Asmara Hadi (Kelahiran Bengkulu, 1914) merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan, dan salah satu tokoh pemuda di zamannya (periode 1930-1940an), aktivis pergerakan rakyat yang digembleng dan didik langsung oleh Soekarno, juga sebagai publisis/jurnalis/penulis dan sastrawan hebat (Redaktur "Fikiran Rakjat" -suratkabar yang dipimpin Soekarno: 1932-1934, Pimpinan Redaksi "Toedjoean Rakjat" & "Pelopor" serta Redaktur Majalah Sastra "Poedjangga Baroe": 1937-1941. Pasca Kemerdekaan, mendirikan kembali "Pikiran Rakyat", dan menjadi redaktur di banyak suratkabar).
Ia juga merupakan politisi ulung dengan jabatan negara yang tertinggi sebagai Wakil Ketua DPR-GR pada 1965, juga pendiri dan Ketua Umum Partai Indonesia (PARTINDO) 1958-1965 (didirikan kembali setelah dahulu dibekukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda). Seorang murid dan sahabat "Bung Karno" sejati, bahkan menjadi menantunya. Asmara Hadi menikahi putri angkat Soekarno dari Inggit Garnasih: Ratna Djoeami.
Perhatian terhadap dunia pergerakan rakyat salah satu hal yang
diutamakan oleh Asmara Hadi sehingga menjadi penting dalam pemikirannya. Pada
masa kolonial, tepatnya awal 1930-an krisis perekonomian dunia (krisis
kapitalisme) atau yang dikenal dengan nama malaise, sangat berpengaruh di
banyak wilayah dunia termasuk di Hindia-Belanda. Asmara Hadi pernah
mengungkapkan hal tersebut ketika membacakan pidato Kongres III Partindo 1961:
Gelombang
krisis kapitalisme tahun 1930-an (malaise) menimbultenggelamkan kaum marhaen ke
dalam lautan kesengsaraan jang sangat pedih. Beratus2 ribu orang dilepas dari
pekerdjaan, menganggur tak punja penghasilan. Tiap hari, koran memuat berita2
tentang kelaparan, tentang orang mendjual anaknja, karena tak sanggup
menghidupinja lagi, tentang orang jang mentjuri supaja dimasukkan dalam
pendjara[1].
Menurut
Asmara Hadi, malaise memengaruhi pergerakan rakyat pada masa itu. Pemerintah
kolonial Hindia-Belanda yang terkena dampak krisis kapitalisme tersebut menjadi
reaksioner terhadap masyarakat Hindia-Belanda. Pergerakan rakyat (pergerakan
nasional) saat itu semakin kuat. Banyak partai politik dan organisasi pergerakan
telah berdiri dan semakin memiliki banyak pengaruh dan massa. Ide-ide
kemerdekaan pada periode 1930-an telah meluas ke penjuru Hindia-Belanda.
Asmara
Hadi menganalogikannya seperti kapal di tengah lautan menuju pantai tempat
berlindung. Kapal tersebut disebut kapal perjuangan (pergerakan rakyat), sedang
lautannya ialah penjajahan dan penindasan (kapitalisme, kolonialisme, dan
imperialisme). Di tengah pelayaran kapal tersebut, semakin terhempas gelombang
rintangan, dengan gelombang baru pada saat itu yang sangat kuat (malaise).
Kolonialisme Belanda, ditambah situasi malaise, melahirkan kesengsaraan yang
semakin hebat[2].
Malaise
menyebabkan perekonomian Belanda terkena dampaknya, dan hal tersebut
menyebabkan pemerintah kolonial semakin sensitif. Pemerintah kolonial semakin
membatasi ruang gerak para aktivis pergerakan nasional/ pergerakan rakyat.
Setelah PKI dibubarkan akibat pemberontakan pada 1926, malaise merebak dan
membuat krisis, pemerintah kolonial semakin banyak aktivis pergerakan nasional/
pergerakan rakyat yang ditangkap, dipenjara, hingga dibuang ke pelosok
Hindia-Belanda.
Diantaranya
ialah Soekarno dan para pimpinan PNI yang ditangkap pada akhir 1930. Pada
perkembangannya Soekarno ditangkap lagi dan dibuang ke Ende pada 1934-1938 lalu
ke Bengkulu (1938-1942). Demikian juga Hatta dan Syahrir yang ditangkap dan
dibuang ke Banda lalu ke Boven Digul, dan banyak aktivis pergerakan lainnya
yang juga dibuang ke pelosok negeri, terutama Hindia-Belanda bagian timur (kini
Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua).
Asmara
Hadi menuliskan hal tersebut pada salah satu artikelnya di Fikiran Ra’jat mengenai hal ini. Ia menyindir pemerintah kolonial
yang hanya memberi janji mengenai kebebasan berkumpul dan bersidang serta
berserikat. Tiap-tiap rapat rakyat bak telah menjadi tempat hujan stopan
(pemberhentian), tiap-tiap perkataan yang berapi-api dan bersemangat telah
dipandang sebagai sebuah penghasutan kepada rakyat, agar rakyat melakukan
pemberontakan. Asmara Hadi memprotes keras tindakan pemerintah kolonial
tersebut. Baginya, pergerakan rakyat hanyalah bertujuan satu: membangunkan
rakyat yang masih tidur, menginsyafkan rakyat yang belum sadar, dan
menggerakkan rakyat yang masih diam atas kondisi yang menimpa rakyat saat itu[3].
Jika
saat ini sedang digulirkan isu oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat mengenai
bahaya radikalisme, membuat terminologi radikalisme di zaman sekarang menjadi
bergeser makna. Di masa pergerakan
nasional / pergerakan rakyat era kolonial, hingga sebelum masa kekuasaan
Suharto, kata radikal bukanlah momok menakutkan seperti saat ini. Radikal berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya “secara mendasar (sampai kepada hal yang
prinsip)”.
Jika
membaca literatur-literatur mengenai politik dan ideologi pada masa tersebut,
akan banyak dijumpai kata-kata radikal, radikalisme, revolusi, revolusioner,
dan lain-lain yang memiliki makna serupa: kuat dengan prinsip dan menginginkan
perubahan ke arah yang lebih baik secara cepat dan menyeluruh. Namun berbeda
sejak Suharto berkuasa hingga saat ini, kata radikal dan radikalisme tampak
bergeser ke arah negatif. Bahkan kini, radikalisme sering kita jumpai di
berbagai media massa (terutama sosial media) mengarah kepada kelompok Islam,
atau juga biasanya disebut “radikalisme agama”.
Asmara
Hadi adalah salah satu tokoh pergerakan yang gandrung akan kata radikal dan
mendukung radikalisme, dengan pengertian atau makna di zamannya. Mengenai pergerakan
rakyat, bagi Asmara Hadi haruslah bersifat radikal dan menjunjung radikalisme
sebagai kekuatan utama membangun pergerakan rakyat yang revolusioner. Pergerakan
rakyat haruslah mengubah statika menjadi dinamika, mengisi dada rakyat dengan
radikalisme, menanamkan jiwa revolusioner di hati rakyat. Sehingga rakyat memiliki
kemauan yang lebih keras daripada batu, sehingga kemauan tersebut dapat
mengguncangkan seluruh dunia. Rakyat Indonesia sesungguhnya punya hati di
tiap-tiap orangnya, pastilah menginginkan kemerdekaan. Wajar saja jika
perkataan-perkataan pedas dan seluruh perjuangan rakyat tersebut tidak disukai
oleh pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia merdeka[4].
Awal
1930-an menjadi awal dari anti-klimaks pergerakan rakyat di Hindia-Belanda. Pemerintah
kolonial semakin keras terhadap aktivis pergerakan dan organisasi atau partai
politiknya, hingga dibekukan, dibubarkan, menangkap para aktivisnya, dan
membuang para pimpinannya. Awal 1930-an sangat memengaruhi pergerakan kaum
nasionalis saat itu yang direpresentasikan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI)
hingga dibubarkan, lalu dilanjutkan oleh Partai Indonesia (Partindo) dan
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Bahkan Partindo dan PNI Baru akhirnya
dibekukan oleh pemerintah kolonial dan para pimpinannya dibuang ke timur
Hindia-Belanda. Masa itu, menurut Asmara Hadi, pemerintah kolonial memutuskan
bahwa barangsiapa di antara pegawai negeri mendukug atau bahkan menjadi anggota
Partindo atau PNI Baru, maka pegawai tersebut dipecat dengan tidak hormat[5].
Asmara
Hadi pun juga geram dengan kondisi tersebut. Ia menyerukan kepada seluruh
pegawai negeri yang menjadi anggota Partindo atau PNI Baru bahwa pergerakan
kemerdekaan tidak akan memaksa, jika kita siap menanggung beban penderitaan,
kesengsaraan, kemelaratan, kesedihan, dan kelaparan. Serta memiliki iman yang
teguh, hati yang tetap, dan lebih suka mati bersama kaum marhaen, daripada
hidup senang sendiri. Ia menyerukan untuk berjuang terus hingga Indonesia
merdeka atau hingga ajal menjemput.[6]
Namun,
Asmara Hadi tidak memaksa, lanjut dalam seruannya itu. Silakan berpisah,
silakan tidak ikut dalam pergerakan rakyat, jika memang tidak sanggup untuk
melihat anak-anak kelaparan dan penuh penderitaan, jika masih butuh biaya dari
jerih payah bekerja untuk pemerintah demi keluarga. Asmara Hadi tidak memaksa
dan tidak menghakimi yang memilih keputusan demikian dengan teramat terpaksa. Karena
Asmara Hadi juga seorang yang romantis, ia memahami, tidak tega melihat anak
sendiri kelaparan dan penuh penderitaan. Asmara Hadi hanya menyampaikan salam
perpisahannya itu:
Selamat berpisah! Selamat djalan!
Di Indonesia Merdeka, kita
bertemoe. Kami jang tinggal, kami jang lebih soeka menderita kesengsaraan jang
terpahit poen, daripada toendoek sekedjap mata poen, kami akan berdjoang teroes
oentoek kemerdeka seloeroeh Indonesia, jang djoega berarti kemerdekaan kamoe.
Memang kemerdekaan Indonesia jang
mendjadi tjita-tjita kami itoe, tidak sadja kemerdekaan ra’jat jang sekarang
ini berdjoang mati-matian, tetapi djoega berarti kemerdekaan kaoem reactie Indonesia.
Jang pada masa ini membantoe kaoem reactie sana[7],
melemparkan rintangan keras pergerakan kemerdekaan rakjat, djoega akan
merasakan merdeka nanti, djoega akan memetik hasilnja dan memakan boeahnja
kemerdekaan[8].
Begitulah
Asmara Hadi berkali-kali menyinggung pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan
yang mendukungnya. Selain tulisan di artikel tersebut, banyak sekali
artikel-artikel dengan nuansa demikian yang dibuat oleh Asmara Hadi. Kritik, sindiran,
dan kecaman terhadap penjajahan (kapitalisme, kolonialisme, imperialisme)
berkali-kali dilontarkan. Selain tulisan panjang seperti tulisan di Fikiran Ra’jat tersebut, juga dapat
dilihat dalam karya-karya sastranya saat itu (seperti yang telah dijelaskan
pada sub-bab sebelum ini).
Betapa
Asmara Hadi menginginkan persatuan dalam pergerakan rakyat menuju kemerdekaan
Indonesia, menghancurkan kapitalisme, lepas dari kolonialisme dan imperialisme,
dan membangun sosialisme Indonesia. Secara bersama-sama, gotong royong,
bersatu, membentuk kekuatan revolusioner untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
[1] [1]
Asmara Hadi, “Rantjangan Garis Ideologi Partai ‘PARTINDO’: Marhaenisme Adjaran
Bung Karno”, Pidato Ketua Umum pada Kongres III PARTINDO: Jakarta, 26-31
Desember 1961, hlm. 3.
[2] Ipih,
“Pergerakan Ra’jat Jang Radicaal Diharamkan Oleh Pemerintah”, Fikiran Ra’jat:
Bandung, 9 Desember 1932, no.24, hlm. 5-8.
[3] Ipih,
“Pergerakan Ra’jat Jang Radicaal Diharamkan Oleh Pemerintah”, hlm. 6.
[4] Ibid.,
[5] Ipih, Op.cit., hlm. 7.
[6] Ibid.,
[8] Op.cit., hlm. 7-8.
No comments:
Post a Comment