*tulisan dibuat sebagai materi Diskusi Publik Komisariat GMNI FIB UGM bersama Komisariat HMI Hukum UGM, Teknik UGM, dan KAMMI UGM pada Kamis, 15 Desember 2016 pukul 15.30 WIB di Balairung UGM.
Oleh:
Komisariat GMNI FIB UGM
Komisariat GMNI FIB UGM
**
Kesatuan & Persatuan Indonesia merupakan jargon utama yang digaungkan oleh para Pendiri Bangsa dan Negara Indonesia sejak masa Kolonial hingga awal Kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, makna Persatuan Indonesia sangat jelas. Tidak hanya 'bungkusannya' saja namun juga isinya. Kesatuan & Persatuan Indonesia dimaknai bukan hanya rasa Kebangsaan, namun juga sisi Kerakyatannya. Masa-masa itu, konsep Kebangsaan & Kerakyatan masih sangat jelas bahwa keduanya menjadi landasan kehidupan Bangsa Indonesia, atau yang kita kenal sebagai Pancasila.
Pancasila yang kami maksud adalah Pancasila yang sejati, Pancasila 1 Juni 1945 yang merupakan Pidato Bung Karno pada saat itu untuk merumuskan Dasar Negara & Falsafah Hidup Bangsa Indonesia. Walaupun redaksi atau kata-kata dalam Pancasila yang dicetuskan Bung Karno berbeda dengan susunan Pancasila yang disahkan hingga kini, namun esensi Pancasila yang kita kenal saat ini itulah sejatinya Pancasila 1 Juni 1945. Agar lebih memahami esensi itu. Mari kita kaji kembali Sejarah Bangsa Indonesia. Kita baca lagi Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Itulah rumusan Dasar Negara dan Falsafah Hidup Bangsa Indonesia.
Pancasila menurut Bung Karno dapat diperas menjadi Trisila yakni:
1. Sosio-Nasionalisme (singkatnya berarti Nasionalisme yang bertujuan menyelamatkan Kaum Marhaen, Rakyat Kecil Indonesia)
2. Sosio-Demokrasi
(singkatnya berarti Demokrasi yang bertujuan menyelamatkan Kaum Marhaen, juga untuk menerapkan Demokrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial demi mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia)
3. Ketuhanan yang Berkebudayaan (berarti Ketuhanan yang berbudaya, penuh toleransi antar umat beragama dan aliran kepercayaan, hidup damai dan sama-sama berjuang dengan semangat Spiritual untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia).
Ketiganya merupakan isi dari Marhaenisme, Ajaran Bung Karno mengenai Indonesia ini yang dapat dianggap bahwa Marhaenisme adalah Pancasila itu sendiri.
Trisila juga dapat diperas menjadi satu hal yang merupakan jiwanya Bangsa Indonesia, yakni Gotong Royong.
Pancasila yang demikian lah yang hidup di sanubarinya Rakyat Indonesia sejak awal Kemerdekaan Indonesia hingga akhirnya semua berubah setelah Orde Baru berkuasa.
Terjadi pemaknaan, penerapan, dan pemaksaan terhadap Pancasila yang dijadikan Sakral sebagai Ideologi Negara dengan jiwa dan nuansa Militeristik. Pancasila dijauhkan dari penggalinya, Bung Karno. Juga diceraikan paksa dari makna aslinya sebagai Dasar Negara sebagaimana penjelasan di atas.
Selama puluhan tahun kita dibodohi dan dibuat asing terhadap makna Pancasila yang sejati itu. Termasuk makna Persatuan Indonesia. Bagi kami, kini Persatuan Indonesia hanya sebagai Propaganda sekedar untuk melawan golongan yang dianggap Fundamentalis Agama semata. Seolah Nasionalisme digambarkan sebagai Sekulerisme. Persatuan Indonesia hanya sebatas dimaknai 'bungkusannya' saja, tidak isinya. Persatuan Indonesia hanya bermakna NKRI Harga Mati, Bhinneka Tunggal Ika, dan Satu Nusa Satu Bangsa, atau Cinta Tanah Air.
Sekedar nonton Timnas Indonesia misalnya, itu sudah dianggap Nasionalis. Bangga Indonesia mendapat medali di Olimpiade, itu sudah dianggap Nasionalis.
Padahal jauh dari itu. Mari kembali kita pasangkan Kerakyatan bersama Kebangsaan dengan sebenar-benarnya. Tentunya hal tersebut merupakan perjuangan panjang. Sebelum dapat melakukan itu, maka hal utama yang harus kita lakukan saat ini ialah mengembalikan makna Pancasila sebagaimana yang Bung Karno jelaskan sebagai penggalinya. Esensi dari Nasionalisme itu apa? Bahwa bukan sekedar Cinta Tanah Air. Bukan sekedar Nasionalisme. Tapi Sosio-Nasionalisme!
Kita Cinta Negeri ini dengan tujuan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Maka itu kami merasa penting untuk memperbaharui makna Kesatuan & Persatuan Indonesia:
Kesatuan semangat & Persatuan persepsi mengenai esensi Pancasila dan Perjuangan mewujudkan Sosialisme Indonesia.
Itulah yang seharusnya kita perjuangkan dan kita gaungkan. Itulah Persatuan Indonesia sejatinya.
**
Dalam tulisan singkat ini kami mengerucutkannya dalam bidang Pendidikan Nasional dan Agraria.
Pendidikan Nasional
Kami menjadikan buku "Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-hasilnya", karya Kamadjaja, terbitan U.P. Indonesia tahun 1966, sebagai salah satu referensi dalam mengkaji Pendidikan Nasional Indonesia berasas Pancasila 1 Juni 1945. Pendidikan yang Marhaenistis, yang Sosialistis.
Kita bisa mendiskusikan buku ini mungkin pada Diskusi berikutnya. Dalam tulisan singkat ini kami hanya ingin memberikan gagasan kami mengenai Revolusi Pendidikan Nasional / Revolusi Pendidikan Indonesia. Itulah Perjuangan panjang kita, itulah harga mati kita, itulah salah satu semangat Persatuan kita: Mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia.
Revolusi Pendidikan bukan semata Free Education, UKT, ataupun berbagai permasalahan Perguruan Tinggi. Bukan semata demikian, itu pemahaman yang sangat sempit. Lebih utama dari itu semua ialah konsep, metode, serta tujuan politik dari Pendidikan Nasional.
Pendidikan Indonesia saat ini sangat jauh menyimpang dari tujuan awalnya, kini hanya sebagai pemuas nafsu pasar, untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bukan sebagai alat perjuangan. Bukan untuk memperjuangkan rakyat kecil. Bukan untuk mewujudkan Keadilan Sosial. Bukan untuk menjadikan manusia sebagai manusia sejati. Bukan untuk memanusiakan manusia, bukan untuk Humanisme & Sosio-Nasionalisme serta Sosio-Demokrasi, tapi Pendidikan kini sangat berjiwa Kapitalistis yang semakin subur di alam Liberalisme Modern / Neo Liberalisme pasca Reformasi Indonesia 1998.
Beberapa lampiran yang kami temukan mengenai penerapan Pendidikan Nasional periode 1960-an dalam buku karya Kamadjaja tersebut dapat kita jadikan referensi dalam kontekstualisasi perjuangan Revolusi Pendidikan Indonesia di tengah kepungan zaman Globalisasi saat ini, diantaranya sebagai berikut:
Penetapan Presiden RI No. 10 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pantjasila.
Bab I
Pasal 1
Dasar-Azas Pendidikan Nasional
Pancasila adalah Moral & Falsafah Hidup Bangsa Indonesia yang menjadi landasan bagi semua pelaksanaan Pendidikan Nasional.
Pasal 2
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional sejak Prasekolah hingga Perguruan Tinggi supaya melahirkan warganegara Sosialis Indonesia yang susila, bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, Adil Makmur secara Spirituil & Materil dan berjiwa Pancasila.
Pasal 3
Moral Pendidikan Nasional
Pancasila adalah Moral Pendidikan Nasional
Pasal 4
Politik Pendidikan Nasional
Ialah Manifesto Politik Republik Indonesia. Garis & Strategi Pelaksanaan Pendidikan Nasional harus melahirkan Patriot Komplit untuk menentang segala bentuk Penghisapan manusa atas manusia serta Bangsa atas Bangsa, yakni:
1. Imperialisme
2. Kolonialisme & Neo-Kolonialisme
3. Feodalisme
4. Kapitalisme
Pasal 5
Pengkhususan dalam Sistem Pendidikan Nasional
Diperkenankan sesuai aliran politik dan keyakinan agama yang dianutnya masing-masing dalam rangka Pancasila sebagai satu kesatuan.
Dan lain-lain.
Mari kita saksikan. Betapa tujuan Pendidikan Nasional saat itu sejalan dengan tujuan dalam Konstitusi kita: Lagi-lagi, mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia. Tentunya hal tersebut sebab Pancasila 1 Juni 1945 menjadi landasan utama dalam setiap Kebijakan Pemerintah, termasuk dalam bidang Pendidikan.
Perjuangan kita untuk Pendidikan Indonesia saat ini dan masa depan ialah perjuangan Revolusi Pendidikan Nasional agar dapat mengkontekstualisasikan Pancasila 1 Juni 1945 dan kebijakan-kebijakan Pemerintah saat itu sebagai landasan kita menerapkan konsep dan metode Pendidikan Nasional.
Revolusi Pendidikan Indonesia tidak dapat terjadi secara singkat, ia merupakan proses panjang dan berat serta harus dijuangkan terus menerus. Namun bukan berarti kita tidak sanggup. Katakanlah.. Kita sanggup! Ya. Memperjuangkan Revolusi Pendidikan Indonesia agar Pendidikan Nasional kembali pada jatidirinya dan memiliki tujuan serta sikap politiknya, yakni menentang segala bentuk penindasan & penghisapan.
Namun sebelum itu semua, mar Revolusi Mental-kan diri kita masing-masing dahulu agar kita semua memahami dan mendalami semangat Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan yang Berkebudayaan tersebut.
Terkait Pendidikan pula, pada awal/Abad ke-20, mulai dibangun dan diperjuangkan terkait Pendidikan untuk rakyat. Diantaranya Tamansiswa berlatar Nasionalis, dan Muhammadiyah yang berlatar Keagamaan, keduanya sebagai yang terbesar saat itu. Namun mari kini kita berkaca.
Taman Siswa?
Redup. Tidak berkembang meluas di Indonesia. Kalah pamor. 'Jawa-sentris'. Kurang finansial, ketinggalan zaman, dan lain-lain.
Muhammadiyah?
"Kini bagi saya, Pendidikan Muhammadiyah bagaikan 'Franchise'. Banyak Sekolah & Universitas Muhammadiyah di berbagai Indonesia dengan dalih pendidikan untuk Umat, namun harganya selangit dan bersifat Kapitalistis & Borjuistis. Muhammadiyah justru kurang mengakomodir kamu Marhaen untuk mendapat Pendidikan. Seperti Indomaret / Alfamart / dan semacamnya. Banyak dimana-mana, tapi mencekik rakyat kecil itu sendiri" (Aslama Nanda Rizal).
Banyak cara untuk memulai perjuangan panjang Revolusi Pendidikan Indonesia tersebut yakni memperbanyak Komunitas Pengajar dan memberikan Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan bagi para Pengajar sebagai kepanjangan tangan atau agen-agen Revolusi Pendidikan Indonesia, membuka Sekolah-sekolah Rakyat yang berasas Pancasila 1 Juni 1945 dengan semangat Kebangsaan & Kerakyatan dan bersifat Sosialistis, membuat Simposium Pendidikan Indonesia yang membahas mengenai konsep, sistem, metode hingga teknis Pendidikan Indonesia seharusnya. Kita harus satukan langkah perjuangan mewujudkan Pendidikan sebagai Fasilitas Umum, dan secara perlahan kita harus singkirkan para elit dan Birokrat serta Politisi busuk nan korup yang menjadi penghambat dalam Revolusi. Untuk menyingkirkannya tidak bisa sembarangan mengandalkan kata-kata Revolusi, tangan kiri mengepal dan berbuat kerusuhan semata. Jauh dari itu, kita harus siapkan diri kita, generasi setelah kita, dan masyarakat / rakyat / Kaum Marhaen untuk merebut kekuasaan tersebut. Dalam istilah Bung Karno, kedua model perjuangan itu disebut Marchtvending & Marchtvorming.
**
Agraria
Tidak bisa sembarangan bagi kit saat ini untuk berbicara mengenai Agraria. Karena menyangkut hajat hidup utama Kaum Marhaen. Bahkan belum tentu kita sendiri pernah menggunakan cangkul untuk bekerja.
Namun dalam konteks Diskusi kali ini terkait Persatuan Indonesia mengenai Agraria. Kita dapat memulainya dengan memantik Nurani Rakyat Indonesia terhadap nasib Kaum Marhaen Indonesia saat ini yang sedang banyak mengalami masalah, masih tertindas. Ini masih dan terus berlaku di berbagai daerah di Indonesia.
Kini semakin banyak kasus Agraria dikabarkan di berbagai Media. Tentunya hal tersebut menjadi salah satu cara untuk memantik Persatuan Rakyat Indonesia terkhusus Kaum Marhaen untuk melawan penindasan yang merebut hajat hidupnya dengan 'backing'-an Pemerintah Daerah & Aparat Negara (TNI & POLRI). Semakin banyak yang ter-blow up, semakin sering kita Diskusi dan konsolidasi bersama rakyat untuk memperjuangkan tanah dan hajat hidupnya.
Dalam perspektif Marhaenisme (Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, Ketuhanan yang Berkebudayaan), lebih jelas lagi berarti dalam perspektif Pancasila 1 Juni 1945, adalah sangat jelas bahwa Kedaulatan Rakyat adalah Harga Mati. Bahwa Rakyat harus mengelola hajat hidupnya bersama-sama. Tanah dan air tidak boleh dikooptasi oleh Korporasi demi kepentingan mereka dan elit politik. Alat produksi harus dikelola bersama oleh Masyarakat. Terutama terhadap Sumber Daya Alam, Pemerintah menguasainya untuk digunakan demi kepentingan seluruh Rakyat Indonesia.
Sepanjang Sejarah pasca Kemerdekaan Indonesia, soal Agraria menjadi puncak perjuangannya pada periode 1950-an hingga diterapkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Banyak kajian mengenai positif dan negatifnya Kebijakan tersebut, yang jelas itu merupakan Kebijakan yang sangat jelas mengenai Agraria, berpihak ke Marhaen. Bukan ke Korporasi, apalagi elit politik.
Namun semua diputarbalikkan sejak Orde Baru berkuasa. UUPA dibuat mati-suri, di-peti es-kan hingga kini. Pasca Reformasi 1998, justru kehidupan Agraria Indonesia semakin Kapitalistis dan jauh menyimpang dari cita-cita para Pendiri Bangsa dan Negara Indonesia.
No comments:
Post a Comment