Oleh:
Sarinah Chanassa Novria Putri
Wakil Komisaris Bidang Pengembangan Organisasi
Komisariat GMNI FIB UGM 2016/2017
“Perempuan itu tiang negeri.
Manakala baik perempuan, baiklah negeri, manakala rusak perempuan, rusaklah
negeri”
Kalimat di atas merupakan salah satu
sabda Nabi Muhammad SAW yang membuktikan bahwa persoalan perempuan adalah
merupakan persoalan masyarakat. Indonesia pernah melewati masa saat kaum
laki-laki mendominasi dalam segala hal, terutama dalam hal-hal besar dan
berhubungan dengan negara. Kaum laki-laki juga dianggap sebagai tokoh utama
dalam sejarah bangsa Indonesia. Kaum laki-laki dianggap sebagai sosok yang
gagah, cerdas, dan mampu melewati bahaya-bahaya yang besar. Mereka berani
berhadapan dengan maut dan mati untuk keperluan sejarah.
Pada zaman purbakala, kaum perempuan
telah berperan untuk ‘mengemudi’ masyarakat, berkuasa dalam suatu kelompok,
memanggul senjata, dan menjadi pemimpin dalam sebuah peperangan. Mereka juga
telah mengorbankan jiwanya guna sejarah. Sebagaimana zaman itu disebut oleh
Bung Karno sebagai matriarchat, yaitu
zaman saat tidak ada ketentuan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan
bodoh. Semua itu tercipta karena adanya ketentuan yang dibuat oleh manusia
untuk membatasi peran perempuan dalam bidang-bidang tertentu, bukan karena
kemampuan yang perempuan miliki. Di zaman matriarchat,
perempuan menjadi raja, kepala rumah tangga, prajurit perang, menjadi hakim,
bahkan menjadi kepala agama.
Di zaman yang sekarang kita sebut
sebagai zaman pra-sejarah, manusia sudah mulai mengenal adanya sistem pembagian
kerja. Urusan berburu dan berkelahi adalah pekerjaan laki-laki, sedangkan
urusan mengolah makanan, menjaga api, dan membesarkan anak-anak adalah urusan
kaum perempuan. Pada masa itu, manusia belum mengenal adanya hukum pernikahan.
Mereka menjalin hubungan syahwat atas dasar ‘suka sama suka’ saja dan hanya
berlaku istilah ‘pasangan sementara’ yang jangka waktunya hanya hitungan minggu
atau hitungan bulan saja. Setelah itu, masing-masing dari mereka—baik pihak
laki-laki atau pun pihak perempuan—berhak memilih orang lain untuk menjadi
pasangan barunya. Tidak ada istilah “dia istriku” atau “dia suamiku”. Dalam
menjalankan perannya sebagai ‘pasangan sementara’ dari seorang laki-laki,
perempuan tersebut harus mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan oleh
pasangannya, seperti menjaga api, menunggu lelaki tersebut pulang dari
perburuan atau perkelahian, mengolah bahan makanan, serta mengurus anak mereka.
August Bebel menyatakan bahwa,
“perempuan adalah budak sebelum ada budak”. Ia diperlakukan seperti anjing
betina. Saat anjing jantan tak senang lagi, maka sah-sah saja untuk dihantam
dan ditinggalkan. Hubungan ‘pasangan sementara’ itu juga sama sekali tidak
mengurangi beban perempuan dalam kehidupannya. Justru malah bertambah besar
tanggung jawabnya.
Kaum perempuan sangat berjasa dalam
kehidupan manusia, karena perempuanlah yang pertama kali mendapatkan dan
menguasai ilmu bercocok tanam. Perempuan juga yang menjadi pekerja di lahan
untuk bercocok tanam. Dapat dikatakan bahwa perempuan adalah petani pertama.
Sementara laki-laki dari kelompok mereka pergi berburu dan berperang, para
perempuan sudah tidak bisa lagi untuk terus hidup berpindah-pindah. Pertanian
menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia dibandingkan dengan
berburu dan mencari ikan. Lambat laun kaum laki-laki pun mulai meninggalkan
kegiatan berburu dan mencari ikan, lalu berpindah untuk beternak hewan. Para
perempuan harus mengurus dan melindungi anak-anak mereka dari panasnya sinar
matahari dan dinginnya malam. Maka, untuk membantu bertahan hidup, para
perempuan itu mendirikan “rumah” dan mengolah lahan disekitarnya, sementara
laki-laki dari kelompok mereka harus berlari kesana kemari, memasuki hutan,
menyebrangi sungai, pantai, hingga rawa-rawa. Perempuan lah pembangun kultur
manusia yang pertama. Perempuanlah
pembangun peradaban manusia yang pertama (Kautsky).
Selain membuat “rumah” dari
gubuk-gubuk sederhana untuk melindungi anak-anak mereka, para perempuan juga
yang pertama kali duduk dibuaian kesenian. Perempuan lah yang pertama kali
terbuka ingatannya untuk mengikat tali dengan simpul-simpul tertentu untuk
mengikat bagian-bagian dari gubuknya, menganyam tikar dan keranjang, memintal
dan menenun benang untuk kebutuhan sandang, dan lain-lain. Perempuan juga
menjadi produsen pertama bagi kehidupan manusia. Itulah hal yang menyebabkan
posisi mereka mulai diakui. Perempuan yang menyebabkan kebiasaan hidup
masyarakat berubah, yang tadinya berpindah-pindah menjadi menetap di suatu
tempat. Perempuan menjadi tiang masyarakat, pengatur masyarakat, dan tonggak
masyarakat.
Sekarang, katakanlah kaum perempuan
sudah mencapai kemerdekaannya. Sudah bebas menuntut ilmu, bekerja, dan
beraktivitas di luar rumah. Banyak juga yang berhasil menjadi pemimpin suatu
lembaga, pembuat kebijakan, dan menjadi sosok yang paling berpengaruh bagi
sekitarnya. Tetapi, masih jadi pertanyaan besar apakah yang perempuan lakukan
sekarang bersifat membangun bangsa/masyarakat, atau justru sebaliknya. Kekuatan
dan kemampuan perempuan sepantasnya menjadi pelengkap dari kekuatan dan
kemampuan yang dimiliki laki-laki, bukan justru menyaingi untuk menjadi lebih
dari laki-laki, meremehkan, dan memperkecil peran laki-laki. Dua kekuatan dan
kemampuan antara perempuan dan laki-laki sudah sepatutnya menjadi suatu amunisi
yang membangun untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Hendaknya kita kembali
berkaca pada sejarah, bahwa peran wanita yang sebenarnya adalah membangun
manusia luar biasa untuk peradaban yang luar biasa.
No comments:
Post a Comment