Monday, December 5, 2016

SANG SURYA MENYINARI DESA: Perluasan Muhammadiyah di Pedesaan Jawa






Oleh:
Aslama Nanda Rizal
(Komisaris GMNI FIB UGM 2016)


Pengantar

Muhammadiyah terkenal sebagai organisasi berasas Islam yang mengedepankan pemurnian Islam yang sesuai Al-Qur’an & Sunnah dan menolak praktik keagamaan yang dianggap bertentangan dengan keduanya.  Muhammadiyah dalam pemikirannya mengedepanan rasionalitas berdasarkan keilmuan modern, dengan perjuangannya memberantas kebodohan baik dalam pemikiran yang dianggap kuno hingga memberantas tahayul, bid’ah, churafat (TBC). Muhammadiyah menasbihkan dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan, bukan sebagai organisasi atau partai politik. Muhammadiyah mengambil jalur pencerdasan terlebih dahulu kepada masyarakat lewat gerakan sosialnya.

Walaupun bukan organisasi maupun partai politik, namun bukan berarti Muhammadiyah tidak peduli dengan urusan politik. Pada masa pergerakan nasional, Muhammadiyah menjadi salah satu pendukung bahkan memiliki kontribusi yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan hingga kini, Muhammadiyah adalah salah satu organisasi kemasyarakatan yang konsisten mempertahankan Republik Indonesia.

Perkembangan Muhammadiyah dapat dikaji dalam banyak aspek, mulai dari dialektika pemikiran di internal, gerakan sosial, hingga perjuangan politiknya. Namun dalam tulisan ini, membahas lebih fokus pada gerakan sosial dan pengaruh Muhammadiyah di pelosok atau pedalaman desa, terutama di Jawa. Hal tersebut menarik sebab Muhammadiyah terkenal di lingkungan perkotaan, dan aktivisnya lebih banyak bergelut di dunia intelektual dibanding melebur dengan kalangan bawah yang sering dianggap sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU) –organisasi Islam yang berlatar tradisional dan diklaim berbasis akar rumput / kalangan bawah-.


Perkembangan Varian Muhammadiyah

Muhammadiyah kerapkali mendapat banyak stigma sebagai salah satu bagian dari kelompok fundamentalis Islam atau Wahabi. Inti ajaran Muhammadiyah terkait purifikasi Islam dianggap sama seperti kelompok tersebut. Apakah benar demikian? Menurut Kuntowijoyo, ternyata ada beberapa ragam atau varian Muhammadiyah pada perkembangannya (Mulkan, 2013: 17). Kuntowijoyo membaginya menjadi kelompok Dahlan (kelompok awal Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan dan sezamannya, masih toleran terhadap TBC), Al-Ikhlas (kelompok yang mengedepankan penegakkan Syariat Islam yang puritan) Neo-Tradisionalis (kelompok MuNu / Muhammadiyah – NU). Neo-Sinkretis (MuNas / Muhammadiyah – Nasionalis, disebut juga MarMud / Marhaenis – Muhammadiyah.

Kuntowijoyo menyebut hal tersebut perlu diketahui publik sebab Muhammadiyah selama ini selalu digambarkan sebagai gerakan purifikasi Islam yang homogen, ternyata pada perkembangannya beragam. Walaupun pada perkembangannya, justru kelompok Al-Ikhlas justru dominan (seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berpolitik lewat Partai Masyumi, dan kini warga Muhammadiyah yang berpolitik lewat Partai Keadilan Sejahtera / PKS, terjadi pembauran antara Muhammadiyah dengan kelompok Tarbiyah, banyak terjadi).

Publik (termasuk warga Muhammadiyah itu sendiri) seringkali melupakan bahwa Muhammadiyah generasi awal dapat diterima semua golongan karena K.H. Ahmad Dahlan sangat toleran dengan praktik keagamaan di zamannya, juga bermain cantik dalam perjuangan politiknya melawan pemerintah kolonial Hindiia-Belanda dengan mengikuti alur peraturan pendidikan yang diterapkan masa tersebut. Muhammadiyah zaman itu juga mengikuti pola pendidikan Barat sehingga diterima pemerintah kolonial. Menurut K.H. Ahmad Dahlan hal tersebut penting agar umat Muslim juga menjadi cerdas dan dapat menerima ilmu modern agar dapat memperjuangkan agama Islam dengan rasional dan melepaskan praktik keagamaan tradisional secara perlahan-lahan.

Setelah wafatnya K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa. Hal tersebut mempengaruhi dakwah Muhammadiyah, sebagaimana yang terjadi di tanah Minangkabau. Umat Muslim Minangkabau yang sebelum menyebarnya Muhammadiyah, telah terlebih dahulu dianggap sebagai fundamentalis Islam (sebagai penerus kaum Padri). Maka itu akhirnya Muhammadiyah menjadi dominan unsur Anti-TBC dan semakin keras penentangannya terhadap praktik keagamaan tradisional. Hal tersebut berbeda dengan Muhammadiyah di Jawa, khususnya Yogyakarta saat ini, yang tetap mempertahankan toleransinya terhadap kultur dan praktik keagamaan tradisional masyarakat Jawa.

Jargon Muhammadiyah yakni “kembali pada Qur’an dan Sunnah” seringkali dimaknai sebagai formalisasi Syariah dan juga pembatasan. Abdul Munir Mulkan menyebut kelompok tersebut kelompok “serba-ibadah”. Mereka berpendapat bahwa hal-hal yang tiada tuntunannya dalam Qur’an & Sunnah berarti tidak boleh dilakukan. Hal tersebut tentunya baik karena menjaga kemurnian Islam dan praktik keagamaan yang dinilai sebagai bid’ah, namun Mulkan menyebut bahwa hal tersebut bukan semata pembatasan, melainkan juga pembebasan. Tiada tuntunan bukan berarti tidak boleh dikerjakan, selama tidak menyimpang dari tentunya, Islam mengenal hukum mubah (Mulkan, 2013: 22).
Ada persamaan antara kelompok Muhammadiyah MuNu dengan MuNas. Keduanya sama-sama berjiwa nasionalis, tradisional, dan membaur dengan kalangan akar rumput atau Marhaen, umat Muslim yang berada di pedalaman desa. Salah satu contoh studi kasus yang dapat diangkat dalam hal ini adalah dari hasil penelitian Mulkan yakni umat Muslim di Wuluhan, Jawa Timur. Hasil penelitian tersebut yang diangkat dalam tulisan ini sebagai salah satu contoh perkembangan Muhammadiyah yang ternyata berbeda-beda perkembangannnya di berbagai daerah. Persamaan berikutnya ialah antara kelompok Muhammadiyah Neo-Tradisionalis & Neo-Sinkretis tersebut ialah sama-sama suka melakukan praktik keagamaan tradisional seperti tahlilan, selametan, dan lain-lain).

Perbedaannya mungkin hanya dalam pilihan aliran politik. Kelompok MuNu biasanya banyak terdiri dari keluarga NU yang menjadi anggota maupun simpatisan Muhammadiyah dan melebur bersama, dalam pilihan aliran politik justru condong ke NU atau bebas sesuai pilihan masing-masing. Sementara kelompok MarMud merupakan warga Muhammadiyah yang memilih aliran politik Nasionalis Bung Karno lewat Partai Nasional Indonesia (PNI) pada zamannya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hingga Partai Denokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada perkembangan berikutnya.

Muhammadiyah di Kalangan Akar Rumput

Perjuangan Muhammadiyah dalam memberantas TBC mengalami kesulitan di tataran akar rumput. Menurut Karim, kesulitan tersebut karena TBC telah mengakar sejak lama dan tataran akar rumput merupakan basis NU dengan kyai sebagai sumber pengetahuan keagamaan, masyarakat bertaklid kepadanya (Karim 1995).

Masyarakat kalangan akar rumput juga terkenal sebagai masyarakat yang sinkretik dengan tradisi spiritualitasnya sendiri atau disbut abangan. Biasanya mereka menjadikan dukun sebagai mediator penghubung kekuatan magis spiritual dengan kehidupan mereka yang mayoritas petani. Sejak periode 1920-an hingga 1960-an, anggota Muhammadiyah dari kalangan akar rumput sangat sedikit. Perluasan Muhammadiyah di kalangan akar rumput baru masif setelah goncangan politik 1965.Selama 1965-1970, anggotanya bertambah 103% per tahun (88% petani) atau 600% pertambahan secara lingkup nasional (Mulkan 2013).

Pemurnian islam di kalangan akar rumput pedesaan harus menghadapi TBC yang telah menjadi fungsi status dan pekerjaan petani. Interaksi keduanya membentuk format keagamaan pengikut Muhammadiyah yang bervariasi, sesuai sejarah sosial masing-masing dan dominasi elit setempat. Peran ahli syariah yang melemah menyebabkan toleransi terhadap TBC meluas, begitu sebaliknya. Ahli syariah di Muhammadiyah menerapkan ajaran Islam murni dalam buku tarjih Muhammadiyah secara konsisten.

Di pedalaman/pedesaan/ tataran akar rumput, penyebaran Muhammadiyah terdapat beberapa pola. Peran ahli syariah sempat menguat dan terjadi banyak penghancuran makam dan tempat yang dikeramatkan. Bahkan banyak dukun telah lenyap, tempat yang dikeramatkan diubah menjadi rumah, atau minimal diterangi listrik dan menyebabkan “roh magis pergi entah kemana”. Namun hal tersebut tidak menghilangkan unsur-unsur spiritualitas masyarakat akar rumput, sebab “roh-roh” tersebut tetap berada di dalam hatinya, hidup dalam kesadaran mereka.

Doktrin Islam murni yang diperjuangkan kelompok Al-Ikhlas di pedesaan ternyata sulit diterapkan di lapangan. Di luar ibadah formal atau khusus, banyak jamaah Muhammadiyah di tataran akar rumput yang tetap tahlilan, selametan, dan lain-lain. Masyarakat pedesaan di sana juga masih mempercayai kekuatan gaib yang mempengaruhi peristiwa duniawi, yang dianggap “tidak ada tuntunannya dalam Qur’an & Sunnah”.

Gagasan kesalehan merupakan faktor penting untuk memahami kehidupan umat di pedalaman/pedesaan. Perkembangan Islam di Indonesia didominasi oleh kaum sufi dengan membawa ajaran sufismenya yang ternyata cocok atau lebih diterima kalangan akar rumput di negeri ini. Terutama karena nilai-nilai ajarannya yang sinkretik, cocok dengan kearifan lokal masyarakat akar rumput Indonesia.

Sejak dahulu, sufisme inilah yang paling dominan dan diterima umat Islam Indonesia kebanyakan. Hal ini pula yang menjadikan Muhammadiyah dilemma dan pada perkembangannya menerima sufisme dengan menghubungkannya tetap dengan Qur’an & Sunnah. Menurut Rahman, dalam sejarah Islam justru sufisme sangat populer di kalangan akar rumput dan berkembang menjadi ajaran perlawanan rakyat, ketika elit penguasa didominasi ahli syariah (Rahman 1984).

Muhamamadiyah sejak didirikan lebih berkembangan di kawasan kota dan pasar. Penegasan terhadap pemberantasan TBC bukan model keagamaan petani atau kalangan akar rumput (Geertz 1983). Namun menurut Surjo, cara hidup kalangan akar rumput di pedalaman Indonesia terutama Jawa, telah menjadi lebih sistematis, ketikan Islam murni diintegrasikan dengan kearifan lokal yang sinkretik mengikuti tipologi penyebaran Islam ke wilayah Nusantara (Surjo, dkk. 1993).

Perluasan Muhammadiyah ke pedesaan bukan tanpa konflik. Jelas, sebelumnya telah dijelaskan bahwa Muhammadiyah awalnya kesulitan menembus garis akar rumput karena semangat pemberantasan TBC yang bertolakbelakang dengan tradisi keagamaan masyarakat pedesaaan Jawa. Upaya pencairan konflik tersebut pun berkali-kali dilakukan. Masa pergerakan nasional misalnya, dr. Soetomo yang seorang nasionalis memelopori pengembangan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan berkembang secara lingkup nasional hingga saat ini.

Bahkan Kyai Dahlan sendiri memilih sistem “sekuler” dalam banyak kegiatan sosial-keagamaan utamanya pendidikan, dan aktif dalam Budi Utomo serta Sarekat Islam. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Muhammadiyah menurut Mulkan justru menjadi ekslusif setelah pucuk pimpinan Muhammadiyah dikuasai oleh kelomok Al-Ikhlas, hal tersebut yang menyulitkan perluasan Muhammadiyah di tataran akar rumput.


Pribumisasi Islam Murni sebagai Jalan Tengah Perluasan Muhammadiyah

Akhir periode rezim Orde Baru menjadi tonggak awal para elit Muhammadiyah tingkat nasional menyadari betapa pentingnya mengubah pola kepeimpinan dan perluasan Muhammadiyah agar semakin diterima di seluruh lapisan umat Muslim Indonesia. Pada Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995, digaungkanlah Spiritualisasi Syariah, yang bertujuan kembali pada Islam sejati yang diterapkan Muhammadiyah pertama kali oleh Kyai Dahlan yakni dengan akal dan hati suci.
Menurut Mulkan, sebenarnya hal tersebut adalah tidak lain dari syariah plus sufisme. Namun sejak awal Muhammadiyah memang menghindari diri dari penyebutan sufisme demi menghindari mistifikasi Islam (Mulkan 2003). Menurut Mitsuo Nakamura, sufisme sevara substantif dan informal sebenarnya telah diamalkan oleh Muhammadiyah (Nakamura, Sufi Elements in Muhammadiyah: Notes from Field Observation 1980, dalam Mulkan 2003: 23). Soewara Muhammadijah pada 1915 jauh-jauh hari telah menyebutkan sufisme informal tersebut dengan istilah akhlaq mahmudah, bukan sufisme tapi akhlak.
Kesepakatan konsep “jalan baru” atau jalan tengah dalam perluasan Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah 1995 disebabkan oleh latar belakang elit pimpinannya yang kebanyakan saat itu merupakan para intelektual modern yang meluas sejak akhir 1980-an, para penggerak ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Hasil akhir dari jalan tengah tersebut adalah istilah pribumisasi islam murni, berupa siasat untuk memberantas TBC secara moderat. Hal tersebut pula yang menurut Ketua Tarjih Muhammadiyah periode 1995-2000 sebagai neo-sufisme (Abdullah 1996).
Pribumisasi Islam murni tersebut mencairkan konflik yang sebelumnya terjadi dalam usaha perluasan Muhammadiyah. Kaum petani melalui pribumisasi Islam murni tersebur dapat mengatasi konflik kepercayaan takdir dan ikhtiar bebas, keterikatan magis usaha tani dan puritansme Muhammadiyah serta konflik sosial-politik. Mereka memelihara harmoni hubungan sosial yang lebih luas dengan cara itu. Tradisi TBC dihidupkan kembali dan seluruh golongan Islam dan politik dipersatukan.
Hal tersebut juga menyebabkan meningkatnya partisipasi masyarakat pedesaan Jawa dalam kegiatan Muhammadiyah tertutama melalui pendidikan modern yang mendorong mobilitas sosial masyarakat akar rumput. Pribumisasi Islam murni dengan spiritualisasi syariah tersebut membuat masyarakat pedesaan terutama para petani lebih dapat memenuhi ritual islam tradisionalnya bersama komunitas petani yang lebih luas.

Penutup
Meluasnya Muhammadiyah ke daerah pedesaan Jawa menurut Mulkan bukanlah Islamisasi, namun merupakan pribumisasi Islam murni dengan fatwa tarjih yang tidak lagi menjadi referensi jamaah Muhammadiyah. Gerakan permunian Islam dalam masyarakat petani oleh Muhammadiyah pada perkembangannya lebih tampak pada pengorganisasian berbagai bentuk ibadah sosial seperti pengelolaan penyembelihan hewan kurban dan fitrah sehingga dapat memenuhi kebutuhan sosialnya.

Sistematisasi berbagai praktik keagamaan tradisional seperti tahlilan dan selametan kini juga dilakukan tanpa mengaitkan langsung dengan hal-hal berbau magis seperti periode sebelumnya. Jamaah Muhammadiyah antar lapisan elemen masyarakat juga kini dapat berbaur satu dengan lainnya dalam melakukan praktik keagamaan tradisional tersebut.

Kini, Muhammadiyah harus terus melakukan refleksi diri dan meneruskan perjuangan dengan jalan tengahnya itu, agar Muhammadiyah semakin dapat diterima di seluruh lapisan umat Muslim Indonesia dan tentunya dengan agenda gerakan yang lebih konkrit seperti ikut terlibat dalam penyelesaian agraria yang kini marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebab memperluas Muhammadiyah sejatinya bukan hanya memperbanyak jumlah anggota, namun juga Muhammadiyah benar-benar harus ada dan aktif dalam kehidupan masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia.




Daftar Pustaka


Abdullah M. Amin, 1996, Perkembangan Pemikiran Islam dalam Mmuhammadiyah: Perspektif Tarjih Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43, dalam BRM. No. 05/1995-2000, hlm 18-26.

Abdul Gaffar Karim, 1995, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, LKis dan Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Abdul Munir Mulkan, 2013, Marhaenis Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, Galang Pustaka: Yogyakarta.

Geertz, Clifford, 1983, Abanagan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan, Pustaka: Bandung.

Nakamura, Mitsuo, 1983, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, terjemahan, Gadjah Mada University Press: Yogayakarta.

Rahman, Fazlur, 1984, Islam, Pustaka: Bandung.


Surjo, Joko, dkk, 1993, Agama dan Perubahan Sosial; Studi Tentang Hubungan Antara Islam, Masyarakat, dan Struktur Sosial-Politik Indonesia, Pusat Antar Universitas-Studi Sosial UGM, Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment