Tuesday, August 22, 2017

ASMARA HADI & PERGERAKAN RAKYAT AWAL 1930-AN



Asmara Hadi (Kelahiran Bengkulu, 1914) merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan, dan salah satu tokoh pemuda di zamannya (periode 1930-1940an), aktivis pergerakan rakyat yang digembleng dan didik langsung oleh Soekarno, juga sebagai publisis/jurnalis/penulis dan sastrawan hebat (Redaktur "Fikiran Rakjat" -suratkabar yang dipimpin Soekarno: 1932-1934, Pimpinan Redaksi "Toedjoean Rakjat" & "Pelopor" serta Redaktur Majalah Sastra "Poedjangga Baroe": 1937-1941. Pasca Kemerdekaan, mendirikan kembali "Pikiran Rakyat", dan menjadi redaktur di banyak suratkabar). 

Ia juga merupakan politisi ulung dengan jabatan negara yang tertinggi sebagai Wakil Ketua DPR-GR pada 1965, juga pendiri dan Ketua Umum Partai Indonesia (PARTINDO) 1958-1965 (didirikan kembali setelah dahulu dibekukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda). Seorang murid  dan sahabat "Bung Karno" sejati, bahkan menjadi menantunya. Asmara Hadi menikahi putri angkat Soekarno dari Inggit Garnasih: Ratna Djoeami.

 Perhatian terhadap dunia pergerakan rakyat salah satu hal yang diutamakan oleh Asmara Hadi sehingga menjadi penting dalam pemikirannya. Pada masa kolonial, tepatnya awal 1930-an krisis perekonomian dunia (krisis kapitalisme) atau yang dikenal dengan nama malaise, sangat berpengaruh di banyak wilayah dunia termasuk di Hindia-Belanda. Asmara Hadi pernah mengungkapkan hal tersebut ketika membacakan pidato Kongres III Partindo 1961:

Gelombang krisis kapitalisme tahun 1930-an (malaise) menimbultenggelamkan kaum marhaen ke dalam lautan kesengsaraan jang sangat pedih. Beratus2 ribu orang dilepas dari pekerdjaan, menganggur tak punja penghasilan. Tiap hari, koran memuat berita2 tentang kelaparan, tentang orang mendjual anaknja, karena tak sanggup menghidupinja lagi, tentang orang jang mentjuri supaja dimasukkan dalam pendjara[1].

Menurut Asmara Hadi, malaise memengaruhi pergerakan rakyat pada masa itu. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang terkena dampak krisis kapitalisme tersebut menjadi reaksioner terhadap masyarakat Hindia-Belanda. Pergerakan rakyat (pergerakan nasional) saat itu semakin kuat. Banyak partai politik dan organisasi pergerakan telah berdiri dan semakin memiliki banyak pengaruh dan massa. Ide-ide kemerdekaan pada periode 1930-an telah meluas ke penjuru Hindia-Belanda.
Asmara Hadi menganalogikannya seperti kapal di tengah lautan menuju pantai tempat berlindung. Kapal tersebut disebut kapal perjuangan (pergerakan rakyat), sedang lautannya ialah penjajahan dan penindasan (kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme). Di tengah pelayaran kapal tersebut, semakin terhempas gelombang rintangan, dengan gelombang baru pada saat itu yang sangat kuat (malaise). Kolonialisme Belanda, ditambah situasi malaise, melahirkan kesengsaraan yang semakin hebat[2].
Malaise menyebabkan perekonomian Belanda terkena dampaknya, dan hal tersebut menyebabkan pemerintah kolonial semakin sensitif. Pemerintah kolonial semakin membatasi ruang gerak para aktivis pergerakan nasional/ pergerakan rakyat. Setelah PKI dibubarkan akibat pemberontakan pada 1926, malaise merebak dan membuat krisis, pemerintah kolonial semakin banyak aktivis pergerakan nasional/ pergerakan rakyat yang ditangkap, dipenjara, hingga dibuang ke pelosok Hindia-Belanda.
Diantaranya ialah Soekarno dan para pimpinan PNI yang ditangkap pada akhir 1930. Pada perkembangannya Soekarno ditangkap lagi dan dibuang ke Ende pada 1934-1938 lalu ke Bengkulu (1938-1942). Demikian juga Hatta dan Syahrir yang ditangkap dan dibuang ke Banda lalu ke Boven Digul, dan banyak aktivis pergerakan lainnya yang juga dibuang ke pelosok negeri, terutama Hindia-Belanda bagian timur (kini Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua).

Asmara Hadi menuliskan hal tersebut pada salah satu artikelnya di Fikiran Ra’jat mengenai hal ini. Ia menyindir pemerintah kolonial yang hanya memberi janji mengenai kebebasan berkumpul dan bersidang serta berserikat. Tiap-tiap rapat rakyat bak telah menjadi tempat hujan stopan (pemberhentian), tiap-tiap perkataan yang berapi-api dan bersemangat telah dipandang sebagai sebuah penghasutan kepada rakyat, agar rakyat melakukan pemberontakan. Asmara Hadi memprotes keras tindakan pemerintah kolonial tersebut. Baginya, pergerakan rakyat hanyalah bertujuan satu: membangunkan rakyat yang masih tidur, menginsyafkan rakyat yang belum sadar, dan menggerakkan rakyat yang masih diam atas kondisi yang menimpa rakyat saat itu[3].

Jika saat ini sedang digulirkan isu oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat mengenai bahaya radikalisme, membuat terminologi radikalisme di zaman sekarang menjadi bergeser makna.  Di masa pergerakan nasional / pergerakan rakyat era kolonial, hingga sebelum masa kekuasaan Suharto, kata radikal bukanlah momok menakutkan seperti saat ini. Radikal berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya “secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip)”.

Jika membaca literatur-literatur mengenai politik dan ideologi pada masa tersebut, akan banyak dijumpai kata-kata radikal, radikalisme, revolusi, revolusioner, dan lain-lain yang memiliki makna serupa: kuat dengan prinsip dan menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik secara cepat dan menyeluruh. Namun berbeda sejak Suharto berkuasa hingga saat ini, kata radikal dan radikalisme tampak bergeser ke arah negatif. Bahkan kini, radikalisme sering kita jumpai di berbagai media massa (terutama sosial media) mengarah kepada kelompok Islam, atau juga biasanya disebut “radikalisme agama”.

Asmara Hadi adalah salah satu tokoh pergerakan yang gandrung akan kata radikal dan mendukung radikalisme, dengan pengertian atau makna di zamannya. Mengenai pergerakan rakyat, bagi Asmara Hadi haruslah bersifat radikal dan menjunjung radikalisme sebagai kekuatan utama membangun pergerakan rakyat yang revolusioner. Pergerakan rakyat haruslah mengubah statika menjadi dinamika, mengisi dada rakyat dengan radikalisme, menanamkan jiwa revolusioner di hati rakyat. Sehingga rakyat memiliki kemauan yang lebih keras daripada batu, sehingga kemauan tersebut dapat mengguncangkan seluruh dunia. Rakyat Indonesia sesungguhnya punya hati di tiap-tiap orangnya, pastilah menginginkan kemerdekaan. Wajar saja jika perkataan-perkataan pedas dan seluruh perjuangan rakyat tersebut tidak disukai oleh pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia merdeka[4].

Awal 1930-an menjadi awal dari anti-klimaks pergerakan rakyat di Hindia-Belanda. Pemerintah kolonial semakin keras terhadap aktivis pergerakan dan organisasi atau partai politiknya, hingga dibekukan, dibubarkan, menangkap para aktivisnya, dan membuang para pimpinannya. Awal 1930-an sangat memengaruhi pergerakan kaum nasionalis saat itu yang direpresentasikan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) hingga dibubarkan, lalu dilanjutkan oleh Partai Indonesia (Partindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Bahkan Partindo dan PNI Baru akhirnya dibekukan oleh pemerintah kolonial dan para pimpinannya dibuang ke timur Hindia-Belanda. Masa itu, menurut Asmara Hadi, pemerintah kolonial memutuskan bahwa barangsiapa di antara pegawai negeri mendukug atau bahkan menjadi anggota Partindo atau PNI Baru, maka pegawai tersebut dipecat dengan tidak hormat[5].

Asmara Hadi pun juga geram dengan kondisi tersebut. Ia menyerukan kepada seluruh pegawai negeri yang menjadi anggota Partindo atau PNI Baru bahwa pergerakan kemerdekaan tidak akan memaksa, jika kita siap menanggung beban penderitaan, kesengsaraan, kemelaratan, kesedihan, dan kelaparan. Serta memiliki iman yang teguh, hati yang tetap, dan lebih suka mati bersama kaum marhaen, daripada hidup senang sendiri. Ia menyerukan untuk berjuang terus hingga Indonesia merdeka atau hingga ajal menjemput.[6]

Namun, Asmara Hadi tidak memaksa, lanjut dalam seruannya itu. Silakan berpisah, silakan tidak ikut dalam pergerakan rakyat, jika memang tidak sanggup untuk melihat anak-anak kelaparan dan penuh penderitaan, jika masih butuh biaya dari jerih payah bekerja untuk pemerintah demi keluarga. Asmara Hadi tidak memaksa dan tidak menghakimi yang memilih keputusan demikian dengan teramat terpaksa. Karena Asmara Hadi juga seorang yang romantis, ia memahami, tidak tega melihat anak sendiri kelaparan dan penuh penderitaan. Asmara Hadi hanya menyampaikan salam perpisahannya itu:

Selamat berpisah! Selamat djalan!

Di Indonesia Merdeka, kita bertemoe. Kami jang tinggal, kami jang lebih soeka menderita kesengsaraan jang terpahit poen, daripada toendoek sekedjap mata poen, kami akan berdjoang teroes oentoek kemerdeka seloeroeh Indonesia, jang djoega berarti kemerdekaan kamoe.

Memang kemerdekaan Indonesia jang mendjadi tjita-tjita kami itoe, tidak sadja kemerdekaan ra’jat jang sekarang ini berdjoang mati-matian, tetapi djoega berarti kemerdekaan kaoem reactie Indonesia. Jang pada masa ini membantoe kaoem reactie sana[7], melemparkan rintangan keras pergerakan kemerdekaan rakjat, djoega akan merasakan merdeka nanti, djoega akan memetik hasilnja dan memakan boeahnja kemerdekaan[8].

Begitulah Asmara Hadi berkali-kali menyinggung pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan yang mendukungnya. Selain tulisan di artikel tersebut, banyak sekali artikel-artikel dengan nuansa demikian yang dibuat oleh Asmara Hadi. Kritik, sindiran, dan kecaman terhadap penjajahan (kapitalisme, kolonialisme, imperialisme) berkali-kali dilontarkan. Selain tulisan panjang seperti tulisan di Fikiran Ra’jat tersebut, juga dapat dilihat dalam karya-karya sastranya saat itu (seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelum ini).

Betapa Asmara Hadi menginginkan persatuan dalam pergerakan rakyat menuju kemerdekaan Indonesia, menghancurkan kapitalisme, lepas dari kolonialisme dan imperialisme, dan membangun sosialisme Indonesia. Secara bersama-sama, gotong royong, bersatu, membentuk kekuatan revolusioner untuk mewujudkan cita-cita tersebut.




[1] [1] Asmara Hadi, “Rantjangan Garis Ideologi Partai ‘PARTINDO’: Marhaenisme Adjaran Bung Karno”, Pidato Ketua Umum pada Kongres III PARTINDO: Jakarta, 26-31 Desember 1961, hlm. 3.
[2] Ipih, “Pergerakan Ra’jat Jang Radicaal Diharamkan Oleh Pemerintah”, Fikiran Ra’jat: Bandung, 9 Desember 1932, no.24, hlm. 5-8.
[3] Ipih, “Pergerakan Ra’jat Jang Radicaal Diharamkan Oleh Pemerintah”, hlm. 6.
[4] Ibid.,
[5] Ipih, Op.cit., hlm. 7.
[6] Ibid.,
[7] Belanda dan yang mendukungnya
[8] Op.cit., hlm. 7-8.

No comments:

Post a Comment