan terutama para
petani lebih dapat memenuhi ritual islam tradisionalnya bersama komunitas
petani yang lebih luas.
Penutup
Meluasnya
Muhammadiyah ke daerah pedesaan Jawa menurut Mulkan bukanlah Islamisasi, namun
merupakan pribumisasi Islam murni dengan fatwa tarjih yang tidak lagi menjadi
referensi jamaah Muhammadiyah. Gerakan permunian Islam dalam masyarakat petani
oleh Muhammadiyah pada perkembangannya lebih tampak pada pengorganisasian
berbagai bentuk ibadah sosial seperti pengelolaan penyembelihan hewan kurban
dan fitrah sehingga dapat memenuhi kebutuhan sosialnya.
Sistematisasi
berbagai praktik keagamaan tradisional seperti tahlilan dan selametan kini
juga dilakukan tanpa mengaitkan langsung dengan hal-hal berbau magis seperti
periode sebelumnya. Jamaah Muhammadiyah antar lapisan elemen masyarakat juga
kini dapat berbaur satu dengan lainnya dalam melakukan praktik keagamaan
tradisional tersebut.
Kini,
Muhammadiyah harus terus melakukan refleksi diri dan meneruskan perjuangan
dengan jalan tengahnya itu, agar Muhammadiyah semakin dapat diterima di seluruh
lapisan umat Muslim Indonesia dan tentunya dengan agenda gerakan yang lebih
konkrit seperti ikut terlibat dalam penyelesaian agraria yang kini marak
terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebab memperluas Muhammadiyah sejatinya
bukan hanya memperbanyak jumlah anggota, namun juga Muhammadiyah benar-benar
harus ada dan aktif dalam kehidupan masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia.
Daftar
Pustaka
Abdullah
M. Amin, 1996, Perkembangan Pemikiran
Islam dalam Mmuhammadiyah: Perspektif Tarjih Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43,
dalam BRM. No. 05/1995-2000, hlm
18-26.
Abdul
Gaffar Karim, 1995, Metamorfosis NU dan
Politisasi Islam Indonesia, LKis dan Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Abdul
Munir Mulkan, 2013, Marhaenis
Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, Galang Pustaka:
Yogyakarta.
Geertz,
Clifford, 1983, Abanagan Santri Priyayi
dalam Masyarakat Jawa, terjemahan, Pustaka: Bandung.
Nakamura,
Mitsuo, 1983, Bulan Sabit Muncul dari
Balik Pohon Beringin, terjemahan, Gadjah Mada University Press:
Yogayakarta.
Rahman,
Fazlur, 1984, Islam, Pustaka:
Bandung.
Surjo,
Joko, dkk, 1993, Agama dan Perubahan
Sosial; Studi Tentang Hubungan Antara Islam, Masyarakat, dan Struktur
Sosial-Politik Indonesia, Pusat Antar Universitas-Studi Sosial UGM,
Yogyakarta.