Oleh:
Bung Aslama Nanda Rizal
(Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi Komisariat GMNI Geografi UGM)
Ku rela, pergi. Pagi, pulang pagi. Hanya
untuk, mengais rezeki. Doakan, saja. Aku, pergi. Semoga pulang, dompetku
terisi.
(Armada
– Pergi Pagi Pulang Pagi)
Lagu ini adalah karya salah satu
grup musik asal Sumatera, Armada, dengan judul yang menggelitik. Ya. Pergi
pagi, pulang pagi. Sedikit curhat, awalnya saya memandang lagu ini sebelah
mata. Armada memang kerap membuat lagu yang mendayu-dayu dan “cengeng”. Tak ayal,
grup musik ini kadang dicibir sebagai grup musik “kampungan”. Seperti Kangen
Band, ST 12, atau Hijau Daun pada beberapa tahun lalu. Apalagi suara
vokalisnya, Rizal, sangat bernuansa melayu. Cengkoknya saya akui bagus. Tepat jika
ia menyanyi lagu melayu. Namun jika menyanyi lagu pop, apalagi lagu
cinta-cintaan, menjadi kemayu.
Salah satu teman saya ada yang sering
mendengarkan lagu ini. Favorit katanya. Menggambarkan kehidupan rakyat. Awalnya,
saya hanya tersenyum. Namun, kemudian saya penasaran. Saya dengarkan sekali. Enak
juga. Awalnya hanya menikmati lagunya, sekedar mendengarkan. Namun, di suatu malam
saya menyendiri hanya ditemani secangkir kopi. Saya dengarkan lagu ini terus
menerus. Saya teliti seluruh liriknya. Saya hayati dan resapi. Ternyata, saya
acungi jempol untuk Armada untuk karyanya kali ini. Tidak seperti karyanya yang
berjudul “Buka Hatimu”, atau “Mau Dibawa Kemana”. Menggambarkan lelaki yang
lemah di hadapan wanita.
Liriknya sederhana, sangat
sederhana. Menceritakan sosok suami yang pergi bekerja dari pagi hingga pulang
pagi lagi untuk “mengais” rezeki. Demi istri dan keluarga tercinta. Lagu ini
menarik untuk dikupas habis mulai dari musik, lirik lagu, hingga cerita dalam video clip-nya.
Musik
Seperti lagu-lagu Armada lainnya, musik
yang diusung selalu bernuansa melayu. Walau beraliran / genre pop. Namun bisa dibilang, musiknya sangat melayu. Lebih tepat
pop-melayu. Khusus di lagu “Pergi Pagi Pulang Pagi”, gebukan drum dan temponya
sangat kental bernuansa melayu. Suara khas dari Rizal, Vokalis Armada,
mendayu-dayu. Cengkoknya pas. Lagu ini juga enak didengar dengan berbagai
versi. Seperti biasa, para penyanyi dangdut kerap meng-cover lagu-lagu pop. Khususnya pop-melayu. Sebab memang ada
kedekatan nuansa dalam kedua aliran musik tersebut. Penyanyi Campursari
kawakan, Didi Kempot, juga pernah membawakan lagu ini dengan nuansa Jawa. Campursari.
Liriknya pun diubah ke dalam bahasa Jawa. Enak juga mendengarnya. Saya menontonnya
di Youtube, pada acara “Bukan Empat
Mata”. Saya bukan kritikus musik. Hanya penikmat biasa. Demikian yang bisa saya
bahas mengenai musik dalam lagu tersebut.
Lirik Lagu
Lagu ini diawali dengan pernyataan
kesungguhan untuk yang tercinta. Apapun rintangannya, demi yang dicinta, akan
ditempuh. Panas hujan begini, makanan
sehari-hari, adalah penekanan untuk meyakinkan yang tercinta. Lirik tersebut
menurut saya yang paling sering dialami para Marhaen. Ya. para Marhaen terbiasa
dengan suasana seperti ini. Kita bisa lihat misalnya para gelandangan di
pinggir jalan, tukang parkir, dan lain-lain. Para petani rela berkotor-kotor,
nelayan rela bertaruh nyawa di tengah lautan ganas, semua demi yang
dicintainya. Lirik yang digunakan dalam lagu ini sangat sederhana. Bahasanya mudah
dipahami masyarakat. Entah disadari atau tidak, bahkan oleh Armada sendiri, lirik
lagu ini bisa dianggap sebagai kritik sosial.
Cerita dalam Video Clip
Video
Clip dalam lagu ini menggambarkan tentang sosok seorang ayah yang berjuang
demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ada tukang sapu jalanan, supir
taksi, dan juga Satpam (satuan pengamanan). Ditampilkan juga scene supir taksi yang sedang menghitung
uang, tiba-tiba uangnya terbang dan susah payah untuk dikejar. Terlihat betapa
berharganya uang Rp. 50.000,- bagi kaum Marhaen. Tidak bagi para Borjuis dan
para Kapitalis yang senang menghamburkan uang, yang memiliki modal melimpah dan
terus berputar. Rp. 50.000,- bagi mereka kecil. Namun bagi kaum Marhaen, uang
bernilai demikian adalah besar.
Nampak
juga seorang anak kecil yang membaca poster konser Armada, seakan berharap
ingin menonton bersama ayah dan ibunya, juga terdapat istri yang menunggu di
rumah dengan wajah resah. Menariknya, Armada seolah memberikan kesempatan
kepada tokoh istri dalam lagu tersebut untuk berbicara. Aku rela, ditinggal. Pagi, pulang pagi. Karena kamu mencari rezeki.
Itu adalah pernyataan kerelaan hati seorang istri yang bersabar menunggu
suaminya pulang.
Dalam video tersebut juga
ditampilkan Armada tampil menghibur masyarakat dengan lagu ini. Seperti “Band
Kampung” lainnya, musik Armada yang easy
listening ini memang mudah diterima masyarakat Indonesia. dalam video
tersebut terlihat masyarakat berkumpul dan bergoyang bersama. Ya. seperti
itulah rakyat kecil Indonesia, kaum Marhaen. Hiburan seperti penampilan “Band
Kampung” atau “Dangdutan” seolah menjadi pelipur lara sejenak. Bak obat bius. Mematikan
penderitaan sementara. Marhaen bisa bergoyang bersama, bisa terhibur seolah
tiada masalah. Padahal mereka dilanda kesengsaraan akibat cengkeraman
Kapitalisme & Imperliasme. Di akhir video tersebut digambarkan betapa
bahagianya saat suami pulang menemui istrinya setelah lelah bekerja dan membawa
uang.
Realita Marhaen Dalam Cengkeraman
Kapitalisme & Imperialisme
Lagu
ini adalah representasi kehidupan kaum Marhaen. Mereka hidup dalam cengkeraman
Kapitalisme & Imperialisme, baik nasional maupun global (internasional). Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, mungkin Armada tidak sadar bahwa karya mereka ini
adalah kritik sosial. Lagu ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang Money Oriented. Kebahagiaan diukur
dengan uang. Kita pasti menolak hal ini. Biasanya kita menganggap kebahagiaan
adalah lebih dari sekedar uang. Uang tidak bisa membeli segalanya.
Memang
benar. Namun yang digambarkan dalam lagu ini adalah realita. Memang bahagia
tidak bisa diukur dengan uang. Namun kita kini hidup di alam Kapitalisme &
Imperialisme. Kedua sistem tersebut merampas makna dari kebahagiaan. Di zaman
seperti ini, jika tidak memiliki uang bagaimana bisa menghidupi kebutuhan
sehari-hari diri sendiri dan keluarga? Pasal 33 dalam UUD 1945 dengan tegas
menyatakan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan diperuntukkan bagi
kesejahteraan rakyat, tidak bisa diwujudkan oleh para pemimpin negeri ini. Sebab
kepentingan pribadi diutamakan. Banyak sekali ekonom-ekonom Indonesia yang
Neo-Lib. Antek-antek Neo-Liberal, yang menginginkan Kapitalisme &
Imperialisme langgeng di Indonesia dengan dalih “kebebasan berusaha”.
Demi
uang, apapun dilakukan. Ya. mencari rezeki halal memang kerap menyakitkan hati.
Harus jujur dan tidak menipu serta tidak menindas orang lain kini adalah sebuah
pengorbanan. Berbeda dengan para maling uang rakyat (baca: koruptor). Memanfaatkan
kekuasaannya untuk memakmurkan keluarganya, namun mencuri uang rakyat. Begitu juga
para bandar judi, para pebisnis narkoba, para mucikari, para pelacur, dan
sebagainya yang menggadaikan imannya demi uang. Lagi-lagi soal perut. Mereka mendapat
rezeki yang melimpah, namun haram. Dalam alam “kebebasan” seperti saat ini,
halal-haram tak lagi perkara. Tuhan seakan dibius untuk tidur nyenyak agar
tidak tahu apa yang mereka perbuat.
Masa
yang disebut Reformasi kini menurut saya hanyalah perpindahan dari Kapitalisme
Terpusat (Orde Baru dan Kroninya), kepada para Kapitalis & Imperialis
global. Demi alasan “Demokratisasi”, kita justru kebablasan. Suka atau tidak,
itulah yang terjadi. Prof. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 1945
Yogyakarta, pernah bercerita dalam diskusi publik Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI) Yogyakarta di kampus tersebut. ia berkata bahwa ia kelabakan
mempertahanakan Pasal 33 UUD 1945 yang berada dalam ancaman untuk diubah agar
sesuai selera para ekonom Neo-Lib dan para Kapitalis.
Kembali
ke topik utama, lagu ini menggambarkan ketidakberdayaan kaum Marhaen menghadapi
kerasnya kehidupan. Terutama di kota-kota besar yang metro bahkan megapolitan. Di
jalan-jalan kota-kota besar, terdapat kesenjangan sosial yang besar. Di tengah
jalan, terdapat banyak mobil bergelimpangan. Sementara para Marhaen di pinggir
jalan. Ada yang mengamen, mengemis, dan berjualan ala kadarnya speerti para
pedagang asongan. Kapitalisme & Imperialisme menciptakan kesadaran palsu. Orang
dihipnotis dengan kedua sistem tersebut. Membuat kebanyakan orang seperti biasa
saja dengan kondisi demikian. Menganggap bahwa kesenjangan sosial tersebut
seakan lumrah terjadi di kota-kota besar.
Tidak Hanya Suami
Walau lagu ini menggambarkan
perjuangan seorang suami dan bapak terhadap keluarganya, namun jika dianalisa
dari realita masyakarat sejatinya tidak hanya itu. Lagu ini juga bisa
direpresentasikan lintas usia. Contohnya, para pengamen cilik jalanan. Juga tidak
hanya suami. Anak-anak dan pemuda pun demikian. Contohnya, para pemulung. Mereka
semua rela melakukan apapun demi menyambung hidup. Ya. hidup mereka tidak lebih
dari sekedar bisa bertahan hidup dan mengenyangkan perut. Walau hanya sekali
sehari, atau bahkan tak tentu. Hanya
untuk, mengais rezeki. Pun, bagi para istri dan ibu. Banyak dari mereka
yang juga bekerja membantu suaminya. Contohnya, pembantu rumah tangga. Baik di
dalam maupun luar negeri (Tenaga Kerja Wanita / TKW).
Khusus TKW, banyak kasus penyiksaan
yang mereka alami di luar negeri. Semua itu mereka hadapi demi keluarganya,
khususnya demi anak-anaknya. Para TKW pun juga jarang pulang, bahkan tidak tahu
kapan bisa pulang untuk menemui anaknya walau hanya sejenak. lebih dari “pergi
pagi pulang pagi”. Mereka pergi dan tak tahu kapan kembali. Contoh berikutnya
juga para pelacur (pekerja seks komersial). Hal ini memang kontroversial. Sebab
banyak dari para pelacur yang sebenarnya mampu, tidak dalam kesulitan ekonomi. Namun
demi harta dan gengsi, mereka gadaikan kehormatan mereka. Demi gaya hidup
mewah. Walau banyak juga yang terpaksa menjadi pelacur karena kesulitan
ekonomi.
Orang Kantoran Pun “Kena”
Ternyata jika dianalisa lagi,
golongan menengah pun juga terkena singgung oleh lagu ini. Ya. para pekerja. Orang-orang
“kantoran” juga. Mereka banyak yang lembur demi memenuhi kebutuhan perusahaan. Para
pekerja memiliki waktu yang terbatas bersama keluarganya, demi lembur hanya
untuk mengembangkan perusahaan tempat mereka bekerja.
Hanya Untuk Mengais Rezeki
Ini lirik yang paling mengena
menurut saya. Sebab demi uang, manusia rela banting tulang. Bahkan jika sudah
sukses, terkadang dimabukkepayang. Ya. lupa daratan. Demi “mengais rezeki”
pula, manusia rela saling mencaci, memfitnah, mencuri, menyakiti hati, hingga
membunuh. Benar kata Bung Karno, bahwa Kapitalisme & Imperialisme bukan
bangsa. Bukan hanya “Londo”, bukan “Bule”. Namun Kapitalisme & Imperialisme
adalah sistem yang menyangkut soal perut, soal perebutan rezeki.
Penutup, saya hanya ingin
mengingatkan bahwa rezeki bukan hanya uang. Kesejahteraan tidak bisa diukur hanya
dengan banyaknya uang. Kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan apapun. Namun yang
harus diingat, di alam cengkeraman Kapitalisme & Imperialisme global ini,
uang bisa menguasai segalanya.
Hanya
ada satu kata, LAWAN!
MERDEKA!!!
No comments:
Post a Comment