Wednesday, March 23, 2016

PEREMPUAN PUNYA CERITA

Oleh:

Sarinah Chanassa Novria Putri

Wakil Komisaris Bidang Pengembangan Organisasi
Komisariat GMNI FIB UGM 2016/2017


“Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri, manakala rusak perempuan, rusaklah negeri”

            Kalimat di atas merupakan salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang membuktikan bahwa persoalan perempuan adalah merupakan persoalan masyarakat. Indonesia pernah melewati masa saat kaum laki-laki mendominasi dalam segala hal, terutama dalam hal-hal besar dan berhubungan dengan negara. Kaum laki-laki juga dianggap sebagai tokoh utama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kaum laki-laki dianggap sebagai sosok yang gagah, cerdas, dan mampu melewati bahaya-bahaya yang besar. Mereka berani berhadapan dengan maut dan mati untuk keperluan sejarah.

            Pada zaman purbakala, kaum perempuan telah berperan untuk ‘mengemudi’ masyarakat, berkuasa dalam suatu kelompok, memanggul senjata, dan menjadi pemimpin dalam sebuah peperangan. Mereka juga telah mengorbankan jiwanya guna sejarah. Sebagaimana zaman itu disebut oleh Bung Karno sebagai matriarchat, yaitu zaman saat tidak ada ketentuan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan bodoh. Semua itu tercipta karena adanya ketentuan yang dibuat oleh manusia untuk membatasi peran perempuan dalam bidang-bidang tertentu, bukan karena kemampuan yang perempuan miliki. Di zaman matriarchat, perempuan menjadi raja, kepala rumah tangga, prajurit perang, menjadi hakim, bahkan menjadi kepala agama.

            Di zaman yang sekarang kita sebut sebagai zaman pra-sejarah, manusia sudah mulai mengenal adanya sistem pembagian kerja. Urusan berburu dan berkelahi adalah pekerjaan laki-laki, sedangkan urusan mengolah makanan, menjaga api, dan membesarkan anak-anak adalah urusan kaum perempuan. Pada masa itu, manusia belum mengenal adanya hukum pernikahan. Mereka menjalin hubungan syahwat atas dasar ‘suka sama suka’ saja dan hanya berlaku istilah ‘pasangan sementara’ yang jangka waktunya hanya hitungan minggu atau hitungan bulan saja. Setelah itu, masing-masing dari mereka—baik pihak laki-laki atau pun pihak perempuan—berhak memilih orang lain untuk menjadi pasangan barunya. Tidak ada istilah “dia istriku” atau “dia suamiku”. Dalam menjalankan perannya sebagai ‘pasangan sementara’ dari seorang laki-laki, perempuan tersebut harus mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan oleh pasangannya, seperti menjaga api, menunggu lelaki tersebut pulang dari perburuan atau perkelahian, mengolah bahan makanan, serta mengurus anak mereka.


            August Bebel menyatakan bahwa, “perempuan adalah budak sebelum ada budak”. Ia diperlakukan seperti anjing betina. Saat anjing jantan tak senang lagi, maka sah-sah saja untuk dihantam dan ditinggalkan. Hubungan ‘pasangan sementara’ itu juga sama sekali tidak mengurangi beban perempuan dalam kehidupannya. Justru malah bertambah besar tanggung jawabnya.
            
Kaum perempuan sangat berjasa dalam kehidupan manusia, karena perempuanlah yang pertama kali mendapatkan dan menguasai ilmu bercocok tanam. Perempuan juga yang menjadi pekerja di lahan untuk bercocok tanam. Dapat dikatakan bahwa perempuan adalah petani pertama. Sementara laki-laki dari kelompok mereka pergi berburu dan berperang, para perempuan sudah tidak bisa lagi untuk terus hidup berpindah-pindah. Pertanian menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia dibandingkan dengan berburu dan mencari ikan. Lambat laun kaum laki-laki pun mulai meninggalkan kegiatan berburu dan mencari ikan, lalu berpindah untuk beternak hewan. Para perempuan harus mengurus dan melindungi anak-anak mereka dari panasnya sinar matahari dan dinginnya malam. Maka, untuk membantu bertahan hidup, para perempuan itu mendirikan “rumah” dan mengolah lahan disekitarnya, sementara laki-laki dari kelompok mereka harus berlari kesana kemari, memasuki hutan, menyebrangi sungai, pantai, hingga rawa-rawa. Perempuan lah pembangun kultur manusia yang pertama. Perempuanlah pembangun peradaban manusia yang pertama (Kautsky).
            
Selain membuat “rumah” dari gubuk-gubuk sederhana untuk melindungi anak-anak mereka, para perempuan juga yang pertama kali duduk dibuaian kesenian. Perempuan lah yang pertama kali terbuka ingatannya untuk mengikat tali dengan simpul-simpul tertentu untuk mengikat bagian-bagian dari gubuknya, menganyam tikar dan keranjang, memintal dan menenun benang untuk kebutuhan sandang, dan lain-lain. Perempuan juga menjadi produsen pertama bagi kehidupan manusia. Itulah hal yang menyebabkan posisi mereka mulai diakui. Perempuan yang menyebabkan kebiasaan hidup masyarakat berubah, yang tadinya berpindah-pindah menjadi menetap di suatu tempat. Perempuan menjadi tiang masyarakat, pengatur masyarakat, dan tonggak masyarakat.

            
Sekarang, katakanlah kaum perempuan sudah mencapai kemerdekaannya. Sudah bebas menuntut ilmu, bekerja, dan beraktivitas di luar rumah. Banyak juga yang berhasil menjadi pemimpin suatu lembaga, pembuat kebijakan, dan menjadi sosok yang paling berpengaruh bagi sekitarnya. Tetapi, masih jadi pertanyaan besar apakah yang perempuan lakukan sekarang bersifat membangun bangsa/masyarakat, atau justru sebaliknya. Kekuatan dan kemampuan perempuan sepantasnya menjadi pelengkap dari kekuatan dan kemampuan yang dimiliki laki-laki, bukan justru menyaingi untuk menjadi lebih dari laki-laki, meremehkan, dan memperkecil peran laki-laki. Dua kekuatan dan kemampuan antara perempuan dan laki-laki sudah sepatutnya menjadi suatu amunisi yang membangun untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Hendaknya kita kembali berkaca pada sejarah, bahwa peran wanita yang sebenarnya adalah membangun manusia luar biasa untuk peradaban yang luar biasa. 

Saturday, March 19, 2016

Apakabar Kebebasan Akademik di Universitas Hari Ini?

(NOTULENSI DISKUSI SELARAS, Kementerian Kajian dan Strategis, LEM FIB UGM 2016)

Oleh:
Bung Willy Alfarius (Biro Pers Komisariat GMNI FIB UGM)
“Ivory Tower on Dirt: The Practice of Academic Freedom in Indonesian Universities Before and After 1965”
  • Mengenai sejarah UGM ada banyak buku yang sudah ditulis, namun ada dua buku yang dapat disebut cukup baik dari segi kejujuran: 1. Buku yang ditulis dari tim jurusan Sejarah UGM. 2. Buku yang diterbitkan oleh LP3ES.
  • Riset mengenai UGM dan 1965 masih berjalan. Tidak perlu heboh dengan diskusi seperti ini. Kenyataannya masih susah mengadakan diskusi 1965 di kampus UGM. Beberapa waktu lalu diskusi mengenai International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang rencananya akan digelar di salah satu jurusan di FIB UGM mendadak dibatalkan karena perintah dari universitas. Dimana letak ‘academic freedom’ di kampus ini?
  • Kebebasan akademik menjadi esensi dari universitas. Seperti dituliskan oleh Jasper (1946), Dewey (1984), dan AAUP’s 1915 Declaration bahwa riset, pengajaran, dan pernyataan sikap merupakan suatu kebebasan akademik yang harus ada di universitas. Kampus menjadi tempat bertukar pikiran yang bebas dari nilai agama dsb. serta tidak memandang latar belakang suku, agama, ras, bangsa, ideologi dll. Kalau sudah tidak ada kebebasan akademik seperti sekarang apakah masih layak disebut sebagai universitas?
  • Pasca 1965 universitas di Indonesia kehilangan kebebasan akademiknya. Tahun 1965 menjadi sebuah enigma politik, dibiarkan menjadi misteri begitu saja. Pada akhirnya peristiwa ini (G30S dan lanjutannya) berpengaruh di semua aspek kehidupan, termasuk kalangan intelektual.
  • Statistik menyebutkan bahwa tahun 1960an jumlah mahasiswa di Indonesia ada 278.000. Merekalah elite-elite baru di negeri ini. Jumlah perguruan tinggi juga naik. Perguruan Tinggi Negeri dari berjumlah 8 (1959) menjadi 39 (1963). Perguruan Tinggi Swasta dari 112 (1961) menjadi 228 (1965). Akademi juga meningkat dari 55 menjadi 88.
  • Banyak perguruan tinggi di Indonesia menerima donor/bantuan dari blok Barat maupun blok Timur, yang saat itu sedang gencar-gencarnya dalam suasana ‘perang dingin.’ Blok Barat banyak memberi bantuan dalam bidang teknik (di ITB), pertanian (di UI cabang Bogor, sekarang IPB), medis dan pedagogi. Sedangkan blok Timur menyumbang dalam sains, teknik (di UGM, reaktor nuklir pertama di Indonesia), dan humaniora. Secara umum blok Timur kalah ‘start’ dari blok Barat mengenai donor ke kampus-kampus di Indonesia.
  • Kampus sendiri menjadi ajang pertarungan politik di tingkat nasional. Di UGM, Dewan Mahasiswa (Dema) dan Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema, tingkat fakultas) menjadi ajang pertarungan antar organ ekstra mahasiswa baik yang berbasis agama (HMI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM, dsb.) dan sekuler (GMNI, CGMI, Germindo, Perhimi, IPPI, dsb.). Sampai 1957 kehidupan kampus masih berjalan wajar, namun setelah itu sejak berlakunya Demokrasi Terpimpin maka kampus menjadi cukup tegang dengan sistem belajar yang juga terpimpin. Kampus menjadi tempat ampuh kampanye Manipol-USDEK gagasan Presiden Sukarno dan pada akhirnya kampus memang terpolitisasi. Selain itu di tahun 1960an politik nasional memanas dengan berbagai wacana seperti politik Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), Ganyang Malaysia, rebut Irian Barat, dll.
  • Saat itu PKI menjadi partai yang cukup besar dengan massa 3 juta anggota. Mereka muncul menjadi kekuatan baru. Namun pasca peristiwa G30S mereka dihabisi. Tak terkecuali di kampus, semua orang yang dituduh memiliki kedekatan dengan PKI maupun menjadi anggota organisasi onderbouwnya ditangkapi. Semua mahasiswa anggota CGMI dan Perhimi diberhentikan dari kampus. 16 lembaga yang berafiliasi dengan PKI ikut dibekukan dan ditangkapi anggota termasuk HSI (dosen dan akademisi) dan juga serikat-serikat pegawai. 15 Oktober 1965 menjadi awal dimulainya screening yang terjadi di UGM. Tak hanya yang berhubungan dengan PKI, simpatisan Presiden Sukarno (para anggota GMNI) pun beberapa ada yang ditangkapi.
  • Hasilnya di UGM 3006 mahasiswa dipecat. 115 dosen + 1212 karyawan diberhentikan. Screening dilembagakan dan dipimpin oleh rektor. Jumlah ini diumumkan pada Januari 1966. Mayoritas mahasiswa yang dipecat berasal dari fakultas Teknik, Sospol, dan Kedokteran. Proses screening secara lembaga masih terus berjalan hingga 1987. Tidak semua kampus membuka data soal pemecatan mahasiswa dan dosen/pegawai ini. Data harus dicari di ANRI, arsip KOTI, Antara, dsb. UI tidak memberikan data resmi, namun ada satu laporan dari GMNI Jakarta bahwaada 1000 mahasiswa UI-Jakarta dan 700 mahasiswa UI-Bogor diskors.
  • Dampak jangka panjang dari peristiwa ini adalah hilangnya satu generasi intelektual Indonesia (era 1950an) yang kosmopolitan, yang mempelajari segala ilmu, baik dari Barat (liberal) maupun Timur (sosialis). Pemikiran kiri menjadi hilang dari kampus, yang sejatinya bisa untuk menganalisis kelas. Contohnya juga teori konflik juga tidak diajarkan lagi karena Negara menginginkan yang damai-damai saja demi menyokong slogan ‘pembangunan’ buatan Orde Baru. Budaya kritis dan diskusi mahasiswa menjadi hilang, mahasiswa cenderung hura-hura dengan slogannya ‘pesta dan cinta.’ Kampus menjadi sangat market-oriented. Pada akhirnya minat riset seputar peristiwa 1965 menjadi nihil, tidak ada riset mengenai isu agraria dan perburuhan karena adanya sensor dari dalam kampus sendiri. 
Willy Alfarius – Mahasiswa Ilmu Sejarah 2014, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Friday, March 18, 2016

WELCOME, KOMISARIAT GMNI FIB UGM!



MERDEKA!!!

Pada 12-13 Maret 2016, Komisariat GMNI Geografi UGM melaksanakan Musyawarah Anggota Komisariat (MAK) di Tegaltirto, Berbah, Sleman DIY.

Hasil MAK tersebut menetapkan perubahan nama menjadi Komisariat GMNI FIB UGM. Beberapa alasannya diantaranya ialah sebab tidak ada lagi kader dari Fakultas Geografi (hanya Bung Julio Hutabarat, Komisaris Demisioner), dan mayoritas kini berasal dari Fakultas Ilmu Budaya. Hal tersebut demi lancarnya kegiatan organisasi.

Terima kasih kepada:

- Bung Julio Hutabarat (Komisaris)

- Bung Jultri F.L. Tobing (Sekretaris)

- Sarinah  Agustina Pane (Bendahara)

- Bung Julian P. Tambunan (Wakil Komisaris Bidang Pengembangan Organisasi)

- Bung Aslama Nanda Rizal (Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi)

- Bung Willy Alfarius (Wakil Komisaris Bidang Media & Pers)


Atas kinerjanya selama setahun ini sebagai Badan Pengurus Harian Komisariat GMNI Geografi UGM 2015/2016.



Dan juga kami mengucapkan selamat terpilih dan mengemban amanah kepada:

- Bung Aslama Nanda Rizal (Komisaris)






- Bung Surya Hidayat (Sekretaris)










Juga kepada Badan Pengurus Harian yang baru saja terpilih berdasarkan Rapat Tim Formatur:


- Bung Naufan Silmi Lubis (Bendahara)

- Sarinah Chanassa N. Putri (Wakil Komisaris Bidang Pengembangan Organisasi)

- Bung  Andi Muhammad (Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi & Media)

- Bung Alem P. Arma (Wakil Komisaris Bidang Politik & Jaringan)


Untuk mengampu tugas selama setahun ke depan di Komisariat GMNI FIB UGM 2016/2017. Semoga amanah dan tetap semangat semuanya!


MERDEKA!!!

GMNI JAYA!!!

MARHAEN MENANG!!!

Monday, March 7, 2016

TUGAS UTAMA PEMUDA INDONESIA KINI: MENGEMBALIKAN TRISAKTI SEBAGAI PRINSIP BANGSA INDONESIA

Oleh:

Aslama Nanda Rizal

(Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi Komisariat GMNI Geografi UGM)



Trisakti merupakan konsep membangun bangsa Indonesia yang dicetuskan oleh Soekarno pada pidatonya tahun 1963. Trisakti yang berarti tiga kekuatan (sakti) berisi: Berdaulat di bidang politik, Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) di bidang ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan. Trisakti prinsip dalam perjuangan Indonesia melawan Imperialisme. Di bidang politik, Indonesia harus berdaulat secara mutlak tanpa intervensi negara manapun. Indonesia tidak boleh berada di bawah negara lain. Indonesia harus mutlak lepas dari Kolonialisme. Konsep berdaulat di bidang politik tersebut juga berjalan seiring perjuangan merebut Irian Barat dari Kolonialisme Belanda. Soekarno merasa Irian Barat adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang saat itu masih menjadi wilayah cengkeraman Belanda.

Setelah Irian Barat berhasil masuk ke dalam Indonesia, konsep berdaulat di bidang politik tetaplah relevan. Berdaulat di bidang politik berarti bangsa Indonesia wajib mempertahankan kedaulatan negara, tidak boleh lepas ke tangan negara lain. Hal tersebut menjadi riskan jika melihat fenomena lepasnya Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia. Hal tersebut tidak boleh terulang kembali. Bangsa Indonesia harus mempertahankan kedaulatan negaranya. Lebih dari itu, karena konteksnya adalah politik, jadi pembahasannya tidak hanya perihal wilayah kedaulatan negara. Tapi juga jelas secara politik kenegaraan. Indonesia adalah negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif. Artinya, Indonesia bebas bersahabat dengan seluruh bangsa dan negara di dunia dan aktif dalam perjuangan perdamaian dunia. Dalam sikap politik kenegaraan, Indonesia tidak boleh diintervensi oleh negara lain. Indonesia harus menentukan sikap politiknya sendiri yang sesuai dengan prinsip bebas aktif tersebut.

Di bidang ekonomi, Soekarno mengamanatkan bangsa Indonesia agar Berdikari, atau berdiri di atas kaki sendiri. Indonesia tidak boleh menjadi bangsa dan negara yang ketergantungan dengan asing. Konsep ini adalah arahan bagi bangsa Indonesia agar mewujudkan sila ke-5 Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Konsep ini dicetuskan dengan maksud yang jelas, melawan Kapitalisme. Perekonomian Indonesia tidak boleh liberal, tidak boleh bertekuk lutut pada para pemodal, para kapitalis. Perekonomian Indonesia haruslah menganut kolektif-kolegial, sesuai pasa 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam Indonesia haruslah dikuasai negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Tapi yang terjadi saat ini, kapitalisme merajalela di Indonesia. Ekonomi Kerakyatan yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa (Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain), pada dasarnya adalah konsep Berdikari itu sendiri. Soekarno dengan Reformasi Agraria, Hatta dengan Kooperasi, dan Syahrir dengan Sosialisme Pembangunan, pada hakikatnya adalah untuk mewujudkan Berdikari di bidang ekonomi.

Terakhir, adalah Berkepribadian dalam Kebudayaan. Soekarno mencetuskan konsep ini harus dilihat konteksnya. Pada saat itu (1960-an), tengah berlangsung Perang Dingin antara Blok Barat (Liberal-Kapitalis) melawan Blok Timur (Komunis). Indonesia yang menganut politik bebas aktif, tidak memihak blok manapun. Malah Soekarno mewakili Indonesia bersama para pemimpin bangsa dan negara lainnya yang sepaham, membentuk gerakan sendiri yakni Gerakan Non Blok. Sebuah gerakan untuk menengahi kedua blok. Negara-negara yang tergabung di dalamnya tidak memihak blok manapun. Namun tetap satu perjuangan, melawan Kolonialisme dan Imperialisme (yang utamanya ialah bangsa Barat). Soekarno tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan para kolonialis dan imperialis. Bangsa Barat yang terus memperluas pengaruhnya (Kolonialisme dan Imperialisme), tidak hanya melakukan ekspansi politik dan ekonomi, tapi juga di bidang kebudayaan. Budaya bangsa Barat yang liberal masuk ke Indonesia sebagai dampak dari ekspansi tersebut (westernisasi). Ekspansi kebudayaan tersebut adalah cara bangsa Barat memperluas hegemoninya.

Soekarno tidak ingin itu terjadi pada bangsa Indonesia. Maka pada saat itu, Soekarno menetapkan suatu kebijakan larangan bangsa Indonesia untuk menikmati kebudayaan Barat (seni, utamanya music sebagai yang paling mudah mempengaruhi manusia). Soekarno melarang diputarnya lagu-lagu Barat, terutama yang sedang terkenal saat itu, grup music The Beatles. Soekarno menginginkan bangsa Indonesia agar mencintai dan menggunakan kebudayaannya sendiri, kebudayaan Indonesia. Budaya tersebut berdasarkan Pancasila. Sebab Pancasila adalah budaya bangsa Indonesia. Budaya berketuhanan, budaya berkemanusiaan, budaya persatuan, budaya musyawarah, dan budaya memperjuangkan keadilan sosial, dapat diperas menjadi satu yakni gotong royong.

Kebudayaan nasional bukan berarti menghilangkan identitas masyarakat sesuai tempatnya berasal. Masyarakat Jawa tetaplah pertahankan budaya Jawanya. Sunda, Madura, Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, Bali, Sasak, Bugis, Makassar, Dayak, Toraja, Manado, Maluku, Flores, Papua, dan seluruh suku bangsa di Indonesia tetaplah pertahankan budayanya masing-masing sebagai identitas asli masyarakat sesuai daerah asalnya. Namun identitas kedaerahan tersebut janganlah sampai menjadi sentiment primordial. Tapi justru dengan banyaknya kebudayaan tersebut haruslah membuat rakyat Indonesia bersatu dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebagai bangsa yang majemuk namun menjunjung tinggi persatuan Indonesia. Sebab seluruh kebudayaan yang ada di Indonesia memiliki satu benang merah yang sama, yakni budaya gotong royong. Hal tersebut menjadi landasan sebagai kebudayaan bangsa Indonesia.

Berkepribadian dalam Kebudayaan. Hal tersebut sudah jelas. Bahwa dalam kebudayaan, bangsa Indonesia haruslah memiliki kepribadian, yakni kepribadian bangsa Indonesia, Nasionalisme Indonesia yang mempersatukan seluruh elemen kebudayaan tersebut. Nasionalisme Indonesia adalah prinsip dari persatuan kebudayaan Indonesia. Nasionalisme Indonesia haruslah menjadi pemersatu, bukan pemecah. Soekarno mengatakan (mengutip dari Gandhi), My Nationalism is Humanity. Nasionalisme Indonesia haruslah yang berjiwa kemanusiaan. Bukan untuk menindas suku ataupun bangsa lain. Bukan untuk menjadi bangsa perusak. Bukan sekadar sebagai kebanggaan yang terlalu kuat seperti Jerman di masa lalu dengan Nazisme maupun Italia dan Jepang dengan Fasismenya. Termasuk bangsa Barat dengan Kolonialisme dan Imperialismenya. Merasa bangsa bahkan ras paling unggul, lalu menghancurkan bangsa lain demi menguasai dunia. Bukan seperti itu yang diinginkan para pendiri bangsa Indonesia. Maka dari itu, Soekarno mencetuskan konsep Berkepribadian dalam Kebudayaan.

Jika melihat konteks saat ini, rasanya prihatin. Sebab berkepribadian dalam kebudayaan telah luntur dari bangsa Indonesia. Masyarakat kini terjerumus dalam Individualisme. Gotong royong kian ditinggalkan, seiring dengan westernisasi yang semakin mencengkeram bangsa Indonesia dengan dalih modernisasi dan globalisasi. Kemajuan adalah hal yang diinginkan, modernisasi dan globalisasi adalah suatu hal yang tidak dapat dihindarkan di zaman sekarang. Namun westernisasi terbawa dengan modernisasi dan globalisasi tersebut, bangsa Indonesia tidak mampu menyaringnya dengan baik. Sehingga lunturlah westernisasi dalam modernisasi dan globalisasi.

Modernisasi dan globalisasi sebenarnya positif, namun westernisasi membawa pengaruh negatif. Padahal pada 1960-an, Soekarno telah mewanti-wanti hal tersebut bahkan dengan kebijakan yang sangat tegas dan ekstrim, melarang hal apapun yang berbau bangsa Barat masuk ke Indonesia. Namun sejak Orde Baru berkuasa, apalagi setelah Reformasi 1998, mengubah hal tersebut. Pasca Reformasi 1998, Indonesia semakin jatuh ke dalam Liberalisme dengan westernisasi dengan dalih modernisasi dan globalisasi. Tanpa terasa, Indonesia dicengkeram Imperialisme. Tidak lagi secara fisik, namun secara halus, di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.

Dampak dari hal tersebut adalah Individualisme, lunturnya gotong royong. Masyarakat Indonesia kebanyakan saat ini sibuk mengurusi dirinya sendiri, saling sikut sana-sini, saling menindas, kriminal dimana-mana karena faktor ekonomi. Hal tersebut terjadi juga di kalangan pemuda, khususnya mahasiswa. Saat ini, mahasiswa semakin menjauh dari akarnya, yakni rakyat. Padahal mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat kepada pemerintah. Mahasiswa kini terjebak dalam sistem pendidikan Indonesia yang dicengkeram Kapitalisme. Pendidikan tidak lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun untuk mencetak pegawai-pegawai baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan takluk oleh kepentingan pemodal (kapitalis). Sistem pendidikan Indonesia utamanya di Perguruan Tinggi membuat mahasiswa Indonesia saat ini menjadi semakin individualis. Sibuk kuliah dan penelitian semata demi tuntutan akademik. Hal tersebut membuat banyak mahasiswa menjadi apatis, kurang peduli dengan permasalahan rakyat.

Hal tersebut juga bisa dilepaskan dari semakin majunya teknologi. Satu sisi, kemajuan teknologi sangat baik demi kemajuan masyarakat. Tapi di sisi lain, majunya teknologi memberi dampak Individualisme tersebut. Terutama sejak semakin canggihnya gadget. Kini, bahkan banyak anak kecil pun sudah memegang gadget sendiri. Satu sisi, gadget sangat baik demi memudahkan informasi dan pekerjaan. Tapi di sisi lain, gadget membuat orang menjadi malas. Dampak dari gadget ialah menguatnya Indvidualisme, apatis, dan lunturnya gotong royong, dan mendistorsi kebiasaan kumpul bareng atau srawung. Bahkan menjadi fenomena saat ini, jika sedang berkumpul, justru malah sibuk dengan gadget masing-masing.


Semua itu adalah dampak hilangnya konsep Trisakti dari bangsa Indonesia, khususnya Berkepribadian dalam Kebudayaan. Hal tersebut adalah tantangan zaman yang harus diselesaikan bangsa Indonesia. Trisakti itu menembus zaman. Trisakti masih sangat relevan hingga kapanpun. Oleh sebab itu, perlunya kita menggaungkan kembali Trisakti sebagai prinsip bangsa Indonesia. Mulai saat ini hingga anak cucu kelak, bangsa Indonesia harus kembali pada Trisakti. Tapi suatu tantangan tersendiri bagi kita agar Trisakti bisa kembali menjadi populer dan menjadi prinsip bangsa Indonesia. Implementasi dari Trisakti pada saat ini sangat berat, tapi bukan tidak mungkin. Sebab Soekarno telah memberikan pondasi bagi bangsa Indonesia, Trisakti tersebut. Tinggal kita sebagai penerusnya harus mengimplementasikan kembali Trisakti yang kini terlupakan. Modernisasi, globalisasi, kemajuan teknologi, dan gadget seharusnya bukan menjadi alasan lunturnya kepribadian bangsa Indonesia. Justru kemajuan teknologi, mudahnya akses informasi, harus dimanfaatkan secara positif, utamanya untuk mempopulerkan kembali Trisakti. Hal tersebut adalah tugas pemuda Indonesia saat ini: mengembalikan Trisakti sebagai prinsip bangsa Indonesia