Friday, October 16, 2015

JOKOWI, ORDE BARU, DAN MARHAEN INDONESIA

Oleh:
ASLAMA NANDA RIZAL
MAHASISWA JURUSAN SEJARAH UGM
KEMENTERIAN AKSI & PROPAGANDA BEM KM UGM
WAKIL KOMISARIS BIDANG KADERISASI KOMISARIAT GMNI GEOGRAFI UGM

(Materi Pada Diskusi Publik Bersama KAMMI UGM dan HTI Yogyakarta, Jumat 16 Oktober 2015)

20 Oktober 2015 nanti tepat satu tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Walaupun baru setahun menjabat, namun pemerintahan kali ini carut marut. Dalam setahun, terjadi banyak kasus baik dalam skala elit maupun akar rumput di Indonesia. Kurang lebih sebulan setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal tersebut langsung dimaknai negatif oleh kebanyakan masyarakat kita. Dalam tataran elit, kasus pemilihan Kepala Polisi RI (KAPOLRI). Melibatkan Budi Gunawan yang dianggap korupsi karena kasus rekening gendut, kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga yang terbaru mengenai revisi Undang-undang yang bertujuan untuk mengkebiri kekuatan KPK yang dilakukan oleh DPR – RI. Menurut saya, tidak hanya eksekutif, namun juga Legislatif atau Parlemen Indonesia juga keblinger.
Dalam tataran akar rumput, rakyat Indonesia terutama golongan bawah, yang oleh Bung Karno dinamakan kaum MARHAEN, semakin menderita. Baru-baru ini, Presiden Jokowi merilis paket kebijakan ekonomi tahap II. Isinya adalah memudahkan pembukaankeran investasi sebesar-besarnya bagi para pemodal yang berbisnis di Indonesia. Hal tersebut semakin melanggengkan Kapitalisme dan menyengsarakan kaum Marhaen. Sumber daya alam Indonesia semakin dikeruk untuk kepentingan perut pemodal. Bung Karno pernah berkata bahwa Kapitalisme itu bukan suatu bangsa. Kapitalis bukan hanya bangsa asing. Bukan hanya Amerika, Inggris, Jepang, Belanda, dan lain-lain. Tapi juga Kapitalis bangsa sendiri. Kapitalisme bukan soal suku, agama, ras, maupun aliran kepercayaan. Tapi Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi, yang menindas. Sangat menindas. Bahkan sangat Jahannam.
Berikutnya, kasus yang masih langgeng seperti kisah cinta Habibie dan Ainun. Ya, PT. Freeport Indonesia di tanah Papua. Sejak 1967, Freeport Berjaya mengeruk emas di “Rumah Cendrawasih”. Kepingan surge, Papua. Bahkan, kini kontraknya diperpanjang hingga 2041. Maka, sangat wajar jika gerakan Papua Barat Merdeka atau yang dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) menguat di sana. Hal tersebut adalah dampak dari pemerintah Indonesia yang mengizinkan Papua dieksploitasi secara sangat berlebihan. Bahkan, jika dilihat dari atas, tanah Papua kini cekung sangat dalam ke bawah. Sebab tambangnya dikeruk sudah hampir 50 tahun.
Selanjutnya, kasus pembangunan pabrik Semen oleh PT. Semen Indonesia di Kendeng Utara, Rembang. Lalu kasus pembangunan Bandara Kulon Progo Yogyakarta, pendirian tambang dan kebrutalan yang dilakukan TNI – AD di Urut Sewu, Kebumen. Juga yang baru-baru terekspos media dengan sangat masif, kasus pembunuhan secara biadab terhadap Salim Kancil akibat menentang pendirian pembangunan tambang di Lumajang. Jika ditelusuri, tidak heran bahwa saya menyimpulkan. Bahwa Kapitalisme bercokol akibat “Cinta Segi Empat” antara Kapitalis, Pemerintah, Akademisi, dan Aparat Negara (TNI, POLRI, dan Satpol PP). Mereka semua bekerjasama, saling bercinta, untuk kepentingan mereka dan menindas rakyat. Ya. lagi-lagi Marhaen jadi korban. Dan terakhir (yang terekspos media), adalah kasus asap di Sumatera dan Kalimantan. Hal tersebut adalah ulah para Kapitalis, yang seperti saya jelaskan sebetulnya. Didukung oleh Pemerintah, Akademisi, dan Aparat Negara. Hal tersebut membuat kita bertanya, siapa yang salah? Jelas. Pemerintah Jokowi-JK mewarisi pemerintahan sebelumnya, SBY-Boediono. Namun kini, seluruh tanggung jawab tersebut dipikul Jokowi –JK. Dan seluruhnya jika ditelusuri, adalah warisan dari rezim Diktator Orde Baru.

DOSA BESAR ORDE BARU
Orde Baru adalah biang keladi dari perusakan Indonesia. Dengan dalih, Anti-Komunisme dan dalih semangat pembangunan ekonomi, Orde Baru membuka keran investor selebar-lebarnya. Orde Baru adalah kaki tangan Kapitalis dan Imperialis Barat. Para jajaran militer saat itu kebanyakan alumni pendidikan Barat. Sangat wajar, mereka menjadi agen Barat. Padahal sebelumnya, Bung Karno telah mengkonsep perekonomian Indonesia dengan baik. Walaupun banyak kritik terhadap ekonomi Indonesia yang carut marut. Hal tersebut tidak mengapa menurut saya. Sebab, Bung Karno hanya 6 tahun menjabat sebagai Kepala Pemerintahan. sejak 1959 hingga 1965. Sejak 1945 hingga 1959, Indonesia menerapkan sistem Demokrasi Liberal / Parlementer. Bung Karno hanya menjadi Kepala Negara. Bung Karno akhirnya geram dengan sistem tersebut yang dianggap terlalu politis dan mementingkan kepentingan masing-masing partai politik. Bung Karno membubarkan sistem tersebut dan menggantikannya dengan Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, Bung Karno mengkonsep banyak gagasan untuk kemajuan rakyat Indonesia. Bahkan Bung Karno membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yakni Manifesto Politik / UU 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kebudayaan Nasional (MANIPOL / USDEK). Namun sayang, belum sempat terealisasi, Bung Karno dikudeta oleh Suharto dan kawan-kawan gerombolan yang menamakan diri mereka sebagai Orde Baru.
Di masa Orde Baru, kritik terhadap pemerintah atas nama Tuhan dicap “Ekstrim Kanan, DI / TII”. Kritik terhadap pemerintah atas nama rakyat kecil dicap “Ekstrim Kiri, Komunis, PKI”. Aktivitas mahasiswa juga dikebiri dengan diberlakukannya Normalisasi Kebijakan Kampus / Badan Keamanan Kampus (NKK / BKK). Hal tersebut membuat aktivis pergerakan tidak berkutik sebab jika tertangkap akan dikenakan pasal subversive dan mengganggu stabilitas nasional. Hal tersebut membuat langgengnya Kapitalisme pada masa Orde Baru. Saya menganggapnya, Kapitalisme Terpusat. Sebab, perekonomian Indonesia harus lewat keluarga Cendana, keluarga Suharto. Di masa Orde Baru itulah, mindset investasi menghinggapi otak rakyat Indonesia hingga kini. Investasi dan penanaman modal dianggap sebagai cara instan untuk melakukan pembangunan. Indonesia juga menjadi “kacung” IMF & World Bank hingga kini dan sulit lepas dari jeratannya. Hal tersebut adalah efek dari 32 tahun Orde Baru berkuasa.

APA YANG BISA DILAKUKAN MAHASISWA?
            Itu menjadi pertanyaan konkrit yang sering dilontarkan banyak pihak. Apa yang bisa dilakukan mahasiswa? Apakah demonstrasi masih relevan? Apakah pergerakan mahasiswa masih berguna? Dan lain-lain. Berbagai pertanyaan tersebut sejatinya adalah peremehan terhadap kita, mahasiswa yang masih bergerak demi perbaikan bangsa. Saya anggap, aktivis pergerakan mahasiswa kini adalah “spesies langka”. Begitu sulitnya jaman ini. Sebab, Kapitalisme tidak sesederhana yang kita pikirkan. Kapitalisme berkembang dengan baik dan cepat sebab telah mengalami berbagai trial and error. Kapitalisme dulu adalah Kapitalisme Klasik, dan kini menjadi Kapitalisme Tingkat Lanjut. Dengan berbagai cara Kapitalisme dibungkus. Bahkan atas nama agama. Bank Syariah misalkan, mengatasnamakan agama. Mengatasnamakan Islam. Padahal sejatinya hanya kepanjangan tangan dari Kapitalisme.
            Begini, saudara-saudara sekalian. Kita terdiri dari beragam suku, agama, ras, aliran kepercayaan, ideologi, dan organisasi. Marilah kita hilangkan sentiment perbedaan tersebut. Marilah kita bersatu dalam dasar negara Pancasila untuk bergerak bersama secara Gotong Royong. Jangan memperdebatkan masalah konsep negara, karena kami dari GMNI tidak akan pernah sepaham dengan kawan-kawan dari HTI perihal negara. Kami tetap memegang teguh Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai Dasar Negara sampai tetes darah penghabisan hingga nyawa melayang. Kawan-kawan HTI pun demikian dengan konsep Khilafah Islamiyah versi mereka. Saya hadir di sini bukan untuk memperdebatkan itu. Tapi lebih untuk menjalin “ukhuwah” kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia.
            Mungkin terlihat sangat sederhana dan terkesan tidak memberi solusi. Namun marilah kita bertanya, apa yang kita punya untuk menyelamatkan rakyat kecil, kaum Marhaen? Uang melimpah? Kekuasaan? Tidak! Kita tidak punya semuanya. Yang kita punya hanyalah mulut untuk teriak melawan penindasan. Dan jemari tangan yang Tuhan ciptakan untuk menulis, mengetik, dan melakukan ini-itu untuk menyadarkan orang lain demi pembebasan kaum Marhaen (jangan-jangan Marhaen itu ialah kita sendiri) dari belenggu penjajahan halus jaman kini. Dan juga kaki untuk bergerak ke sana ke sini, untuk menghadiri berbagai diskusi dan aksi pergerakan mahasiswa. Sebab, pembuktian itu semua menurut saya bukan saat ini. Melainkan nanti, saat kita telah menjadi “orang”. Saat kita telah bekerja, saat kita telah menjadi pemerintah. Saat kita telah di atas, nurani akan mempertanyakan konsistensimu dalam perjuangan. Pembuktian sesungguhnya adalah saat kita telah diberi wewenang untuk itu.
            Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa jagalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai Dasar Negara kita. NEGARA INI TIDAK DIBUAT UNTUK MELINDUNGI MINORITAS, BUKAN PULA UNTUK MELEGITIMASI MAYORITAS. TAPI NEGARA INI DIDIRIKAN “SEMUA UNTUK SEMUA”. BUKAN UNTUK SATU GOLONGAN. BUKAN UNTUK SATU AGAMA. BUKAN UNTUK MAYORITAS. BUKAN UNTUK DIA, BUKAN UNTUK MEREKA, BUKAN UNTUK KALIAN, BUKAN UNTUK KAMU. BUKAN UNTUK AKU. TAPI UNTUK KITA. BUKAN UNTUK SIAPA-SIAPA TERSENDIRI, TAPI.. SEMUA UNTUK SEMUA.
Saya tutup celotehan saya ini dengan Surah Al-Ma’un ayat 1 sampai 3. Surah sebagai salah satu dalil perjuangan membela si miskin, kaum Marhaen.
“Tahukah Kamu (orang) yang MENDUSTAKAN AGAMA?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. DAN TIDAK MENGANJURKAN MEMBERI MAKAN ORANG MISKIN (TIDAK PRO MARHAEN, TIDAK PRO RAKYAT KECIL, MENINDAS YANG LEMAH)”.

MERDEKA!!!

MARHAEN MENANG!!!

Tuesday, September 29, 2015

PERGERAKAN MAHASISWA SEKITAR PERISTIWA GERAKAN SATU OKTOBER (GESTOK) 1965

Oleh:

ASLAMA NANDA RIZAL

MAHASISWA ILMU SEJARAH UGM

WAKIL KOMISARIS BIDANG KADERISASI

KOMISARIAT GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI) GEOGRAFI UGM

Pengantar

Pergerakan mahasiswa di Indonesia periode 1960-an sangat keras, dinamis, dialektis, dan politis. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya tensi perpolitikan dalam negeri. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi perpolitikan dunia yang juga tengah terbagi menjadi dua kutub. Blok Barat dan Blok Timur. Walaupun Indonesia, India, Mesir, dan lain-lain memprakarsai Gerakan Non–Blok yang bertujuan menjadi blok sendiri tanpa bergabung dengan Blok Barat dan Blok Timur, namun Gerakan Non–Blok tersebut lebih condong ke Blok Timur. Sentimen anti-penjajahan, anti-kolonialisme dan anti-imperialisme negeri-negeri di Asia dan Afrika membuat kecondongan tersebut.

Blok Barat yang terdiri dari Amerika dan sekutunya menggencarkan paham kapitalisme dan demokrasi liberalnya ke seluruh dunia. Sementara Blok Timur yang terdiri dari Uni Soviet dan sekutunya melawan dengan menggencarkan paham Marxisme/Leninisme ke seluruh dunia. Khususnya ke negeri-negeri yang menjadi koloni negara Barat. Hal tersebut terjadi setelah Perang Dunia II yang dikenal dengan sebutan Perang Dingin. Disebut demikian sebab kedua Blok tersebut tidak berperang dengan mengangkat senjata, melainkan dengan menyebarkan pengaruh ideologi. Dampak dari Perang Dingin tersebut membuat beberapa negeri terpecah menjadi duna negara. Seperti Korea Selatan dan Korea Utara, Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, Yaman Selatan dan Yaman Selatan, pembentukan Federasi Malaya yang kemudian menjadi Malaysia, dan lain-lain. Periode 1960-an menjadi klimaks dari dampak Perang Dingin tersebut. Khususnya di Indonesia.

Perpolitikan Indonesia periode 1960-an terkena dampak tersebut. Walaupun Pemerintah Indonesia bersikap tidak masuk ke dalam kedua blok tersebut. Namun pengaruh Perang Dingin sangat kuat mempengaruhi. Perpolitikan Indonesia masa tersebut bisa dikerucutkan menjadi tiga kubu. ABRI (Angakatan Bersenjata Republik Indonesia) Angkatan Darat (AD), Presiden Soekarno, dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Tanpa bermaksud mengkerdilkan peran partai politik maupun kelompok yang lain, ketiga kubu tersebut yang paling kuat dalam perpolitikan nasional saat itu. Bisa dibilang, di Indonesia sendiri terjadi juga Perang Dingin. ABRI-AD dianggap menjadi representasi Blok Barat, PKI dianggap sebagai representasi Blok Timur, dan Bung Karno sebagai penengah. Walaupun lebih condong ke Blok Timur.

Kelompok-kelompok yang membenci PKI dan yang tidak sepaham dengan komunisme merapat ke kubu ABRI-AD. Terutama kelompok Agama. Kebencian terhadap komunisme terjadi sebab komunisme dianggap sebagai atheisme. Ajaran yang tidak mengakui Tuhan. Komunisme juga dianggap sebagai ajaran ekstrim yang mengajarkan kekerasan hingga pembunuhan terhadap kelompok yang menentangnya. Sementara PKI menganggap kelompok ABRI-AD sebagai kaki tangan Blok Barat, sebab banyak yang sekali yang lulusan pendidikan Amerika dan Inggris. PKI menganggap ABRI-AD sebagai antek-antek kapitalis. PKI juga menganggap kelompok Agama sebagai Tuan Tanah dan pendukung Borjuasi Nasional. Secara politik, PKI menggandeng Presiden Soekarno sebagai rekan politik untuk mempertahankan diri dari rongrongan ABRI-AD dan kelompok lain yang menentangnya.

Dampak Terhadap Pergerakan Mahasiswa

Hal tersebut berdampak pada pergerakan mahasiswa. Saat itu sangat banyak gerakan mahasiswa, intra dan ekstra kampus. Gerakan mahasiswa intra kampus seperti Dewan Mahasiswa (DEMA) ataupun Senat Mahasiswa (SM). Gerakan mahasiswa ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Mahasiswa Pantjasila (Mapantjas), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL) dan lain-lain.

Gerakan mahasiswa ekstra kampus tersebut pada masa itu beberapa menjadi onderbouw atau sayap dari partai politik. Beberapa tidak, namun memiliki kedekatan emosional dan ideologis terhadap partai politik. Seperti GMNI yang saat itu menjadi onderbouw PNI (Partai Nasional Indonesia), CGMI yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). PMII yang berafiliasi dengan NU (Nadhlatul Ulama), dan lain-lain. Juga Gemsos yang memiliki kedekatan emosional dan ideologis dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan HMI yang memiliki kedekatan emosional dan ideologis dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Kedua partai politik tersebut dibubarkan pada 1960 oleh Presiden Soekarno sebab dianggap terlibat dalam pemberontakan PRRI / PERMESTA.

Kedekatan antara gerakan mahasiswa dengan partai politik membuat konflik antar gerakan tersebut. HMI saat itu menjalin koalisi dengan gerakan-gerakan keagamaan mahasiswa seperti PMKRI dan GMKI. Sementara gerakan mahasiswa yang beraliran kiri menjalin koalisi seperti GMNI dan CGMI. Hal tersebut membuat sentiment antar gerakan mahasiswa ekstra kampus sangat kuat masa itu. GMNI dan CGMI sebagai gerakan mahasiswa yang beraliran kiri mengaku sebagai gerakan mahasiswa yang progresif-revolusioner. Mereka menganggap HMI dan lain-lain sebagai musuh revolusi atau kontra-revolusioner (kontrev). Sementara HMI dan gerakan mahasiswa keagamaan menganggap GMNI dan CGMI sebagai kaum sekuler dan komunis, bahkan ateis. Terutama terhadap CGMI. Sementara sentimen terhadap GMNI lebih bersifat politis dibanding ideologis. Sentimen terhadap GMNI terjadi sebab GMNI dianggap sebagai anak emas Presiden Soekarno dan menjadi gerakan mahasiswa paling kuat di seluruh Indonesia saat itu.

Sementara gerakan mahasiswa intra kampus seperti DEMA maupun SM ataupun kini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) serta Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) menjadi tempat bertarungnya gerakan mahasiswa ekstra kampus. Bahkan terjadi hingga kini. Sebab gerakan mahasiswa intra kampus di dalamnya terdiri dari berbagai anggota gerakan mahasiswa ekstra kampus. Terutama saat Pemilihan Raya atau Pemilihan Mahasiswa, antar gerakan mahasiswa ekstra kampus saling berebut posisi di gerakan mahasiswa intra kampus. 


Pergerakan Mahasiwa Pasca GESTOK

Setelah terjadi peristiwa Gerakan 1 Oktober (Gestok)[1], posisi GMNI dan CGMI menjadi terjepit. Terutama CGMI. Sebagai sayap PKI, CGMI diserang oleh banyak gerakan mahasiswa dan organisasi kepemudaan lainnya. Dalam buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970 misalnya,  dijelaskan mengenai penyerangan terhadap CGMI (Rum Aly, 2006). CGMI semakin terjepit setelah terjadi penyerangan besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap PKI. Sementara GMNI semakin terjepit sebab semakin banyak yang menyerang Presiden Soekarno, juga menyerang GMNI. Perpecahan internal juga terjadi pada GMNI. Pecahnya PNI menjadi dua kubu yakni PNI Ali & Surachman (PNI Ali – Surachman) serta PNI Osa Maliki & Usep (PNI Osa-Usep). Hal tersebut berdampak pada GMNI yang pecah menjadi GMNI Ali – Surachman dan GMNI Osa – Usep.

PNI dan GMNI Ali – Surachman adalah kelompok yang setia terhadap Presiden Soekarno dan gagasannya mengenai NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sementara PNI dan GMNI Osa – Usep keluar dari barisan Presiden Soekarno sebab dianggap telah menyimpang dan terlalu dekat dengan PKI. Kelompok ini juga mencabut gelar “Bapak Marhaenisme” dari Presiden Soekarno. GMNI Osa – Usep yang dipimpin oleh Suryadi ikut terlibat dalam kelahiran Orde Baru.

Setelah peristiwa Gestok, beberapa gerakan mahasiswa seperti HMI, PMKRI, SOMAL, dan PMII, mendesak agar PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah gerakan mahasiswa ekstra kampus di masa Presiden Soekarno –yang didominasi GMNI Ali – Surachman, CGMI, Perhimi, dan Germindo- untuk mengadakan kongres terkait sikap mereka perihal Gestok. PPMI merasa terdesak hingga membuat Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) saat itu, Sjarif Thajeb turun tangan. Ia mengusulkan pertemuan pada 25 Oktober 1965 di rumahnya. Namun pertemuan itu tidak dihadiri oleh gerakan mahasiswa beraliran kiri. Hanya GMNI Ali - Surachman yang hadir. Pertemuan tersebut berlangsung alot. Para pemimpin gerakan mahasiswa yang hadir pada saat itu sepakat untuk membentuk wadah baru sebagai pengganti PPMI, yakni KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dengan program utama mengganyang PKI (Rum Aly, 2006).

Menteri Sjarif Thajeb bersikukuh menolak penyudutan terhadap Presiden Soekarno. Namun mereka menolak. Akhirnya di kemudian hari, terjadi seperti penyesalannya dari Menteri Sjarif Thajeb sebab ia menjadi salah satu pelopor berdirinya KAMI yang kemudian justru menyerang Presiden Soekarno. GMNI Ali – Surachman menyatakan sikap keluar dari KAMI. Saat itulah, GMNI Osa – Usep masuk. Mereka memanfaatkan momen tersebut. KAMI secara resmi dibentuk di Bandung, 1 November 1965. Selang beberapa hari setelah KAMI Jakarta terbentuk. Pembentukkan KAMI terjadi di Margasiswa PMKRI Jalan Merdeka 9, Bandung. Presidium KAMI terdiri dari HMI, PMII, PMKRI, SOMAL, MAPANTJAS, dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Organisasi mahasiswa intra kampus akhirnya mengikuti dengan membentuk KOMII (Kesatuan Organisasi Mahasiswa Intra-Universiter Indonesia). Pembentukan KOMII terjadi pada 24 November 1965. KOMII dipelopori oleh Dewan-dewan Mahasiswa maupun Senat-senat Mahasiswa dari 20 perguruan tinggi se-Bandung. Ketua Umum KOMII pertama adalah Rachmat Witoelar dari ITB.

Awalnya, pergerakan KAMI dan KOMII terpisah. Hal tersebut sebab keduanya tidak mau menyatu. Namun saat suasana perpolitikan dan ekonomi nasional yang semakin tegang serta carut-marut, aksi-aksi mahasiswa semakin meningkat. Hal tersebut menyebabkan awal bersatunya KAMI dan KOMII. Akhirnya disepakati dalam Presidium KAMI terdiri dari 4 unsur ekstra dan 4 unsur ekstra kampus. Menyatunya unsur intra dan ekstra kampus membuat aksi-aksi mahasiswa semakin tak terkendali. Pada 10 Januari 1966 terjadilah aksi besar-besaran mahasiswa seluruh Indonesia ke Jakarta. Aksi tersebut melahirkan tiga tuntutan yang dikenal sebagai TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat), yakni: Bubarkan PKI, Retool Kabinet Dwikora, dan Turunkan harga-harga.

Setelah peristiwa “TRITURA”, kondisi dalam negeri Indonesia semakin semrawut. Terutama di kalangan mahasiswa. KAMI dan KOMII yang melakukan aksi besar-besaran tersebut membuat kelompok yang membela Presiden Soekarno –bahkan Presiden Soekarno sendiri pun- geram. Waperdam I Soebandrio kemudian mempelopori dibentuknya Barisan Soekarno. Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekarno menyerukan untuk membentuk Barisan Soekarno. Pada 15 Februari 1966, Soebandrio mendampingi Presiden Soekarno mengadakan pertemuan terbatas dengan para pimpinan GMNI Ali – Suarchman, Germindo, MMI, dan Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno di Istana Merdeka. Maka terbentuklah Barisan Soekarno.

Terbentuknya Barisan Soekarno mendapat perlawanan dari KAMI. Terjadilah penyerangan kedua kubu dimana-mana. Keduanya saling bentrok. Barisan Soekarno berupaya untuk mempertahankan Presiden, sementara KAMI bersikukuh ingin menurunkan Soekarno beserta jajarannya dari kursi kepemerintahan. Terjadilah bentrokan dimana-mana. Bahkan jatuh korban jiwa. Salah satunya yang terkenal adalah Arief Rahman Hakim. TRITURA tidak dikabulkan Presiden Soekarno. Malah pada 24 Februari 1966, Presiden Soekarno melakukan reshuffle kabinet dengan memasukkan unsur PKI. KAMI pun geram. Aksi mahasiswa besar-besaran kembali terjadi. Aksi tersebut membuat kemacetan parah di Jakarta. Para demosntran berhasil masuk ke Istana Negara. Pasukan Cakrabirawa menghadang dan terjadilah penembakan terhadap Arief Rahman Hakim.

Pergerakan Mahasiswa Pasca Lengsernya Soekarno

Setelah Soekarno lengser, situasi politik di Indonesia menjadi agak tenang untuk beberapa waktu. Naiknya Soeharto yang langsung mendengungkan pembangunan, perlahan mengikis hiruk-pikuk politik. KAMI pun terkena dampaknya. Jauh-jauh hari, Soe Hok Gie telah mewanti-wanti hal ini dan menyuruh KAMI untuk instropeksi diri. Soe Hok Gie terkenal pada saat itu sebagai aktivis mahasiswa yang kritis dalam tulisannya. KAMI perlahan tenggelam bersama tenggelamnya rezim Soekarno. Pada 1966, aktivitas perkuliahan terhenti karena situasi politik yang panas. Pada 1967, perkuliahan dimuali kembali. Sejak 1967 hingga 1970, suasana kehidupan kampus menjadi lebih tenang dan lancar. Hal tersebut membuat semangat mahasiswa perlahan menurun. KAMI pun mulai ditinggalkan. KAMI juga akhirnya disusupi kepentingan partai politik. Soe Hok Gie mengkritik keras hal ini. Ia menyoroti hubungan partai politik terhadap KAMI.

Soe Hok Gie menyoroti empat kelemahan KAMI. Yakni, secara struktural KAMI adalah koalisi berbagai ormas, pimpinan KAMI tidak dipilih secara demokratis, KAMI tidak memiliki ketegasan sebagai kekuatan moral ataupun politik, dan KAMI tidak lagi dapat mencari isu yang menjadi milik bersama. Periode tersebut juga menjadi titik awal meredupnya gerakan mahasiswa ekstra kampus. Bahkan bisa dianggap hingga saat ini. Setelah 1970, terjadi apa yang disebut sebagai Back To Campus. Kegiatan dan minat terhadap organisasi intra kampus lebih terasa dibandinh ekstra kampus. Hal tersebut yang menjadi titik awal dari munculnya sekat antara intra dan ekstra kampus. Bahkan hingga kini, intra kampus dianggap lebih bergengsi dibanding ekstra kampus.


DAFTAR BACAAN
Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006.
Nurcholish Madjid, dan kawan-kawan, HMI Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Gunung Kelabu, 1990.
Soebagijo, Perjuangan Pelajar IPI-IPPI, Jakarta: Balai Pustaka, 1987.
Sulastomo, Hari-Hari Yang Panjang 1963-1966, Jakarta: Kompas, 2000.
Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.





[1] Walaupun hampir semua menyebutnya dengan Gerakan 30 September (G 30 S), saya lebih condong menyebutnya dengan Gestok. Memang gerakan tersebut bernama G 30 S, namun peristiwa tersebut berlangsung pada 1 Oktober 1965 dini hari.

Sunday, August 23, 2015

LAGU “PERGI PAGI PULANG PAGI” REALITA MARHAEN DALAM CENGKERAMAN KAPITALISME & IMPERIALISME



Oleh:

Bung Aslama Nanda Rizal

(Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi Komisariat GMNI Geografi UGM)



Ku rela, pergi. Pagi, pulang pagi. Hanya untuk, mengais rezeki. Doakan, saja. Aku, pergi. Semoga pulang, dompetku terisi.
(Armada – Pergi Pagi Pulang Pagi)

            Lagu ini adalah karya salah satu grup musik asal Sumatera, Armada, dengan judul yang menggelitik. Ya. Pergi pagi, pulang pagi. Sedikit curhat, awalnya saya memandang lagu ini sebelah mata. Armada memang kerap membuat lagu yang mendayu-dayu dan “cengeng”. Tak ayal, grup musik ini kadang dicibir sebagai grup musik “kampungan”. Seperti Kangen Band, ST 12, atau Hijau Daun pada beberapa tahun lalu. Apalagi suara vokalisnya, Rizal, sangat bernuansa melayu. Cengkoknya saya akui bagus. Tepat jika ia menyanyi lagu melayu. Namun jika menyanyi lagu pop, apalagi lagu cinta-cintaan, menjadi kemayu.
            Salah satu teman saya ada yang sering mendengarkan lagu ini. Favorit katanya. Menggambarkan kehidupan rakyat. Awalnya, saya hanya tersenyum. Namun, kemudian saya penasaran. Saya dengarkan sekali. Enak juga. Awalnya hanya menikmati lagunya, sekedar mendengarkan. Namun, di suatu malam saya menyendiri hanya ditemani secangkir kopi. Saya dengarkan lagu ini terus menerus. Saya teliti seluruh liriknya. Saya hayati dan resapi. Ternyata, saya acungi jempol untuk Armada untuk karyanya kali ini. Tidak seperti karyanya yang berjudul “Buka Hatimu”, atau “Mau Dibawa Kemana”. Menggambarkan lelaki yang lemah di hadapan wanita.
            Liriknya sederhana, sangat sederhana. Menceritakan sosok suami yang pergi bekerja dari pagi hingga pulang pagi lagi untuk “mengais” rezeki. Demi istri dan keluarga tercinta. Lagu ini menarik untuk dikupas habis mulai dari musik, lirik lagu, hingga cerita dalam video clip-nya.

Musik
            Seperti lagu-lagu Armada lainnya, musik yang diusung selalu bernuansa melayu. Walau beraliran / genre pop. Namun bisa dibilang, musiknya sangat melayu. Lebih tepat pop-melayu. Khusus di lagu “Pergi Pagi Pulang Pagi”, gebukan drum dan temponya sangat kental bernuansa melayu. Suara khas dari Rizal, Vokalis Armada, mendayu-dayu. Cengkoknya pas. Lagu ini juga enak didengar dengan berbagai versi. Seperti biasa, para penyanyi dangdut kerap meng-cover lagu-lagu pop. Khususnya pop-melayu. Sebab memang ada kedekatan nuansa dalam kedua aliran musik tersebut. Penyanyi Campursari kawakan, Didi Kempot, juga pernah membawakan lagu ini dengan nuansa Jawa. Campursari. Liriknya pun diubah ke dalam bahasa Jawa. Enak juga mendengarnya. Saya menontonnya di Youtube, pada acara “Bukan Empat Mata”. Saya bukan kritikus musik. Hanya penikmat biasa. Demikian yang bisa saya bahas mengenai musik dalam lagu tersebut.
Lirik Lagu
            Lagu ini diawali dengan pernyataan kesungguhan untuk yang tercinta. Apapun rintangannya, demi yang dicinta, akan ditempuh. Panas hujan begini, makanan sehari-hari, adalah penekanan untuk meyakinkan yang tercinta. Lirik tersebut menurut saya yang paling sering dialami para Marhaen. Ya. para Marhaen terbiasa dengan suasana seperti ini. Kita bisa lihat misalnya para gelandangan di pinggir jalan, tukang parkir, dan lain-lain. Para petani rela berkotor-kotor, nelayan rela bertaruh nyawa di tengah lautan ganas, semua demi yang dicintainya. Lirik yang digunakan dalam lagu ini sangat sederhana. Bahasanya mudah dipahami masyarakat. Entah disadari atau tidak, bahkan oleh Armada sendiri, lirik lagu ini bisa dianggap sebagai kritik sosial.
Cerita dalam Video Clip
            Video Clip dalam lagu ini menggambarkan tentang sosok seorang ayah yang berjuang demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ada tukang sapu jalanan, supir taksi, dan juga Satpam (satuan pengamanan). Ditampilkan juga scene supir taksi yang sedang menghitung uang, tiba-tiba uangnya terbang dan susah payah untuk dikejar. Terlihat betapa berharganya uang Rp. 50.000,- bagi kaum Marhaen. Tidak bagi para Borjuis dan para Kapitalis yang senang menghamburkan uang, yang memiliki modal melimpah dan terus berputar. Rp. 50.000,- bagi mereka kecil. Namun bagi kaum Marhaen, uang bernilai demikian adalah besar.
Nampak juga seorang anak kecil yang membaca poster konser Armada, seakan berharap ingin menonton bersama ayah dan ibunya, juga terdapat istri yang menunggu di rumah dengan wajah resah. Menariknya, Armada seolah memberikan kesempatan kepada tokoh istri dalam lagu tersebut untuk berbicara. Aku rela, ditinggal. Pagi, pulang pagi. Karena kamu mencari rezeki. Itu adalah pernyataan kerelaan hati seorang istri yang bersabar menunggu suaminya pulang.
            Dalam video tersebut juga ditampilkan Armada tampil menghibur masyarakat dengan lagu ini. Seperti “Band Kampung” lainnya, musik Armada yang easy listening ini memang mudah diterima masyarakat Indonesia. dalam video tersebut terlihat masyarakat berkumpul dan bergoyang bersama. Ya. seperti itulah rakyat kecil Indonesia, kaum Marhaen. Hiburan seperti penampilan “Band Kampung” atau “Dangdutan” seolah menjadi pelipur lara sejenak. Bak obat bius. Mematikan penderitaan sementara. Marhaen bisa bergoyang bersama, bisa terhibur seolah tiada masalah. Padahal mereka dilanda kesengsaraan akibat cengkeraman Kapitalisme & Imperliasme. Di akhir video tersebut digambarkan betapa bahagianya saat suami pulang menemui istrinya setelah lelah bekerja dan membawa uang.
Realita Marhaen Dalam Cengkeraman Kapitalisme & Imperialisme
Lagu ini adalah representasi kehidupan kaum Marhaen. Mereka hidup dalam cengkeraman Kapitalisme & Imperialisme, baik nasional maupun global (internasional). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, mungkin Armada tidak sadar bahwa karya mereka ini adalah kritik sosial. Lagu ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang Money Oriented. Kebahagiaan diukur dengan uang. Kita pasti menolak hal ini. Biasanya kita menganggap kebahagiaan adalah lebih dari sekedar uang. Uang tidak bisa membeli segalanya.
Memang benar. Namun yang digambarkan dalam lagu ini adalah realita. Memang bahagia tidak bisa diukur dengan uang. Namun kita kini hidup di alam Kapitalisme & Imperialisme. Kedua sistem tersebut merampas makna dari kebahagiaan. Di zaman seperti ini, jika tidak memiliki uang bagaimana bisa menghidupi kebutuhan sehari-hari diri sendiri dan keluarga? Pasal 33 dalam UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, tidak bisa diwujudkan oleh para pemimpin negeri ini. Sebab kepentingan pribadi diutamakan. Banyak sekali ekonom-ekonom Indonesia yang Neo-Lib. Antek-antek Neo-Liberal, yang menginginkan Kapitalisme & Imperialisme langgeng di Indonesia dengan dalih “kebebasan berusaha”.
Demi uang, apapun dilakukan. Ya. mencari rezeki halal memang kerap menyakitkan hati. Harus jujur dan tidak menipu serta tidak menindas orang lain kini adalah sebuah pengorbanan. Berbeda dengan para maling uang rakyat (baca: koruptor). Memanfaatkan kekuasaannya untuk memakmurkan keluarganya, namun mencuri uang rakyat. Begitu juga para bandar judi, para pebisnis narkoba, para mucikari, para pelacur, dan sebagainya yang menggadaikan imannya demi uang. Lagi-lagi soal perut. Mereka mendapat rezeki yang melimpah, namun haram. Dalam alam “kebebasan” seperti saat ini, halal-haram tak lagi perkara. Tuhan seakan dibius untuk tidur nyenyak agar tidak tahu apa yang mereka perbuat.
Masa yang disebut Reformasi kini menurut saya hanyalah perpindahan dari Kapitalisme Terpusat (Orde Baru dan Kroninya), kepada para Kapitalis & Imperialis global. Demi alasan “Demokratisasi”, kita justru kebablasan. Suka atau tidak, itulah yang terjadi. Prof. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 1945 Yogyakarta, pernah bercerita dalam diskusi publik Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Yogyakarta di kampus tersebut. ia berkata bahwa ia kelabakan mempertahanakan Pasal 33 UUD 1945 yang berada dalam ancaman untuk diubah agar sesuai selera para ekonom Neo-Lib dan para Kapitalis.
Kembali ke topik utama, lagu ini menggambarkan ketidakberdayaan kaum Marhaen menghadapi kerasnya kehidupan. Terutama di kota-kota besar yang metro bahkan megapolitan. Di jalan-jalan kota-kota besar, terdapat kesenjangan sosial yang besar. Di tengah jalan, terdapat banyak mobil bergelimpangan. Sementara para Marhaen di pinggir jalan. Ada yang mengamen, mengemis, dan berjualan ala kadarnya speerti para pedagang asongan. Kapitalisme & Imperialisme menciptakan kesadaran palsu. Orang dihipnotis dengan kedua sistem tersebut. Membuat kebanyakan orang seperti biasa saja dengan kondisi demikian. Menganggap bahwa kesenjangan sosial tersebut seakan lumrah terjadi di kota-kota besar.
Tidak Hanya Suami
            Walau lagu ini menggambarkan perjuangan seorang suami dan bapak terhadap keluarganya, namun jika dianalisa dari realita masyakarat sejatinya tidak hanya itu. Lagu ini juga bisa direpresentasikan lintas usia. Contohnya, para pengamen cilik jalanan. Juga tidak hanya suami. Anak-anak dan pemuda pun demikian. Contohnya, para pemulung. Mereka semua rela melakukan apapun demi menyambung hidup. Ya. hidup mereka tidak lebih dari sekedar bisa bertahan hidup dan mengenyangkan perut. Walau hanya sekali sehari, atau bahkan tak tentu. Hanya untuk, mengais rezeki. Pun, bagi para istri dan ibu. Banyak dari mereka yang juga bekerja membantu suaminya. Contohnya, pembantu rumah tangga. Baik di dalam maupun luar negeri (Tenaga Kerja Wanita / TKW).
            Khusus TKW, banyak kasus penyiksaan yang mereka alami di luar negeri. Semua itu mereka hadapi demi keluarganya, khususnya demi anak-anaknya. Para TKW pun juga jarang pulang, bahkan tidak tahu kapan bisa pulang untuk menemui anaknya walau hanya sejenak. lebih dari “pergi pagi pulang pagi”. Mereka pergi dan tak tahu kapan kembali. Contoh berikutnya juga para pelacur (pekerja seks komersial). Hal ini memang kontroversial. Sebab banyak dari para pelacur yang sebenarnya mampu, tidak dalam kesulitan ekonomi. Namun demi harta dan gengsi, mereka gadaikan kehormatan mereka. Demi gaya hidup mewah. Walau banyak juga yang terpaksa menjadi pelacur karena kesulitan ekonomi.
Orang Kantoran Pun “Kena”
            Ternyata jika dianalisa lagi, golongan menengah pun juga terkena singgung oleh lagu ini. Ya. para pekerja. Orang-orang “kantoran” juga. Mereka banyak yang lembur demi memenuhi kebutuhan perusahaan. Para pekerja memiliki waktu yang terbatas bersama keluarganya, demi lembur hanya untuk mengembangkan perusahaan tempat mereka bekerja.
Hanya Untuk Mengais Rezeki
            Ini lirik yang paling mengena menurut saya. Sebab demi uang, manusia rela banting tulang. Bahkan jika sudah sukses, terkadang dimabukkepayang. Ya. lupa daratan. Demi “mengais rezeki” pula, manusia rela saling mencaci, memfitnah, mencuri, menyakiti hati, hingga membunuh. Benar kata Bung Karno, bahwa Kapitalisme & Imperialisme bukan bangsa. Bukan hanya “Londo”, bukan “Bule”. Namun Kapitalisme & Imperialisme adalah sistem yang menyangkut soal perut, soal perebutan rezeki.
            Penutup, saya hanya ingin mengingatkan bahwa rezeki bukan hanya uang. Kesejahteraan tidak bisa diukur hanya dengan banyaknya uang. Kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan apapun. Namun yang harus diingat, di alam cengkeraman Kapitalisme & Imperialisme global ini, uang bisa menguasai segalanya.

Hanya ada satu kata, LAWAN!


MERDEKA!!!

Tuesday, June 23, 2015

CINTA DALAM BELENGGU FEODALISME

Oleh: 
Bung Aslam (Wakil Komisaris Bidang Kaderisasi)

               Jean, remaja 15 tahun yang baru saja kehilangan orangtuanya meninggal dengan jarak berdekatan. Sebulan setelah ibunya meninggal, ayahnya menyusul ke pangkuan Tuhan. “Oh Bapa di Surga, Oh Tuhan Yesus, Oh Roh Kudus, Eli.. Eli.. Lama Sabaktani (Tuhanku, mengapa kau tinggalkan aku?)”. Gumam Jean tatkala mengetahui ayahnya meninggal.
            Sejak itu, tekad kuat untuk bertahan hidup laksana darah yang mengalir dalam tubuh Jean. Tekad kuat itu tak terpisahkan dari jiwanya. Jiwa seorang remaja sebatang kara yang pada akhirnya, mencambuknya tatkala ia lemah, tatkala ia berputus asa, tatkala ia tiada memiliki semangat menjalani hidup. Tekad kuat itu laksana bayangan kedua orangtuanya, yang selalu menghantui Jean kemanapun ia melangkah.
            Jean bekerja pada Tuan Jacob, seorang konglomerat yang sangat terkenal di kotanya. Tuan Jacob berusia 70 tahun. Tanah dan bisnisnya dimana-mana. Keluarganya yang menjalankan dan meneruskan usahanya. Jean dengan rela hati membanting tulang menjadi petani di sana. Puji Tuhan, Jean tak sendiri. Ia bekerja bersama puluhan orang lainnya yang terpaksa menjadi petani demi menghidupi kebutuhan keluarganya. Siang hari, para petani diizinkan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya kembali.
“Siapa namamu, anak manis?” tanya Olivier, seorang petani berusia 40 tahun yang telah dua puluh tahun mengabdi untuk keluarga Tuan Jacob.
“Jean. Jean Alexandre. Bapak?”
“Saya Olivier. Olivier Boumsong. Kamu panggil saya Pak Olive saja”.
“Iya, Pak Olive. Sudah lama bapak bekerja di sini?”
“Sudah dua puluh tahun. Dari saya remaja sepertimu sampai berkeluarga dan memiliki tiga orang anak, saya mengabdi pada keluarga Tuan Jacob. Semua ini demi bertahan hidup sebab saya hanyalah orang miskin. Kamu baru bekerja di sini ya, Nak? Berapa usiamu saat ini?”
“Lama sekali, Pak. Iya,ini hari pertama saya kerja di sini. Beberapa waktu yang lalu kedua orangtua saya meninggal dunia. Saya anak tunggal. Saya menjadi sebatang kara. Karena itu, saya mencari pekerjaan untuk bertahan hidup. Sama seperti bapak, saya orang miskin. Saya baru berusia 15 tahun”
“Wah….”.
“Waktu istirahat sudah habis. Cepat lanjutkan pekerjaan kalian! Cepat!”. Belum sempat Pak Olive melanjutkan pembicaraannya, seorang pegawai kelas atas di keluarga Tuan Jacob laksana mandor berteriak lantang kepada seluruh petani. Orang itu bernama Pierre, asisten keluarga Tuan Jacob.

***

            Sepuluh tahun Jean bekerja pada keluarga Tuan Jacob, menggarap tanahnya. Bersama puluhan petani lainnya, mereka menyulap tanah menjadi hasil bumi yang menggiurkan. Namun, mereka hanya bisa memandangi elok rupa dari hasil bumi tersebut. Sebab keluarga Tuan Jacoblah yang berhak menerima hasil bumi dari tanah itu. Para petani hanya diberikan upah. Mereka boleh menggarap tanah mereka sendiri jika punya. Namun, sebagai konsekuensinya sebagian hasil bumi dari tanah mereka sendiri dikenakan pajak oleh keluarga Tuan Jacob.
            Kini Jean berusia 25 tahun. Jean telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang amat tampan. Di usia yang cukup matang tersebut, ia belum menikah. Jean belum menemukan wanita yang tepat, yang mau hidup bersama dalam nuansa kesederhanaan.
            Tuan Jacob pun semakin senja. Usianya kini 80 tahun. Ia memiliki seorang cucu yang sangat cantik jelita, bernama Felicia. Putri dari Mathieu, putra sulung Tuan Jacob, pewaris tahta utama dari seluruh usaha keluarga Tuan Jacob. Felicia seusia dengan Jean, 25 tahun. Tatkala Jean pertama kali menjadi petani, Felicia sedang menghabiskan masa mudanya di luar kota. Di tempat pamannya yang bernama Sebastian. Mathieu yang menitipkan di sana sejak Felicia berusia 10 tahun.
Kini lima belas tahun berselang. Felicia kembali ke kampung halamannya. Felicia sangat cantik, anggun, dan berbudi pekerti luhur. Jauh dari watak keluarganya yang tamak, dibanjiri keangkuhan yang menjulang ke angkasa.
            Suatu saat, Felicia berkeliling pekarangan rumah, suatu aktivitas yang tiap hari ia lakukan. Ia menyaksikan dengan mata telanjang bahwa para petani tengah bertumpah peluh dan dahaga menggarap tanah keluarganya. Rasa tak tega menyelimuti hatinya. Sesekali ia menyapa para petani dan menebarkan semangat pada mereka. Dan dengan nekatnya ia sering membawakan minuman untuk para petani. Durhaka pada Orangtua versi keluarga Tuan Jacob. Siang itu, tiba waktu untuk istirahat bagi para petani. Jean duduk seorang diri. Ia meluruskan kakinya yang pegal dan berkali-kali mengelap peluh dengan kausnya yang kusam.
“Permisi, selamat siang. Tetap semangat ya. Ini ku bawakan minuman untukmu. Bolehkah aku duduk di sampingmu?”. Felicia berkata pada Jean. Rupanya Felicia tiap hari memantau Jean. Ia sering memperhatikannya dari jauh, namun tak berani menyapa. Felicia terpesona dengan ketampanan Jean. Berhari-hari sampai akhirnya ia memberanikan diri mendatangi Jean.
“Silahkan. Terimakasih sekali. Kamu siapa? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya”. Jawab Jean sekaligus bertanya dengan muka penasaran yang tak terbendung.
“Aku Felicia. Felicia Marie. Panggil saja aku Fely. Kamu?”
“Aku Jean. Jean Alexandre. Apa kamu bekerja di sini juga? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya. Memang aku tak mengenal seluruh petani di sini. Terlalu sibuk mengurusi tanah Tuan Jacob yang luas ini sampai aku tak sempat bersosialisasi dengan sesama petani”
“Hehehe. Luar biasa dirimu, Jean. Perkenalkan, aku cucu Tuan Jacob”
“Apa??? Oh, Tuhan. Aku tak boleh berada di sini. Aku harus pergi. Aku tak boleh bercengkerama denganmu. Nanti aku bisa dimarahi Pak Pierre. Aku bisa dilaporkan pada ayah dan kakekmu. Aku tak pantas berada di sampingmu. Aku hanya petani yang bekerja untuk keluargamu”
“Tenang saja. Tak usah dirimu berpikir dan berkata seperti itu. Aku memang baru beberapa hari ini di sini. Aku baru pulang. 15 tahun aku tinggal bersama pamanku, kini aku pulang ke rumahku. Aku tak bersifat seperti keluargaku. Aku sangat miris melihat kalian, para petani. Tiap hari aku selalu berkeliling melihat kalian. Sebenarnya itu hanya alasanku untuk bisa menemani kalian. Sekedar menebar senyum dan semangat serta memberi minum. Jangan khawatir ya, Jean”. Jawab Felicia dengan senyum manisnya yang semakin menarik kecantikannya yang tiada tara.
“Tapi…..”
“Tak usah tapi-tapi. Ini, minumlah!”
“Aku takut….”
“Takut karena aku atau takut mati kehausan? Sudah, minumlah”.
“Terimakasih, Tuan Fely”
“Tak usah kau panggil diriku tuan. Sudah ku bilang, panggil saja aku Fely!”
“Baik. Terimakasih, Fely”. Jawab Jean menggigil ketakutan sambil menenggak minuman yang diberikan Felicia.
“Jean, berapa usiamu? Ku lihat dirimu masih begitu muda. Dimana dirimu tinggal?”
“25 tahun, kamu? Aku tinggal di kampung Strelliaue. Rumahku berwarna merah, gubuk terkecil di sana”
“Wah.. sama. Aku pun 25 tahun. Oh, kamu sudah menikah?”
“Ah, kamu ini menghina diriku saja. Mana ada yang mau dengan pemuda sepertiku ini? Aku hanya seorang petani miskin. Kau kan tahu, banyak wanita yang diperistri oleh para tuan tanah. Pola pikir wanita zaman sekarang telah berubah. Jikalau ingin hidupnya membaik, dipersunting tuan tanah adalah pilihan yang tak bisa ditolak”
“Kau kan tampan, berbudi pekerti tinggi lagi. Pak Olive sudah menceritakan padaku tentang dirimu. Hehehe”
            Tiba-tiba Pak Pierre datang dan berteriak lantang pada mereka berdua. Rupanya ia telah memantau gerak-gerik Felicia beberapa hari ini. Semenjak Felicia pulang, Pak Pierre ditugasi ayahnya Felicia untuk memantau putrinya yang Mahajelita itu.
“Felicia! Sedang apa kau di sini? Wah.. Kurang ajar kau, Jean. Petani berani-beraninya mengganggu putri tuan tanah. Lancang kau!” Seketika Pak Pierre menampar muka Jean hingga warna merah terlukis di pipi Jean.
“Om Pierre! Anda yang kurang ajar! Jean tengah beristirahat seorang diri di sini. Aku yang mendatanginya. Ku berikan minuman padanya karena ia kehausan. Dan aku yang membuka obrolan dengannya”
“Fely, saya hanya diberi tugas oleh ayahmu untuk memantaumu. Gerak-gerikmu dinilai ayahmu mencurigakan. Maka saya disuruh untuk mengawasimu. Sekarang pulanglah!”
Sambil menggenggam tangan Felicia sekuat tenaga, Pak Pierre menarik paksa dan membawa Felicia pulang ke rumah.
“Cepat kembali bekerja! Waktu isitirahat telah usai. Jangan ada yang berani kurang ajar atau saya pecat!” teriak Pak Pierre hingga terdengar ke seluruh telinga para petani.
Jean hanya terdiam dan kembali bekerja.
            Dua bulan lamanya Felicia dikurung di rumah. Ia dalam pengawasan ketat. Terpenjara dalam rumahnya sendiri. “Jikalau ku tahu akan seperti ini lebih baik tak pulang saja. Lebih baik ku tetap tinggal di rumah paman”. Gumam Felicia. Setelah dua bulan, ia ‘dibebaskan’. Ayah dan ibunya iba melihat putri cantiknya yang tak kuasa menahan kesedihan selama dua bulan lamanya. Akhirnya Felicia diberi izin untuk bebas berkeliaran ke luar rumah tanpa pengawasan Pak Pierre.
            Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Felicia. Sudah dua bulan lamanya ia merindukan Jean. Ternyata, Tuhan memang Mahaindah. Dengan keindahan-Nya, Jean memiliki perasaan yang sama dengan Felicia. Keduanya saling jatuh cinta. Namun Jean sangat tak kuasa. Bahkan untuk sekedar memandangi kecantikan wajah Felicia yang tak kuasa dicegah, Jean tak mampu. Jean sadar, ia hanya petani. Sedangkan Felicia, putri tuan tanah. Putri majikannya.
Dengan rindu yang tak terbendung, Felicia nekat mendatangi rumah berwarna merah laksana gubuk itu, di kampung Strelliaue. Ya, rumah Jean. Felicia pergi ke sana di waktu yang tepat, tatkala senja baru saja disantap oleh keperkasaan malam. Tatkala Jean telah pulang ke rumahnya. Setelah bekerja seharian, Jean mandi dan makan malam di dalam gubuknya. Seorang diri, suatu kondisi yang sudah biasa menyelimutinya.
“Permisi. Selamat malam, Jean”
(Jean membukakan pintu)
“Astaga, untuk apa kau kemari? Jangan membuatku takut. Aku tak punya pekerjaan lagi. Apa kau tega jikalau aku dipecat?”
“Tak perlu cemas, Jean. Aku sudah bebas. Aku dikurung dua bulan di rumahku sendiri. Ayah dan ibu akhirnya terbuka mata hatinya. Mereka membebaskanku serta menjamin tak ada yang mengawasiku lagi. Bolehkah aku masuk?”
“Ya, silahkan”
Di dalam rumah Jean, mereka berbincang-bincang sampai tengah malam datang menjelang. Bak suatu negeri yang dianugerahkan hujan setelah sekian lama tak turun hujan. Mereka saling merindu. Perbincangan hangat itu melepaskan jeratan kerinduan mereka. Namun Jean tetap tahu diri, sadar bahwa ia tak pantas untuk Felicia.
“Felicia, sudah saatnya kau pulang. Sudah terlalu malam. Nanti orangtuamu khawatir. Nanti aku yang dicurigai karena kepulangan larutmu ini”
“Iya, aku pulang ya. Terimakasih sudah menemaniku. Sebelumnya, aku ingin berpesan padamu. Genggam eratlah terus pesan ini sampai kau mati. Jean, jikalau suatu saat nanti Tuhan memberimu izin untuk terbebas dari belenggu kemiskinan, jikalau suatu saat nanti kau menjadi kaya raya, jangan biarkan keangkuhan tumbuh dan menetap dalam hatimu. Tetaplah rendah hati. Jikalau suatu saat nanti nasibmu terbalik, kau yang menjadi tuan tanah, maka jangan kau siksa para petani”. Ujar Felicia, kemudian ia pulang.

***

            Suatu hari, Tuan Willard, rekan Tuan Jacob sesama konglomerat tengah sakit keras. Berbagai tabib telah didatangkan namun tak berhasil menyembuhkan. Tuan Willard pun belum putus asa. Ia percaya kekuatan magis bisa menyembuhkan. Kekuatan magis yang diinginkan Tuan Willard bukan mantra, bukan jin, dan sebagainya. Tetapi puisi cinta romantis yang dapat meluluhkan hatinya. Ia percaya demikian sebab istirnya yang sudah meninggal, tatkala masih hidup adalah seorang penyair dan pembuat puisi cinta romantis yang cukup terkenal di kotanya. Biasanya setiap sebelum tidur, Tuan Willard sering dibacakan puisi cinta romantis oleh mendiang istrinya. Maka Tuan Willard mengadakan sayembara, barangsiapa yang mampu mengobati sakitnya dengan puisi cinta romantis untuknya, maka akan diberikan seperempat tanahnya dan berhak menjadi tuan tanah di sana. Tanah Tuan Willard sangat luas, bahkan lebih luas dari tanah Tuan Jacob.
            Ratusan orang banyak yang mengikuti sayembara itu, namun semuanya gagal. Sementara sakitnya Tuan Willard semakin parah. Kesempatan untuk menjadi kaya raya ini tak disia-siakan Jean. Ia sejak kecil memang hobi menulis puisi. Tulisan-tulisannya tersimpan rapi di gubuk merahnya. Ia hanya menjadikannya sebagai koleksi pribadi. Karena puisi adalah penghibur hati tatkala ia tengah kehilangan gairah kehidupan. Jean pun menulis berbait-bait puisi cinta romantis. Setelah jadi, ia mendatangi keluarga Tuan Willard untuk menyerahkan puisinya.
            Dalam kondisi sakit yang parah, Tuan Willard tetap yakin bisa sembuh dengan puisi cinta romantis. Ia tetap berusaha membaca seluruh puisi yang dikirimkan kepadanya. Tatkala membaca puisi karya Jean, ia bergumam, “Aduhai, betapa indahnya puisi ini. Mengingatkanku pada istriku tercinta”. Berkali-kali ia baca puisi tersebut, semakin tersenyumlah ia, semakin rianglah hatinya, semakin bersemangatlah jiwanya, semakin tak terasa sakitnya. Dan akhirnya, sembuhlah ia. “Ini dia pemenang sayembara yang ku janjikan. Umumkanlah bahwa ia pemenangnya, dan berhak menerima seperempat tanahku”. Perintah Tuan Willard pada keluarganya.
            Sayembara pun diumumkan. Jean tak kuasa membendung derasnya rasa bahagia dalam hatinya. Nasib Jean berubah total. Ia menjadi tuan tanah. Ia menjadi konglomerat dadakan. Ia pun berhenti sebagai petani di keluarga Tuan Jacob. Setelah berkemas dan meninggalkan Strelliaue, ia berpamitan pada keluarga Tuan Jacob dan seluruh petani yang bekerja di sana. Termasuk Pak Olivier, yang kini telah berusia 50  tahun. Lalu ia pergi menuju Volxemau, tempat dimana Tuan Willard tinggal. Keluarga Tuan Jacob awalnya tak kuasa menahan ketidakpercayaannya, bahwa Jean, yang telah 10 tahun mengabdi pada keluarga Tuan Jacob kini setara dengan mereka. Tuan Jacob beserta seluruh anggota keluarganya meminta maaf atas perlakuan terhadap Jean selama mengabdi pada mereka. Pak Pierre pun tersipu malu, dirinya teringat pernah menampar Jean. Namun dengan budi pekertinya yang tinggi, Jean memaafkan segala perlakuan keluarga Tuan Jacob, termasuk Pak Pierre. Ia pun berpamitan pada Felicia dengan wajah sumringah. Felicia bahagia bercampur takut. Ia takut sifat Jean akan berubah menjadi rakus dan angkuh.
            Jean pun menjadi tuan tanah yang baru. Ia berhasil merekrut banyak petani yang terpesona olehnya. Cerita tentangnya menyebar ke penjuru kota. Ia dikenal bak pangeran dalam dongeng yang mampu membangunkan seorang putri yang tertidur lama sekali dengan kecupannya. Ia pun teringat dengan pesan yang disampaikan Felicia. Tetaplah rendah hati. Jean laksanakan itu. Ia tetap rendah hati. Bahkan para petani yang bekerja di sana menjadi sejahtera. Mereka diberikan modal untuk menggarap tanah mereka sendiri jika punya, tanpa dipungut pajak oleh Jean.
            Dengan status sosialnya yang telah jauh meningkat, Jean memberanikan diri untuk mempersunting Felicia. Ia mendatangi rumah kediaman keluarga Tuan Jacob. Alangkah senangnya hati Jean, ia diterima baik di keluarga itu dan lamarannya pun diterima. Wajar memang, dengan keangkuhan mereka, keluarga Tuan Jacob bisa menerima. Lain halnya jikalau Jean melamar Felicia dalam keadaan sebagai petani. Tentu penolakan, cacian, bahkan pemecatan tak akan ragu dilakukan keluarga Tuan Jacob. Setelah mendapat persetujuan keluarga, Jean pun berbincang dengan Felicia.
“Fely, maukah dirimu menjadi istriku? Menjadi ibu dari anak-anakku kelak. menjadi permaisuriku. Aku mencintaimu”
“Kau masih ingat pesanku, Jean?”
“Masih dan sedang ku lakukan semua pesan yang kau sampaikan di rumahku waktu itu”
“Baik, aku menerima cintamu. Aku mau menjadi permaisurimu. Aku rela hati menjadi Nyonya Jean Alexandre. Karena kau tahu? Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu”
“Aku juga mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu, Felicia. Jikalau karena eloknya parasmu, maka bukan itulah alasannya. Tetapi sapaanmu, tawaran airminum darimu, dan obrolan pertama kita, bahkan dengan nekatnya kau datangi rumahku…. Itulah alasannya. Ya, Felicia. Aku sangat mencintai kesederhanaanmu”
            Mereka pun menikah. Sungguh bahagia bukan kepalang bagi mereka berdua. Jean luar biasa. Tekad kuat, kerja keras, dan semangat bertahan hidup menempanya menjadi seorang pemuda yang kuat secara jiwa dan raga. Jean tak menyangka, dirinya akan sangat beruntung di masa depan setelah di masa lalu ia ditinggal kedua orangtuanya di usia belia, lalu sepuluh tahun berikutnya menjadi petani miskin. Puisinya mengantarkan Jean menuju singgasana hati Felicia yang diikat secara sah dalam pernikahan.
Ya. Jean dan Felicia adalah korban.

Cinta dalam belenggu Feodalisme!

Tuesday, June 16, 2015

MATAHARI DI UJUNG TANAH ANARKI

Terbit laksana senja di pagi hari
Mungkinkah?
Mungkin saja,senja di pagi hari
Ketika yang belum saatnya tiba tibalah sudah
Tak ada beda baik dan jahat
di tanah anarki
Ajakan pagi dari sebuah sore kelam
Di tanah anarki
Dimana penindasan dihalalkan
Kemunafikan dijunjung tinggi
Keberagaman dipandang rendah
Dan kejujuran tiada berharga
Sebenarnya ada hal yang paling gila di dunia ini
Kebohongan terhadap diri sendiri
Terlalu banyak jawaban kosong
Yang menenggelamkan sejarah
Sejarah peradaban di tanah anarki
Ya di tanah anarki
Lalu,,,
Seperti apa ini akan dilanjutkan
Ketika kebengisan menjadi modal utama
Dalam menentukan nasib berlaksa-laksa
Tergeletak menghampa di pinggiran asa
Tidak ada kejelasan dalam berpihak
Tiada lagi dia punya ruh kebaikan
Di tanah anarki....
Ketika seremoni dikedepankan daripada esensi
Ketika eksekusi dipentingkan daripada kemiskinan
Ketika persepsi ditandingkan dengan fakta
Di tanah anarki

Tiada perbedaan