Oleh:
ASLAMA
NANDA RIZAL
MAHASISWA
ILMU SEJARAH UGM
WAKIL
KOMISARIS BIDANG KADERISASI
KOMISARIAT
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI) GEOGRAFI UGM
Pengantar
Pergerakan
mahasiswa di Indonesia periode 1960-an sangat keras, dinamis, dialektis, dan
politis. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya tensi perpolitikan dalam
negeri. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi perpolitikan dunia yang juga
tengah terbagi menjadi dua kutub. Blok Barat dan Blok Timur. Walaupun
Indonesia, India, Mesir, dan lain-lain memprakarsai Gerakan Non–Blok yang
bertujuan menjadi blok sendiri tanpa bergabung dengan Blok Barat dan Blok
Timur, namun Gerakan Non–Blok tersebut lebih condong ke Blok Timur. Sentimen
anti-penjajahan, anti-kolonialisme dan anti-imperialisme negeri-negeri di Asia
dan Afrika membuat kecondongan tersebut.
Blok
Barat yang terdiri dari Amerika dan sekutunya menggencarkan paham kapitalisme
dan demokrasi liberalnya ke seluruh dunia. Sementara Blok Timur yang terdiri
dari Uni Soviet dan sekutunya melawan dengan menggencarkan paham
Marxisme/Leninisme ke seluruh dunia. Khususnya ke negeri-negeri yang menjadi
koloni negara Barat. Hal tersebut terjadi setelah Perang Dunia II yang dikenal
dengan sebutan Perang Dingin. Disebut demikian sebab kedua Blok tersebut tidak
berperang dengan mengangkat senjata, melainkan dengan menyebarkan pengaruh
ideologi. Dampak dari Perang Dingin tersebut membuat beberapa negeri terpecah
menjadi duna negara. Seperti Korea Selatan dan Korea Utara, Vietnam Utara dan
Vietnam Selatan, Yaman Selatan dan Yaman Selatan, pembentukan Federasi Malaya
yang kemudian menjadi Malaysia, dan lain-lain. Periode 1960-an menjadi klimaks
dari dampak Perang Dingin tersebut. Khususnya di Indonesia.
Perpolitikan
Indonesia periode 1960-an terkena dampak tersebut. Walaupun Pemerintah
Indonesia bersikap tidak masuk ke dalam kedua blok tersebut. Namun pengaruh
Perang Dingin sangat kuat mempengaruhi. Perpolitikan Indonesia masa tersebut bisa
dikerucutkan menjadi tiga kubu. ABRI (Angakatan Bersenjata Republik Indonesia)
Angkatan Darat (AD), Presiden Soekarno, dan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Tanpa bermaksud mengkerdilkan peran partai politik maupun kelompok yang lain,
ketiga kubu tersebut yang paling kuat dalam perpolitikan nasional saat itu.
Bisa dibilang, di Indonesia sendiri terjadi juga Perang Dingin. ABRI-AD
dianggap menjadi representasi Blok Barat, PKI dianggap sebagai representasi
Blok Timur, dan Bung Karno sebagai penengah. Walaupun lebih condong ke Blok
Timur.
Kelompok-kelompok
yang membenci PKI dan yang tidak sepaham dengan komunisme merapat ke kubu
ABRI-AD. Terutama kelompok Agama. Kebencian terhadap komunisme terjadi sebab
komunisme dianggap sebagai atheisme. Ajaran yang tidak mengakui Tuhan.
Komunisme juga dianggap sebagai ajaran ekstrim yang mengajarkan kekerasan
hingga pembunuhan terhadap kelompok yang menentangnya. Sementara PKI menganggap
kelompok ABRI-AD sebagai kaki tangan Blok Barat, sebab banyak yang sekali yang
lulusan pendidikan Amerika dan Inggris. PKI menganggap ABRI-AD sebagai
antek-antek kapitalis. PKI juga menganggap kelompok Agama sebagai Tuan Tanah
dan pendukung Borjuasi Nasional. Secara politik, PKI menggandeng Presiden
Soekarno sebagai rekan politik untuk mempertahankan diri dari rongrongan
ABRI-AD dan kelompok lain yang menentangnya.
Dampak
Terhadap Pergerakan Mahasiswa
Hal
tersebut berdampak pada pergerakan mahasiswa. Saat itu sangat banyak gerakan mahasiswa,
intra dan ekstra kampus. Gerakan mahasiswa intra kampus seperti Dewan Mahasiswa
(DEMA) ataupun Senat Mahasiswa (SM). Gerakan mahasiswa ekstra kampus seperti
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Mahasiswa Pantjasila
(Mapantjas), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal
(SOMAL) dan lain-lain.
Gerakan
mahasiswa ekstra kampus tersebut pada masa itu beberapa menjadi onderbouw atau sayap dari partai
politik. Beberapa tidak, namun memiliki kedekatan emosional dan ideologis
terhadap partai politik. Seperti GMNI yang saat itu menjadi onderbouw PNI (Partai Nasional
Indonesia), CGMI yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). PMII
yang berafiliasi dengan NU (Nadhlatul Ulama), dan lain-lain. Juga Gemsos yang
memiliki kedekatan emosional dan ideologis dengan PSI (Partai Sosialis
Indonesia), dan HMI yang memiliki kedekatan emosional dan ideologis dengan
Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Kedua partai politik tersebut
dibubarkan pada 1960 oleh Presiden Soekarno sebab dianggap terlibat dalam
pemberontakan PRRI / PERMESTA.
Kedekatan
antara gerakan mahasiswa dengan partai politik membuat konflik antar gerakan
tersebut. HMI saat itu menjalin koalisi dengan gerakan-gerakan keagamaan
mahasiswa seperti PMKRI dan GMKI. Sementara gerakan mahasiswa yang beraliran
kiri menjalin koalisi seperti GMNI dan CGMI. Hal tersebut membuat sentiment
antar gerakan mahasiswa ekstra kampus sangat kuat masa itu. GMNI dan CGMI
sebagai gerakan mahasiswa yang beraliran kiri mengaku sebagai gerakan mahasiswa
yang progresif-revolusioner. Mereka menganggap HMI dan lain-lain sebagai musuh
revolusi atau kontra-revolusioner (kontrev).
Sementara HMI dan gerakan mahasiswa keagamaan menganggap GMNI dan CGMI sebagai
kaum sekuler dan komunis, bahkan ateis. Terutama terhadap CGMI. Sementara
sentimen terhadap GMNI lebih bersifat politis dibanding ideologis. Sentimen
terhadap GMNI terjadi sebab GMNI dianggap sebagai anak emas Presiden Soekarno
dan menjadi gerakan mahasiswa paling kuat di seluruh Indonesia saat itu.
Sementara gerakan mahasiswa intra kampus
seperti DEMA maupun SM ataupun kini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) serta Dewan
Perwakilan Mahasiswa (DPM) menjadi tempat bertarungnya gerakan mahasiswa ekstra
kampus. Bahkan terjadi hingga kini. Sebab gerakan mahasiswa intra kampus di
dalamnya terdiri dari berbagai anggota gerakan mahasiswa ekstra kampus.
Terutama saat Pemilihan Raya atau Pemilihan Mahasiswa, antar gerakan mahasiswa
ekstra kampus saling berebut posisi di gerakan mahasiswa intra kampus.
Pergerakan Mahasiwa Pasca GESTOK
Setelah
terjadi peristiwa Gerakan 1 Oktober (Gestok)[1],
posisi GMNI dan CGMI menjadi terjepit. Terutama CGMI. Sebagai sayap PKI, CGMI
diserang oleh banyak gerakan mahasiswa dan organisasi kepemudaan lainnya. Dalam
buku Titik
Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses
Perubahan Politik 1959-1970 misalnya,
dijelaskan mengenai penyerangan terhadap CGMI (Rum Aly, 2006). CGMI
semakin terjepit setelah terjadi penyerangan besar-besaran terhadap orang-orang
yang dianggap PKI. Sementara GMNI semakin terjepit sebab semakin banyak yang
menyerang Presiden Soekarno, juga menyerang GMNI. Perpecahan internal juga
terjadi pada GMNI. Pecahnya PNI menjadi dua kubu yakni PNI Ali & Surachman
(PNI Ali – Surachman) serta PNI Osa Maliki & Usep (PNI Osa-Usep). Hal
tersebut berdampak pada GMNI yang pecah menjadi GMNI Ali – Surachman dan GMNI
Osa – Usep.
PNI
dan GMNI Ali – Surachman adalah kelompok yang setia terhadap Presiden Soekarno
dan gagasannya mengenai NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sementara PNI
dan GMNI Osa – Usep keluar dari barisan Presiden Soekarno sebab dianggap telah
menyimpang dan terlalu dekat dengan PKI. Kelompok ini juga mencabut gelar
“Bapak Marhaenisme” dari Presiden Soekarno. GMNI Osa – Usep yang dipimpin oleh
Suryadi ikut terlibat dalam kelahiran Orde Baru.
Setelah
peristiwa Gestok, beberapa gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, SOMAL, dan
PMII, mendesak agar PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang
merupakan wadah gerakan mahasiswa ekstra kampus di masa Presiden Soekarno –yang
didominasi GMNI Ali – Surachman, CGMI, Perhimi, dan Germindo- untuk mengadakan
kongres terkait sikap mereka perihal Gestok. PPMI merasa terdesak hingga
membuat Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) saat itu, Sjarif
Thajeb turun tangan. Ia mengusulkan pertemuan pada 25 Oktober 1965 di rumahnya.
Namun pertemuan itu tidak dihadiri oleh gerakan mahasiswa beraliran kiri. Hanya
GMNI Ali - Surachman yang hadir. Pertemuan tersebut berlangsung alot. Para
pemimpin gerakan mahasiswa yang hadir pada saat itu sepakat untuk membentuk
wadah baru sebagai pengganti PPMI, yakni KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia), dengan program utama mengganyang PKI (Rum Aly, 2006).
Menteri
Sjarif Thajeb bersikukuh menolak penyudutan terhadap Presiden Soekarno. Namun
mereka menolak. Akhirnya di kemudian hari, terjadi seperti penyesalannya dari
Menteri Sjarif Thajeb sebab ia menjadi salah satu pelopor berdirinya KAMI yang
kemudian justru menyerang Presiden Soekarno. GMNI Ali – Surachman menyatakan
sikap keluar dari KAMI. Saat itulah, GMNI Osa – Usep masuk. Mereka memanfaatkan
momen tersebut. KAMI secara resmi dibentuk di Bandung, 1 November 1965. Selang
beberapa hari setelah KAMI Jakarta terbentuk. Pembentukkan KAMI terjadi di
Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9, Bandung. Presidium KAMI terdiri dari HMI,
PMII, PMKRI, SOMAL, MAPANTJAS, dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Organisasi mahasiswa intra kampus akhirnya mengikuti dengan membentuk KOMII
(Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra-Universiter Indonesia). Pembentukan KOMII
terjadi pada 24 November 1965. KOMII dipelopori oleh Dewan-dewan Mahasiswa
maupun Senat-senat Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se-Bandung. Ketua Umum
KOMII pertama adalah Rachmat Witoelar dari ITB.
Awalnya,
pergerakan KAMI dan KOMII terpisah. Hal tersebut sebab keduanya tidak mau
menyatu. Namun saat suasana perpolitikan dan ekonomi nasional yang semakin
tegang serta carut-marut, aksi-aksi mahasiswa semakin meningkat. Hal tersebut
menyebabkan awal bersatunya KAMI dan KOMII. Akhirnya disepakati dalam Presidium
KAMI terdiri dari 4 unsur ekstra dan 4 unsur ekstra kampus. Menyatunya unsur
intra dan ekstra kampus membuat aksi-aksi mahasiswa semakin tak terkendali.
Pada 10 Januari 1966 terjadilah aksi besar-besaran mahasiswa seluruh Indonesia
ke Jakarta. Aksi tersebut melahirkan tiga tuntutan yang dikenal sebagai TRITURA
(Tri Tuntutan Rakyat), yakni: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan
Turunkan harga-harga.
Setelah
peristiwa “TRITURA”, kondisi dalam negeri Indonesia semakin semrawut. Terutama
di kalangan mahasiswa. KAMI dan KOMII yang melakukan aksi besar-besaran
tersebut membuat kelompok yang membela Presiden Soekarno –bahkan Presiden
Soekarno sendiri pun- geram. Waperdam I Soebandrio kemudian mempelopori
dibentuknya Barisan Soekarno. Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekarno
menyerukan untuk membentuk Barisan Soekarno. Pada 15 Februari 1966, Soebandrio
mendampingi Presiden Soekarno mengadakan pertemuan terbatas dengan para
pimpinan GMNI Ali – Suarchman, Germindo, MMI, dan Dewan Mahasiswa Universitas
Bung Karno di Istana Merdeka. Maka terbentuklah Barisan Soekarno.
Terbentuknya
Barisan Soekarno mendapat perlawanan dari KAMI. Terjadilah penyerangan kedua
kubu dimana-mana. Keduanya saling bentrok. Barisan Soekarno berupaya untuk
mempertahankan Presiden, sementara KAMI bersikukuh ingin menurunkan Soekarno
beserta jajarannya dari kursi kepemerintahan. Terjadilah bentrokan dimana-mana.
Bahkan jatuh korban jiwa. Salah satunya yang terkenal adalah Arief Rahman
Hakim. TRITURA tidak dikabulkan Presiden Soekarno. Malah pada 24 Februari 1966,
Presiden Soekarno melakukan reshuffle
kabinet dengan memasukkan unsur PKI. KAMI pun geram. Aksi mahasiswa
besar-besaran kembali terjadi. Aksi tersebut membuat kemacetan parah di
Jakarta. Para demosntran berhasil masuk ke Istana Negara. Pasukan Cakrabirawa
menghadang dan terjadilah penembakan terhadap Arief Rahman Hakim.
Pergerakan Mahasiswa Pasca
Lengsernya Soekarno
Setelah
Soekarno lengser, situasi politik di Indonesia menjadi agak tenang untuk
beberapa waktu. Naiknya Soeharto yang langsung mendengungkan pembangunan,
perlahan mengikis hiruk-pikuk politik. KAMI pun terkena dampaknya. Jauh-jauh
hari, Soe Hok Gie telah mewanti-wanti hal ini dan menyuruh KAMI untuk
instropeksi diri. Soe Hok Gie terkenal pada saat itu sebagai aktivis mahasiswa
yang kritis dalam tulisannya. KAMI perlahan tenggelam bersama tenggelamnya
rezim Soekarno. Pada 1966, aktivitas perkuliahan terhenti karena situasi
politik yang panas. Pada 1967, perkuliahan dimuali kembali. Sejak 1967 hingga
1970, suasana kehidupan kampus menjadi lebih tenang dan lancar. Hal tersebut
membuat semangat mahasiswa perlahan menurun. KAMI pun mulai ditinggalkan. KAMI
juga akhirnya disusupi kepentingan partai politik. Soe Hok Gie mengkritik keras
hal ini. Ia menyoroti hubungan partai politik terhadap KAMI.
Soe
Hok Gie menyoroti empat kelemahan KAMI. Yakni, secara struktural KAMI adalah
koalisi berbagai ormas, pimpinan KAMI tidak dipilih secara demokratis, KAMI
tidak memiliki ketegasan sebagai kekuatan moral ataupun politik, dan KAMI tidak
lagi dapat mencari isu yang menjadi milik bersama. Periode tersebut juga
menjadi titik awal meredupnya gerakan mahasiswa ekstra kampus. Bahkan bisa
dianggap hingga saat ini. Setelah 1970, terjadi apa yang disebut sebagai Back To Campus. Kegiatan dan minat
terhadap organisasi intra kampus lebih terasa dibandinh ekstra kampus. Hal
tersebut yang menjadi titik awal dari munculnya sekat antara intra dan ekstra
kampus. Bahkan hingga kini, intra kampus dianggap lebih bergengsi dibanding
ekstra kampus.
DAFTAR BACAAN
Rum
Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun
1966. Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970,
Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
Nurcholish
Madjid, dan kawan-kawan, HMI Menjawab
Tantangan Zaman, Jakarta: Gunung Kelabu, 1990.
Soebagijo,
Perjuangan Pelajar IPI-IPPI, Jakarta:
Balai Pustaka, 1987.
Sulastomo,
Hari-Hari Yang Panjang 1963-1966,
Jakarta: Kompas, 2000.
Soe
Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
[1]
Walaupun hampir semua menyebutnya dengan Gerakan 30 September (G 30 S), saya
lebih condong menyebutnya dengan Gestok. Memang gerakan tersebut bernama G 30
S, namun peristiwa tersebut berlangsung pada 1 Oktober 1965 dini hari.
No comments:
Post a Comment