Monday, March 7, 2016

TUGAS UTAMA PEMUDA INDONESIA KINI: MENGEMBALIKAN TRISAKTI SEBAGAI PRINSIP BANGSA INDONESIA

Oleh:

Aslama Nanda Rizal

(Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi Komisariat GMNI Geografi UGM)



Trisakti merupakan konsep membangun bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh Soekarno pada pidatonya tahun 1963. Trisakti yang berarti tiga kekuatan (sakti) berisi: Berdaulat di bidang politik, Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) di bidang ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan. Trisakti prinsip dalam perjuangan Indonesia melawan Imperialisme. Di bidang politik, Indonesia harus berdaulat secara mutlak tanpa intervensi negara manapun. Indonesia tidak boleh berada di bawah negara lain. Indonesia harus mutlak lepas dari Kolonialisme. Konsep berdaulat di bidang politik tersebut juga berjalan seiring perjuangan merebut Irian Barat dari Kolonialisme Belanda. Soekarno merasa Irian Barat adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang saat itu masih menjadi wilayah cengkeraman Belanda.

Setelah Irian Barat berhasil masuk ke dalam Indonesia, konsep berdaulat di bidang politik tetaplah relevan. Berdaulat di bidang politik berarti bangsa Indonesia wajib mempertahankan kedaulatan negara, tidak boleh lepas ke tangan negara lain. Hal tersebut menjadi riskan jika melihat fenomena lepasnya Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia. Hal tersebut tidak boleh terulang kembali. Bangsa Indonesia harus mempertahankan kedaulatan negaranya. Lebih dari itu, karena konteksnya adalah politik, jadi pembahasannya tidak hanya perihal wilayah kedaulatan negara. Tapi juga jelas secara politik kenegaraan. Indonesia adalah negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif. Artinya, Indonesia bebas bersahabat dengan seluruh bangsa dan negara di dunia dan aktif dalam perjuangan perdamaian dunia. Dalam sikap politik kenegaraan, Indonesia tidak boleh diintervensi oleh negara lain. Indonesia harus menentukan sikap politiknya sendiri yang sesuai dengan prinsip bebas aktif tersebut.

Di bidang ekonomi, Soekarno mengamanatkan bangsa Indonesia agar Berdikari, atau berdiri di atas kaki sendiri. Indonesia tidak boleh menjadi bangsa dan negara yang ketergantungan dengan asing. Konsep ini adalah arahan bagi bangsa Indonesia agar mewujudkan sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Konsep ini dicetuskan dengan maksud yang jelas, melawan Kapitalisme. Perekonomian Indonesia tidak boleh liberal, tidak boleh bertekuk lutut pada para pemodal, para kapitalis. Perekonomian Indonesia haruslah menganut kolektif-kolegial, sesuai pasa 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam Indonesia haruslah dikuasai negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Tapi yang terjadi saat ini, kapitalisme merajalela di Indonesia. Ekonomi Kerakyatan yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa (Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain), pada dasarnya adalah konsep Berdikari itu sendiri. Soekarno dengan Reformasi Agraria, Hatta dengan Kooperasi, dan Syahrir dengan Sosialisme Pembangunan, pada hakikatnya adalah untuk mewujudkan Berdikari di bidang ekonomi.

Terakhir, adalah Berkepribadian dalam Kebudayaan. Soekarno mencetuskan konsep ini harus dilihat konteksnya. Pada saat itu (1960-an), tengah berlangsung Perang Dingin antara Blok Barat (Liberal-Kapitalis) melawan Blok Timur (Komunis). Indonesia yang menganut politik bebas aktif, tidak memihak blok manapun. Malah Soekarno mewakili Indonesia bersama para pemimpin bangsa dan negara lainnya yang sepaham, membentuk gerakan sendiri yakni Gerakan Non Blok. Sebuah gerakan untuk menengahi kedua blok. Negara-negara yang tergabung di dalamnya tidak memihak blok manapun. Namun tetap satu perjuangan, melawan Kolonialisme dan Imperialisme (yang utamanya ialah bangsa Barat). Soekarno tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan para kolonialis dan imperialis. Bangsa Barat yang terus memperluas pengaruhnya (Kolonialisme dan Imperialisme), tidak hanya melakukan ekspansi politik dan ekonomi, tapi juga di bidang kebudayaan. Budaya bangsa Barat yang liberal masuk ke Indonesia sebagai dampak dari ekspansi tersebut (westernisasi). Ekspansi kebudayaan tersebut adalah cara bangsa Barat memperluas hegemoninya.

Soekarno tidak ingin itu terjadi pada bangsa Indonesia. Maka pada saat itu, Soekarno menetapkan suatu kebijakan larangan bangsa Indonesia untuk menikmati kebudayaan Barat (seni, utamanya music sebagai yang paling mudah mempengaruhi manusia). Soekarno melarang diputarnya lagu-lagu Barat, terutama yang sedang terkenal saat itu, grup music The Beatles. Soekarno menginginkan bangsa Indonesia agar mencintai dan menggunakan kebudayaannya sendiri, kebudayaan Indonesia. Budaya tersebut berdasarkan Pancasila. Sebab Pancasila adalah budaya bangsa Indonesia. Budaya berketuhanan, budaya berkemanusiaan, budaya persatuan, budaya musyawarah, dan budaya memperjuangkan keadilan sosial, dapat diperas menjadi satu yakni gotong royong.

Kebudayaan nasional bukan berarti menghilangkan identitas masyarakat sesuai tempatnya berasal. Masyarakat Jawa tetaplah pertahankan budaya Jawanya. Sunda, Madura, Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, Bali, Sasak, Bugis, Makassar, Dayak, Toraja, Manado, Maluku, Flores, Papua, dan seluruh suku bangsa di Indonesia tetaplah pertahankan budayanya masing-masing sebagai identitas asli masyarakat sesuai daerah asalnya. Namun identitas kedaerahan tersebut janganlah sampai menjadi sentiment primordial. Tapi justru dengan banyaknya kebudayaan tersebut haruslah membuat rakyat Indonesia bersatu dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebagai bangsa yang majemuk namun menjunjung tinggi persatuan Indonesia. Sebab seluruh kebudayaan yang ada di Indonesia memiliki satu benang merah yang sama, yakni budaya gotong royong. Hal tersebut menjadi landasan sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.

Berkepribadian dalam Kebudayaan. Hal tersebut sudah jelas. Bahwa dalam kebudayaan, bangsa Indonesia haruslah memiliki kepribadian, yakni kepribadian bangsa Indonesia, Nasionalisme Indonesia yang mempersatukan seluruh elemen kebudayaan tersebut. Nasionalisme Indonesia adalah prinsip dari persatuan kebudayaan Indonesia. Nasionalisme Indonesia haruslah menjadi pemersatu, bukan pemecah. Soekarno mengatakan (mengutip dari Gandhi), My Nationalism is Humanity. Nasionalisme Indonesia haruslah yang berjiwa kemanusiaan. Bukan untuk menindas suku ataupun bangsa lain. Bukan untuk menjadi bangsa perusak. Bukan sekadar sebagai kebanggaan yang terlalu kuat seperti Jerman di masa lalu dengan Nazisme maupun Italia dan Jepang dengan Fasismenya. Termasuk bangsa Barat dengan Kolonialisme dan Imperialismenya. Merasa bangsa bahkan ras paling unggul, lalu menghancurkan bangsa lain demi menguasai dunia. Bukan seperti itu yang diinginkan para pendiri bangsa Indonesia. Maka dari itu, Soekarno mencetuskan konsep Berkepribadian dalam Kebudayaan.

Jika melihat konteks saat ini, rasanya prihatin. Sebab berkepribadian dalam kebudayaan telah luntur dari bangsa Indonesia. Masyarakat kini terjerumus dalam Individualisme. Gotong royong kian ditinggalkan, seiring dengan westernisasi yang semakin mencengkeram bangsa Indonesia dengan dalih modernisasi dan globalisasi. Kemajuan adalah hal yang diinginkan, modernisasi dan globalisasi adalah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan di zaman sekarang. Namun westernisasi terbawa dengan modernisasi dan globalisasi tersebut, bangsa Indonesia tidak mampu menyaringnya dengan baik. Sehingga lunturlah westernisasi dalam modernisasi dan globalisasi.

Modernisasi dan globalisasi sebenarnya positif, namun westernisasi membawa pengaruh negatif. Padahal pada 1960-an, Soekarno telah mewanti-wanti hal tersebut bahkan dengan kebijakan yang sangat tegas dan ekstrim, melarang hal apapun yang berbau bangsa Barat masuk ke Indonesia. Namun sejak Orde Baru berkuasa, apalagi setelah Reformasi 1998, mengubah hal tersebut. Pasca Reformasi 1998, Indonesia semakin jatuh ke dalam Liberalisme dengan westernisasi dengan dalih modernisasi dan globalisasi. Tanpa terasa, Indonesia dicengkeram Imperialisme. Tidak lagi secara fisik, namun secara halus, di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Dampak dari hal tersebut adalah Individualisme, lunturnya gotong royong. Masyarakat Indonesia kebanyakan saat ini sibuk mengurusi dirinya sendiri, saling sikut sana-sini, saling menindas, kriminal dimana-mana karena faktor ekonomi. Hal tersebut terjadi juga di kalangan pemuda, khususnya mahasiswa. Saat ini, mahasiswa semakin menjauh dari akarnya, yakni rakyat. Padahal mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat kepada pemerintah. Mahasiswa kini terjebak dalam sistem pendidikan Indonesia yang dicengkeram Kapitalisme. Pendidikan tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun untuk mencetak pegawai-pegawai baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan takluk oleh kepentingan pemodal (kapitalis). Sistem pendidikan Indonesia utamanya di Perguruan Tinggi membuat mahasiswa Indonesia saat ini menjadi semakin individualis. Sibuk kuliah dan penelitian semata demi tuntutan akademik. Hal tersebut membuat banyak mahasiswa menjadi apatis, kurang peduli dengan permasalahan rakyat.

Hal tersebut juga bisa dilepaskan dari semakin majunya teknologi. Satu sisi, kemajuan teknologi sangat baik demi kemajuan masyarakat. Tapi di sisi lain, majunya teknologi memberi dampak Individualisme tersebut. Terutama sejak semakin canggihnya gadget. Kini, bahkan banyak anak kecil pun sudah memegang gadget sendiri. Satu sisi, gadget sangat baik demi memudahkan informasi dan pekerjaan. Tapi di sisi lain, gadget membuat orang menjadi malas. Dampak dari gadget ialah menguatnya Indvidualisme, apatis, dan lunturnya gotong royong, dan mendistorsi kebiasaan kumpul bareng atau srawung. Bahkan menjadi fenomena saat ini, jika sedang berkumpul, justru malah sibuk dengan gadget masing-masing.


Semua itu adalah dampak hilangnya konsep Trisakti dari bangsa Indonesia, khususnya Berkepribadian dalam Kebudayaan. Hal tersebut adalah tantangan zaman yang harus diselesaikan bangsa Indonesia. Trisakti itu menembus zaman. Trisakti masih sangat relevan hingga kapanpun. Oleh sebab itu, perlunya kita menggaungkan kembali Trisakti sebagai prinsip bangsa Indonesia. Mulai saat ini hingga anak cucu kelak, bangsa Indonesia harus kembali pada Trisakti. Tapi suatu tantangan tersendiri bagi kita agar Trisakti bisa kembali menjadi populer dan menjadi prinsip bangsa Indonesia. Implementasi dari Trisakti pada saat ini sangat berat, tapi bukan tidak mungkin. Sebab Soekarno telah memberikan pondasi bagi bangsa Indonesia, Trisakti tersebut. Tinggal kita sebagai penerusnya harus mengimplementasikan kembali Trisakti yang kini terlupakan. Modernisasi, globalisasi, kemajuan teknologi, dan gadget seharusnya bukan menjadi alasan lunturnya kepribadian bangsa Indonesia. Justru kemajuan teknologi, mudahnya akses informasi, harus dimanfaatkan secara positif, utamanya untuk mempopulerkan kembali Trisakti. Hal tersebut adalah tugas pemuda Indonesia saat ini: mengembalikan Trisakti sebagai prinsip bangsa Indonesia

No comments:

Post a Comment