Wednesday, March 23, 2016

PEREMPUAN PUNYA CERITA

Oleh:

Sarinah Chanassa Novria Putri

Wakil Komisaris Bidang Pengembangan Organisasi
Komisariat GMNI FIB UGM 2016/2017


“Perempuan itu tiang negeri. Manakala baik perempuan, baiklah negeri, manakala rusak perempuan, rusaklah negeri”

            Kalimat di atas merupakan salah satu sabda Nabi Muhammad SAW yang membuktikan bahwa persoalan perempuan adalah merupakan persoalan masyarakat. Indonesia pernah melewati masa saat kaum laki-laki mendominasi dalam segala hal, terutama dalam hal-hal besar dan berhubungan dengan negara. Kaum laki-laki juga dianggap sebagai tokoh utama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kaum laki-laki dianggap sebagai sosok yang gagah, cerdas, dan mampu melewati bahaya-bahaya yang besar. Mereka berani berhadapan dengan maut dan mati untuk keperluan sejarah.

            Pada zaman purbakala, kaum perempuan telah berperan untuk ‘mengemudi’ masyarakat, berkuasa dalam suatu kelompok, memanggul senjata, dan menjadi pemimpin dalam sebuah peperangan. Mereka juga telah mengorbankan jiwanya guna sejarah. Sebagaimana zaman itu disebut oleh Bung Karno sebagai matriarchat, yaitu zaman saat tidak ada ketentuan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan bodoh. Semua itu tercipta karena adanya ketentuan yang dibuat oleh manusia untuk membatasi peran perempuan dalam bidang-bidang tertentu, bukan karena kemampuan yang perempuan miliki. Di zaman matriarchat, perempuan menjadi raja, kepala rumah tangga, prajurit perang, menjadi hakim, bahkan menjadi kepala agama.

            Di zaman yang sekarang kita sebut sebagai zaman pra-sejarah, manusia sudah mulai mengenal adanya sistem pembagian kerja. Urusan berburu dan berkelahi adalah pekerjaan laki-laki, sedangkan urusan mengolah makanan, menjaga api, dan membesarkan anak-anak adalah urusan kaum perempuan. Pada masa itu, manusia belum mengenal adanya hukum pernikahan. Mereka menjalin hubungan syahwat atas dasar ‘suka sama suka’ saja dan hanya berlaku istilah ‘pasangan sementara’ yang jangka waktunya hanya hitungan minggu atau hitungan bulan saja. Setelah itu, masing-masing dari mereka—baik pihak laki-laki atau pun pihak perempuan—berhak memilih orang lain untuk menjadi pasangan barunya. Tidak ada istilah “dia istriku” atau “dia suamiku”. Dalam menjalankan perannya sebagai ‘pasangan sementara’ dari seorang laki-laki, perempuan tersebut harus mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan oleh pasangannya, seperti menjaga api, menunggu lelaki tersebut pulang dari perburuan atau perkelahian, mengolah bahan makanan, serta mengurus anak mereka.


            August Bebel menyatakan bahwa, “perempuan adalah budak sebelum ada budak”. Ia diperlakukan seperti anjing betina. Saat anjing jantan tak senang lagi, maka sah-sah saja untuk dihantam dan ditinggalkan. Hubungan ‘pasangan sementara’ itu juga sama sekali tidak mengurangi beban perempuan dalam kehidupannya. Justru malah bertambah besar tanggung jawabnya.
            
Kaum perempuan sangat berjasa dalam kehidupan manusia, karena perempuanlah yang pertama kali mendapatkan dan menguasai ilmu bercocok tanam. Perempuan juga yang menjadi pekerja di lahan untuk bercocok tanam. Dapat dikatakan bahwa perempuan adalah petani pertama. Sementara laki-laki dari kelompok mereka pergi berburu dan berperang, para perempuan sudah tidak bisa lagi untuk terus hidup berpindah-pindah. Pertanian menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia dibandingkan dengan berburu dan mencari ikan. Lambat laun kaum laki-laki pun mulai meninggalkan kegiatan berburu dan mencari ikan, lalu berpindah untuk beternak hewan. Para perempuan harus mengurus dan melindungi anak-anak mereka dari panasnya sinar matahari dan dinginnya malam. Maka, untuk membantu bertahan hidup, para perempuan itu mendirikan “rumah” dan mengolah lahan disekitarnya, sementara laki-laki dari kelompok mereka harus berlari kesana kemari, memasuki hutan, menyebrangi sungai, pantai, hingga rawa-rawa. Perempuan lah pembangun kultur manusia yang pertama. Perempuanlah pembangun peradaban manusia yang pertama (Kautsky).
            
Selain membuat “rumah” dari gubuk-gubuk sederhana untuk melindungi anak-anak mereka, para perempuan juga yang pertama kali duduk dibuaian kesenian. Perempuan lah yang pertama kali terbuka ingatannya untuk mengikat tali dengan simpul-simpul tertentu untuk mengikat bagian-bagian dari gubuknya, menganyam tikar dan keranjang, memintal dan menenun benang untuk kebutuhan sandang, dan lain-lain. Perempuan juga menjadi produsen pertama bagi kehidupan manusia. Itulah hal yang menyebabkan posisi mereka mulai diakui. Perempuan yang menyebabkan kebiasaan hidup masyarakat berubah, yang tadinya berpindah-pindah menjadi menetap di suatu tempat. Perempuan menjadi tiang masyarakat, pengatur masyarakat, dan tonggak masyarakat.

            
Sekarang, katakanlah kaum perempuan sudah mencapai kemerdekaannya. Sudah bebas menuntut ilmu, bekerja, dan beraktivitas di luar rumah. Banyak juga yang berhasil menjadi pemimpin suatu lembaga, pembuat kebijakan, dan menjadi sosok yang paling berpengaruh bagi sekitarnya. Tetapi, masih jadi pertanyaan besar apakah yang perempuan lakukan sekarang bersifat membangun bangsa/masyarakat, atau justru sebaliknya. Kekuatan dan kemampuan perempuan sepantasnya menjadi pelengkap dari kekuatan dan kemampuan yang dimiliki laki-laki, bukan justru menyaingi untuk menjadi lebih dari laki-laki, meremehkan, dan memperkecil peran laki-laki. Dua kekuatan dan kemampuan antara perempuan dan laki-laki sudah sepatutnya menjadi suatu amunisi yang membangun untuk masyarakat, bangsa, dan negara. Hendaknya kita kembali berkaca pada sejarah, bahwa peran wanita yang sebenarnya adalah membangun manusia luar biasa untuk peradaban yang luar biasa. 

No comments:

Post a Comment