(NOTULENSI DISKUSI SELARAS, Kementerian Kajian dan Strategis, LEM FIB UGM 2016)
Oleh:
Bung Willy Alfarius (Biro Pers Komisariat GMNI FIB UGM)
“Ivory Tower on Dirt: The Practice of Academic Freedom in Indonesian Universities Before and After 1965”
- Mengenai sejarah UGM ada banyak buku yang sudah ditulis, namun ada dua buku yang dapat disebut cukup baik dari segi kejujuran: 1. Buku yang ditulis dari tim jurusan Sejarah UGM. 2. Buku yang diterbitkan oleh LP3ES.
- Riset mengenai UGM dan 1965 masih berjalan. Tidak perlu heboh dengan diskusi seperti ini. Kenyataannya masih susah mengadakan diskusi 1965 di kampus UGM. Beberapa waktu lalu diskusi mengenai International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang rencananya akan digelar di salah satu jurusan di FIB UGM mendadak dibatalkan karena perintah dari universitas. Dimana letak ‘academic freedom’ di kampus ini?
- Kebebasan akademik menjadi esensi dari universitas. Seperti dituliskan oleh Jasper (1946), Dewey (1984), dan AAUP’s 1915 Declaration bahwa riset, pengajaran, dan pernyataan sikap merupakan suatu kebebasan akademik yang harus ada di universitas. Kampus menjadi tempat bertukar pikiran yang bebas dari nilai agama dsb. serta tidak memandang latar belakang suku, agama, ras, bangsa, ideologi dll. Kalau sudah tidak ada kebebasan akademik seperti sekarang apakah masih layak disebut sebagai universitas?
- Pasca 1965 universitas di Indonesia kehilangan kebebasan akademiknya. Tahun 1965 menjadi sebuah enigma politik, dibiarkan menjadi misteri begitu saja. Pada akhirnya peristiwa ini (G30S dan lanjutannya) berpengaruh di semua aspek kehidupan, termasuk kalangan intelektual.
- Statistik menyebutkan bahwa tahun 1960an jumlah mahasiswa di Indonesia ada 278.000. Merekalah elite-elite baru di negeri ini. Jumlah perguruan tinggi juga naik. Perguruan Tinggi Negeri dari berjumlah 8 (1959) menjadi 39 (1963). Perguruan Tinggi Swasta dari 112 (1961) menjadi 228 (1965). Akademi juga meningkat dari 55 menjadi 88.
- Banyak perguruan tinggi di Indonesia menerima donor/bantuan dari blok Barat maupun blok Timur, yang saat itu sedang gencar-gencarnya dalam suasana ‘perang dingin.’ Blok Barat banyak memberi bantuan dalam bidang teknik (di ITB), pertanian (di UI cabang Bogor, sekarang IPB), medis dan pedagogi. Sedangkan blok Timur menyumbang dalam sains, teknik (di UGM, reaktor nuklir pertama di Indonesia), dan humaniora. Secara umum blok Timur kalah ‘start’ dari blok Barat mengenai donor ke kampus-kampus di Indonesia.
- Kampus sendiri menjadi ajang pertarungan politik di tingkat nasional. Di UGM, Dewan Mahasiswa (Dema) dan Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema, tingkat fakultas) menjadi ajang pertarungan antar organ ekstra mahasiswa baik yang berbasis agama (HMI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM, dsb.) dan sekuler (GMNI, CGMI, Germindo, Perhimi, IPPI, dsb.). Sampai 1957 kehidupan kampus masih berjalan wajar, namun setelah itu sejak berlakunya Demokrasi Terpimpin maka kampus menjadi cukup tegang dengan sistem belajar yang juga terpimpin. Kampus menjadi tempat ampuh kampanye Manipol-USDEK gagasan Presiden Sukarno dan pada akhirnya kampus memang terpolitisasi. Selain itu di tahun 1960an politik nasional memanas dengan berbagai wacana seperti politik Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), Ganyang Malaysia, rebut Irian Barat, dll.
- Saat itu PKI menjadi partai yang cukup besar dengan massa 3 juta anggota. Mereka muncul menjadi kekuatan baru. Namun pasca peristiwa G30S mereka dihabisi. Tak terkecuali di kampus, semua orang yang dituduh memiliki kedekatan dengan PKI maupun menjadi anggota organisasi onderbouwnya ditangkapi. Semua mahasiswa anggota CGMI dan Perhimi diberhentikan dari kampus. 16 lembaga yang berafiliasi dengan PKI ikut dibekukan dan ditangkapi anggota termasuk HSI (dosen dan akademisi) dan juga serikat-serikat pegawai. 15 Oktober 1965 menjadi awal dimulainya screening yang terjadi di UGM. Tak hanya yang berhubungan dengan PKI, simpatisan Presiden Sukarno (para anggota GMNI) pun beberapa ada yang ditangkapi.
- Hasilnya di UGM 3006 mahasiswa dipecat. 115 dosen + 1212 karyawan diberhentikan. Screening dilembagakan dan dipimpin oleh rektor. Jumlah ini diumumkan pada Januari 1966. Mayoritas mahasiswa yang dipecat berasal dari fakultas Teknik, Sospol, dan Kedokteran. Proses screening secara lembaga masih terus berjalan hingga 1987. Tidak semua kampus membuka data soal pemecatan mahasiswa dan dosen/pegawai ini. Data harus dicari di ANRI, arsip KOTI, Antara, dsb. UI tidak memberikan data resmi, namun ada satu laporan dari GMNI Jakarta bahwaada 1000 mahasiswa UI-Jakarta dan 700 mahasiswa UI-Bogor diskors.
- Dampak jangka panjang dari peristiwa ini adalah hilangnya satu generasi intelektual Indonesia (era 1950an) yang kosmopolitan, yang mempelajari segala ilmu, baik dari Barat (liberal) maupun Timur (sosialis). Pemikiran kiri menjadi hilang dari kampus, yang sejatinya bisa untuk menganalisis kelas. Contohnya juga teori konflik juga tidak diajarkan lagi karena Negara menginginkan yang damai-damai saja demi menyokong slogan ‘pembangunan’ buatan Orde Baru. Budaya kritis dan diskusi mahasiswa menjadi hilang, mahasiswa cenderung hura-hura dengan slogannya ‘pesta dan cinta.’ Kampus menjadi sangat market-oriented. Pada akhirnya minat riset seputar peristiwa 1965 menjadi nihil, tidak ada riset mengenai isu agraria dan perburuhan karena adanya sensor dari dalam kampus sendiri.
Willy Alfarius – Mahasiswa Ilmu Sejarah 2014, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
No comments:
Post a Comment