Tuesday, August 22, 2017

ASMARA HADI & PERGERAKAN RAKYAT AWAL 1930-AN



Asmara Hadi (Kelahiran Bengkulu, 1914) merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan, dan salah satu tokoh pemuda di zamannya (periode 1930-1940an), aktivis pergerakan rakyat yang digembleng dan didik langsung oleh Soekarno, juga sebagai publisis/jurnalis/penulis dan sastrawan hebat (Redaktur "Fikiran Rakjat" -suratkabar yang dipimpin Soekarno: 1932-1934, Pimpinan Redaksi "Toedjoean Rakjat" & "Pelopor" serta Redaktur Majalah Sastra "Poedjangga Baroe": 1937-1941. Pasca Kemerdekaan, mendirikan kembali "Pikiran Rakyat", dan menjadi redaktur di banyak suratkabar). 

Ia juga merupakan politisi ulung dengan jabatan negara yang tertinggi sebagai Wakil Ketua DPR-GR pada 1965, juga pendiri dan Ketua Umum Partai Indonesia (PARTINDO) 1958-1965 (didirikan kembali setelah dahulu dibekukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda). Seorang murid  dan sahabat "Bung Karno" sejati, bahkan menjadi menantunya. Asmara Hadi menikahi putri angkat Soekarno dari Inggit Garnasih: Ratna Djoeami.

 Perhatian terhadap dunia pergerakan rakyat salah satu hal yang diutamakan oleh Asmara Hadi sehingga menjadi penting dalam pemikirannya. Pada masa kolonial, tepatnya awal 1930-an krisis perekonomian dunia (krisis kapitalisme) atau yang dikenal dengan nama malaise, sangat berpengaruh di banyak wilayah dunia termasuk di Hindia-Belanda. Asmara Hadi pernah mengungkapkan hal tersebut ketika membacakan pidato Kongres III Partindo 1961:

Gelombang krisis kapitalisme tahun 1930-an (malaise) menimbultenggelamkan kaum marhaen ke dalam lautan kesengsaraan jang sangat pedih. Beratus2 ribu orang dilepas dari pekerdjaan, menganggur tak punja penghasilan. Tiap hari, koran memuat berita2 tentang kelaparan, tentang orang mendjual anaknja, karena tak sanggup menghidupinja lagi, tentang orang jang mentjuri supaja dimasukkan dalam pendjara[1].

Menurut Asmara Hadi, malaise memengaruhi pergerakan rakyat pada masa itu. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang terkena dampak krisis kapitalisme tersebut menjadi reaksioner terhadap masyarakat Hindia-Belanda. Pergerakan rakyat (pergerakan nasional) saat itu semakin kuat. Banyak partai politik dan organisasi pergerakan telah berdiri dan semakin memiliki banyak pengaruh dan massa. Ide-ide kemerdekaan pada periode 1930-an telah meluas ke penjuru Hindia-Belanda.
Asmara Hadi menganalogikannya seperti kapal di tengah lautan menuju pantai tempat berlindung. Kapal tersebut disebut kapal perjuangan (pergerakan rakyat), sedang lautannya ialah penjajahan dan penindasan (kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme). Di tengah pelayaran kapal tersebut, semakin terhempas gelombang rintangan, dengan gelombang baru pada saat itu yang sangat kuat (malaise). Kolonialisme Belanda, ditambah situasi malaise, melahirkan kesengsaraan yang semakin hebat[2].
Malaise menyebabkan perekonomian Belanda terkena dampaknya, dan hal tersebut menyebabkan pemerintah kolonial semakin sensitif. Pemerintah kolonial semakin membatasi ruang gerak para aktivis pergerakan nasional/ pergerakan rakyat. Setelah PKI dibubarkan akibat pemberontakan pada 1926, malaise merebak dan membuat krisis, pemerintah kolonial semakin banyak aktivis pergerakan nasional/ pergerakan rakyat yang ditangkap, dipenjara, hingga dibuang ke pelosok Hindia-Belanda.
Diantaranya ialah Soekarno dan para pimpinan PNI yang ditangkap pada akhir 1930. Pada perkembangannya Soekarno ditangkap lagi dan dibuang ke Ende pada 1934-1938 lalu ke Bengkulu (1938-1942). Demikian juga Hatta dan Syahrir yang ditangkap dan dibuang ke Banda lalu ke Boven Digul, dan banyak aktivis pergerakan lainnya yang juga dibuang ke pelosok negeri, terutama Hindia-Belanda bagian timur (kini Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua).

Asmara Hadi menuliskan hal tersebut pada salah satu artikelnya di Fikiran Ra’jat mengenai hal ini. Ia menyindir pemerintah kolonial yang hanya memberi janji mengenai kebebasan berkumpul dan bersidang serta berserikat. Tiap-tiap rapat rakyat bak telah menjadi tempat hujan stopan (pemberhentian), tiap-tiap perkataan yang berapi-api dan bersemangat telah dipandang sebagai sebuah penghasutan kepada rakyat, agar rakyat melakukan pemberontakan. Asmara Hadi memprotes keras tindakan pemerintah kolonial tersebut. Baginya, pergerakan rakyat hanyalah bertujuan satu: membangunkan rakyat yang masih tidur, menginsyafkan rakyat yang belum sadar, dan menggerakkan rakyat yang masih diam atas kondisi yang menimpa rakyat saat itu[3].

Jika saat ini sedang digulirkan isu oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat mengenai bahaya radikalisme, membuat terminologi radikalisme di zaman sekarang menjadi bergeser makna.  Di masa pergerakan nasional / pergerakan rakyat era kolonial, hingga sebelum masa kekuasaan Suharto, kata radikal bukanlah momok menakutkan seperti saat ini. Radikal berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya “secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip)”.

Jika membaca literatur-literatur mengenai politik dan ideologi pada masa tersebut, akan banyak dijumpai kata-kata radikal, radikalisme, revolusi, revolusioner, dan lain-lain yang memiliki makna serupa: kuat dengan prinsip dan menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik secara cepat dan menyeluruh. Namun berbeda sejak Suharto berkuasa hingga saat ini, kata radikal dan radikalisme tampak bergeser ke arah negatif. Bahkan kini, radikalisme sering kita jumpai di berbagai media massa (terutama sosial media) mengarah kepada kelompok Islam, atau juga biasanya disebut “radikalisme agama”.

Asmara Hadi adalah salah satu tokoh pergerakan yang gandrung akan kata radikal dan mendukung radikalisme, dengan pengertian atau makna di zamannya. Mengenai pergerakan rakyat, bagi Asmara Hadi haruslah bersifat radikal dan menjunjung radikalisme sebagai kekuatan utama membangun pergerakan rakyat yang revolusioner. Pergerakan rakyat haruslah mengubah statika menjadi dinamika, mengisi dada rakyat dengan radikalisme, menanamkan jiwa revolusioner di hati rakyat. Sehingga rakyat memiliki kemauan yang lebih keras daripada batu, sehingga kemauan tersebut dapat mengguncangkan seluruh dunia. Rakyat Indonesia sesungguhnya punya hati di tiap-tiap orangnya, pastilah menginginkan kemerdekaan. Wajar saja jika perkataan-perkataan pedas dan seluruh perjuangan rakyat tersebut tidak disukai oleh pihak-pihak yang tidak ingin Indonesia merdeka[4].

Awal 1930-an menjadi awal dari anti-klimaks pergerakan rakyat di Hindia-Belanda. Pemerintah kolonial semakin keras terhadap aktivis pergerakan dan organisasi atau partai politiknya, hingga dibekukan, dibubarkan, menangkap para aktivisnya, dan membuang para pimpinannya. Awal 1930-an sangat memengaruhi pergerakan kaum nasionalis saat itu yang direpresentasikan oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) hingga dibubarkan, lalu dilanjutkan oleh Partai Indonesia (Partindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Bahkan Partindo dan PNI Baru akhirnya dibekukan oleh pemerintah kolonial dan para pimpinannya dibuang ke timur Hindia-Belanda. Masa itu, menurut Asmara Hadi, pemerintah kolonial memutuskan bahwa barangsiapa di antara pegawai negeri mendukug atau bahkan menjadi anggota Partindo atau PNI Baru, maka pegawai tersebut dipecat dengan tidak hormat[5].

Asmara Hadi pun juga geram dengan kondisi tersebut. Ia menyerukan kepada seluruh pegawai negeri yang menjadi anggota Partindo atau PNI Baru bahwa pergerakan kemerdekaan tidak akan memaksa, jika kita siap menanggung beban penderitaan, kesengsaraan, kemelaratan, kesedihan, dan kelaparan. Serta memiliki iman yang teguh, hati yang tetap, dan lebih suka mati bersama kaum marhaen, daripada hidup senang sendiri. Ia menyerukan untuk berjuang terus hingga Indonesia merdeka atau hingga ajal menjemput.[6]

Namun, Asmara Hadi tidak memaksa, lanjut dalam seruannya itu. Silakan berpisah, silakan tidak ikut dalam pergerakan rakyat, jika memang tidak sanggup untuk melihat anak-anak kelaparan dan penuh penderitaan, jika masih butuh biaya dari jerih payah bekerja untuk pemerintah demi keluarga. Asmara Hadi tidak memaksa dan tidak menghakimi yang memilih keputusan demikian dengan teramat terpaksa. Karena Asmara Hadi juga seorang yang romantis, ia memahami, tidak tega melihat anak sendiri kelaparan dan penuh penderitaan. Asmara Hadi hanya menyampaikan salam perpisahannya itu:

Selamat berpisah! Selamat djalan!

Di Indonesia Merdeka, kita bertemoe. Kami jang tinggal, kami jang lebih soeka menderita kesengsaraan jang terpahit poen, daripada toendoek sekedjap mata poen, kami akan berdjoang teroes oentoek kemerdeka seloeroeh Indonesia, jang djoega berarti kemerdekaan kamoe.

Memang kemerdekaan Indonesia jang mendjadi tjita-tjita kami itoe, tidak sadja kemerdekaan ra’jat jang sekarang ini berdjoang mati-matian, tetapi djoega berarti kemerdekaan kaoem reactie Indonesia. Jang pada masa ini membantoe kaoem reactie sana[7], melemparkan rintangan keras pergerakan kemerdekaan rakjat, djoega akan merasakan merdeka nanti, djoega akan memetik hasilnja dan memakan boeahnja kemerdekaan[8].

Begitulah Asmara Hadi berkali-kali menyinggung pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan yang mendukungnya. Selain tulisan di artikel tersebut, banyak sekali artikel-artikel dengan nuansa demikian yang dibuat oleh Asmara Hadi. Kritik, sindiran, dan kecaman terhadap penjajahan (kapitalisme, kolonialisme, imperialisme) berkali-kali dilontarkan. Selain tulisan panjang seperti tulisan di Fikiran Ra’jat tersebut, juga dapat dilihat dalam karya-karya sastranya saat itu (seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelum ini).

Betapa Asmara Hadi menginginkan persatuan dalam pergerakan rakyat menuju kemerdekaan Indonesia, menghancurkan kapitalisme, lepas dari kolonialisme dan imperialisme, dan membangun sosialisme Indonesia. Secara bersama-sama, gotong royong, bersatu, membentuk kekuatan revolusioner untuk mewujudkan cita-cita tersebut.




[1] [1] Asmara Hadi, “Rantjangan Garis Ideologi Partai ‘PARTINDO’: Marhaenisme Adjaran Bung Karno”, Pidato Ketua Umum pada Kongres III PARTINDO: Jakarta, 26-31 Desember 1961, hlm. 3.
[2] Ipih, “Pergerakan Ra’jat Jang Radicaal Diharamkan Oleh Pemerintah”, Fikiran Ra’jat: Bandung, 9 Desember 1932, no.24, hlm. 5-8.
[3] Ipih, “Pergerakan Ra’jat Jang Radicaal Diharamkan Oleh Pemerintah”, hlm. 6.
[4] Ibid.,
[5] Ipih, Op.cit., hlm. 7.
[6] Ibid.,
[7] Belanda dan yang mendukungnya
[8] Op.cit., hlm. 7-8.

Wednesday, December 14, 2016

Berbagai Pemikiran untuk Kesatuan Indonesia

*tulisan dibuat sebagai materi Diskusi Publik Komisariat GMNI FIB UGM bersama Komisariat HMI Hukum UGM, Teknik UGM, dan KAMMI UGM pada Kamis, 15 Desember 2016 pukul 15.30 WIB di Balairung UGM.
Oleh:
Komisariat GMNI FIB UGM
**
Kesatuan & Persatuan Indonesia merupakan jargon utama yang digaungkan oleh para Pendiri Bangsa dan Negara Indonesia sejak masa Kolonial hingga awal Kemerdekaan Indonesia. Pada masa itu, makna Persatuan Indonesia sangat jelas. Tidak hanya 'bungkusannya' saja namun juga isinya. Kesatuan & Persatuan Indonesia dimaknai bukan hanya rasa Kebangsaan, namun juga sisi Kerakyatannya. Masa-masa itu, konsep Kebangsaan & Kerakyatan masih sangat jelas bahwa keduanya menjadi landasan kehidupan Bangsa Indonesia, atau yang kita kenal sebagai Pancasila.
Pancasila yang kami maksud adalah Pancasila yang sejati, Pancasila 1 Juni 1945 yang merupakan Pidato Bung Karno pada saat itu untuk merumuskan Dasar Negara & Falsafah Hidup Bangsa Indonesia. Walaupun redaksi atau kata-kata dalam Pancasila yang dicetuskan Bung Karno berbeda dengan susunan Pancasila yang disahkan hingga kini, namun esensi Pancasila yang kita kenal saat ini itulah sejatinya Pancasila 1 Juni 1945. Agar lebih memahami esensi itu. Mari kita kaji kembali Sejarah Bangsa Indonesia. Kita baca lagi Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945. Itulah rumusan Dasar Negara dan Falsafah Hidup Bangsa Indonesia.
Pancasila menurut Bung Karno dapat diperas menjadi Trisila yakni:
1. Sosio-Nasionalisme (singkatnya berarti Nasionalisme yang bertujuan menyelamatkan Kaum Marhaen, Rakyat Kecil Indonesia)
2. Sosio-Demokrasi
(singkatnya berarti Demokrasi yang bertujuan menyelamatkan Kaum Marhaen, juga untuk menerapkan Demokrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial demi mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia)

3. Ketuhanan yang Berkebudayaan (berarti Ketuhanan yang berbudaya, penuh toleransi antar umat beragama dan aliran kepercayaan, hidup damai dan sama-sama berjuang dengan semangat Spiritual untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia).
Ketiganya merupakan isi dari Marhaenisme, Ajaran Bung Karno mengenai Indonesia ini yang dapat dianggap bahwa Marhaenisme adalah Pancasila itu sendiri.
Trisila juga dapat diperas menjadi satu hal yang merupakan jiwanya Bangsa Indonesia, yakni Gotong Royong.
Pancasila yang demikian lah yang hidup di sanubarinya Rakyat Indonesia sejak awal Kemerdekaan Indonesia hingga akhirnya semua berubah setelah Orde Baru berkuasa.
Terjadi pemaknaan, penerapan, dan pemaksaan terhadap Pancasila yang dijadikan Sakral sebagai Ideologi Negara dengan jiwa dan nuansa Militeristik. Pancasila dijauhkan dari penggalinya, Bung Karno. Juga diceraikan paksa dari makna aslinya sebagai Dasar Negara sebagaimana penjelasan di atas.
Selama puluhan tahun kita dibodohi dan dibuat asing terhadap makna Pancasila yang sejati itu. Termasuk makna Persatuan Indonesia. Bagi kami, kini Persatuan Indonesia hanya sebagai Propaganda sekedar untuk melawan golongan yang dianggap Fundamentalis Agama semata. Seolah Nasionalisme digambarkan sebagai Sekulerisme. Persatuan Indonesia hanya sebatas dimaknai 'bungkusannya' saja, tidak isinya. Persatuan Indonesia hanya bermakna NKRI Harga Mati, Bhinneka Tunggal Ika, dan Satu Nusa Satu Bangsa, atau Cinta Tanah Air. 
Sekedar nonton Timnas Indonesia misalnya, itu sudah dianggap Nasionalis. Bangga Indonesia mendapat medali di Olimpiade, itu sudah dianggap Nasionalis.

Padahal jauh dari itu. Mari kembali kita pasangkan Kerakyatan bersama Kebangsaan dengan sebenar-benarnya. Tentunya hal tersebut merupakan perjuangan panjang. Sebelum dapat melakukan itu, maka hal utama yang harus kita lakukan saat ini ialah mengembalikan makna Pancasila sebagaimana yang Bung Karno jelaskan sebagai penggalinya. Esensi dari Nasionalisme itu apa? Bahwa bukan sekedar Cinta Tanah Air. Bukan sekedar Nasionalisme. Tapi Sosio-Nasionalisme!
Kita Cinta Negeri ini dengan tujuan mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Maka itu kami merasa penting untuk memperbaharui makna Kesatuan & Persatuan Indonesia:
Kesatuan semangat & Persatuan persepsi mengenai esensi Pancasila dan Perjuangan mewujudkan Sosialisme Indonesia.
Itulah yang seharusnya kita perjuangkan dan kita gaungkan. Itulah Persatuan Indonesia sejatinya.
**
Dalam tulisan singkat ini kami mengerucutkannya dalam bidang Pendidikan Nasional dan Agraria.
Pendidikan Nasional
Kami menjadikan buku "Pendidikan Nasional Pantjasila: Perdjuangan Pendidikan Nasional Indonesia dan Hasil-hasilnya", karya Kamadjaja, terbitan U.P. Indonesia tahun 1966, sebagai salah satu referensi dalam mengkaji Pendidikan Nasional Indonesia berasas Pancasila 1 Juni 1945. Pendidikan yang Marhaenistis, yang Sosialistis.
Kita bisa mendiskusikan buku ini mungkin pada Diskusi berikutnya. Dalam tulisan singkat ini kami hanya ingin memberikan gagasan kami mengenai Revolusi Pendidikan Nasional / Revolusi Pendidikan Indonesia. Itulah Perjuangan panjang kita, itulah harga mati kita, itulah salah satu semangat Persatuan kita: Mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia.
Revolusi Pendidikan bukan semata Free Education, UKT, ataupun berbagai permasalahan Perguruan Tinggi. Bukan semata demikian, itu pemahaman yang sangat sempit. Lebih utama dari itu semua ialah konsep, metode, serta tujuan politik dari Pendidikan Nasional.
Pendidikan Indonesia saat ini sangat jauh menyimpang dari tujuan awalnya, kini hanya sebagai pemuas nafsu pasar, untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bukan sebagai alat perjuangan. Bukan untuk memperjuangkan rakyat kecil. Bukan untuk mewujudkan Keadilan Sosial. Bukan untuk menjadikan manusia sebagai manusia sejati. Bukan untuk memanusiakan manusia, bukan untuk Humanisme & Sosio-Nasionalisme serta Sosio-Demokrasi, tapi Pendidikan kini sangat berjiwa Kapitalistis yang semakin subur di alam Liberalisme Modern / Neo Liberalisme pasca Reformasi Indonesia 1998.
Beberapa lampiran yang kami temukan mengenai penerapan Pendidikan Nasional periode 1960-an dalam buku karya Kamadjaja tersebut dapat kita jadikan referensi dalam kontekstualisasi perjuangan Revolusi Pendidikan Indonesia di tengah kepungan zaman Globalisasi saat ini, diantaranya sebagai berikut:
Penetapan Presiden RI No. 10 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pantjasila.
Bab I
Pasal 1
Dasar-Azas Pendidikan Nasional
Pancasila adalah Moral & Falsafah Hidup Bangsa Indonesia yang menjadi landasan bagi semua pelaksanaan Pendidikan Nasional.

Pasal 2
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional sejak Prasekolah hingga Perguruan Tinggi supaya melahirkan warganegara Sosialis Indonesia yang susila, bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, Adil Makmur secara Spirituil & Materil dan berjiwa Pancasila.

Pasal 3
Moral Pendidikan Nasional
Pancasila adalah Moral Pendidikan Nasional

Pasal 4
Politik Pendidikan Nasional
Ialah Manifesto Politik Republik Indonesia. Garis & Strategi Pelaksanaan Pendidikan Nasional harus melahirkan Patriot Komplit untuk menentang segala bentuk Penghisapan manusa atas manusia serta Bangsa atas Bangsa, yakni:

1. Imperialisme
2. Kolonialisme & Neo-Kolonialisme
3. Feodalisme
4. Kapitalisme

Pasal 5
Pengkhususan dalam Sistem Pendidikan Nasional
Diperkenankan sesuai aliran politik dan keyakinan agama yang dianutnya masing-masing dalam rangka Pancasila sebagai satu kesatuan.

Dan lain-lain.
Mari kita saksikan. Betapa tujuan Pendidikan Nasional saat itu sejalan dengan tujuan dalam Konstitusi kita: Lagi-lagi, mencerdaskan kehidupan Bangsa Indonesia. Tentunya hal tersebut sebab Pancasila 1 Juni 1945 menjadi landasan utama dalam setiap Kebijakan Pemerintah, termasuk dalam bidang Pendidikan.
Perjuangan kita untuk Pendidikan Indonesia saat ini dan masa depan ialah perjuangan Revolusi Pendidikan Nasional agar dapat mengkontekstualisasikan Pancasila 1 Juni 1945 dan kebijakan-kebijakan Pemerintah saat itu sebagai landasan kita menerapkan konsep dan metode Pendidikan Nasional.
Revolusi Pendidikan Indonesia tidak dapat terjadi secara singkat, ia merupakan proses panjang dan berat serta harus dijuangkan terus menerus. Namun bukan berarti kita tidak sanggup. Katakanlah.. Kita sanggup! Ya. Memperjuangkan Revolusi Pendidikan Indonesia agar Pendidikan Nasional kembali pada jatidirinya dan memiliki tujuan serta sikap politiknya, yakni menentang segala bentuk penindasan & penghisapan.
Namun sebelum itu semua, mar Revolusi Mental-kan diri kita masing-masing dahulu agar kita semua memahami dan mendalami semangat Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan yang Berkebudayaan tersebut.
Terkait Pendidikan pula, pada awal/Abad ke-20, mulai dibangun dan diperjuangkan terkait Pendidikan untuk rakyat. Diantaranya Tamansiswa berlatar Nasionalis, dan Muhammadiyah yang berlatar Keagamaan, keduanya sebagai yang terbesar saat itu. Namun mari kini kita berkaca.
Taman Siswa?
Redup. Tidak berkembang meluas di Indonesia. Kalah pamor. 'Jawa-sentris'. Kurang finansial, ketinggalan zaman, dan lain-lain.

Muhammadiyah?
"Kini bagi saya, Pendidikan Muhammadiyah bagaikan 'Franchise'. Banyak Sekolah & Universitas Muhammadiyah di berbagai Indonesia dengan dalih pendidikan untuk Umat, namun harganya selangit dan bersifat Kapitalistis & Borjuistis. Muhammadiyah justru kurang mengakomodir kamu Marhaen untuk mendapat Pendidikan. Seperti Indomaret / Alfamart / dan semacamnya. Banyak dimana-mana, tapi mencekik rakyat kecil itu sendiri" (Aslama Nanda Rizal).
Banyak cara untuk memulai perjuangan panjang Revolusi Pendidikan Indonesia tersebut yakni memperbanyak Komunitas Pengajar dan memberikan Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan bagi para Pengajar sebagai kepanjangan tangan atau agen-agen Revolusi Pendidikan Indonesia, membuka Sekolah-sekolah Rakyat yang berasas Pancasila 1 Juni 1945 dengan semangat Kebangsaan & Kerakyatan dan bersifat Sosialistis, membuat Simposium Pendidikan Indonesia yang membahas mengenai konsep, sistem, metode hingga teknis Pendidikan Indonesia seharusnya. Kita harus satukan langkah perjuangan mewujudkan Pendidikan sebagai Fasilitas Umum, dan secara perlahan kita harus singkirkan para elit dan Birokrat serta Politisi busuk nan korup yang menjadi penghambat dalam Revolusi. Untuk menyingkirkannya tidak bisa sembarangan mengandalkan kata-kata Revolusi, tangan kiri mengepal dan berbuat kerusuhan semata. Jauh dari itu, kita harus siapkan diri kita, generasi setelah kita, dan masyarakat / rakyat / Kaum Marhaen untuk merebut kekuasaan tersebut. Dalam istilah Bung Karno, kedua model perjuangan itu disebut Marchtvending & Marchtvorming.
**
Agraria
Tidak bisa sembarangan bagi kit saat ini untuk berbicara mengenai Agraria. Karena menyangkut hajat hidup utama Kaum Marhaen. Bahkan belum tentu kita sendiri pernah menggunakan cangkul untuk bekerja.
Namun dalam konteks Diskusi kali ini terkait Persatuan Indonesia mengenai Agraria. Kita dapat memulainya dengan memantik Nurani Rakyat Indonesia terhadap nasib Kaum Marhaen Indonesia saat ini yang sedang banyak mengalami masalah, masih tertindas. Ini masih dan terus berlaku di berbagai daerah di Indonesia.
Kini semakin banyak kasus Agraria dikabarkan di berbagai Media. Tentunya hal tersebut menjadi salah satu cara untuk memantik Persatuan Rakyat Indonesia terkhusus Kaum Marhaen untuk melawan penindasan yang merebut hajat hidupnya dengan 'backing'-an Pemerintah Daerah & Aparat Negara (TNI & POLRI). Semakin banyak yang ter-blow up, semakin sering kita Diskusi dan konsolidasi bersama rakyat untuk memperjuangkan tanah dan hajat hidupnya.
Dalam perspektif Marhaenisme (Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, Ketuhanan yang Berkebudayaan), lebih jelas lagi berarti dalam perspektif Pancasila 1 Juni 1945, adalah sangat jelas bahwa Kedaulatan Rakyat adalah Harga Mati. Bahwa Rakyat harus mengelola hajat hidupnya bersama-sama. Tanah dan air tidak boleh dikooptasi oleh Korporasi demi kepentingan mereka dan elit politik. Alat produksi harus dikelola bersama oleh Masyarakat. Terutama terhadap Sumber Daya Alam, Pemerintah menguasainya untuk digunakan demi kepentingan seluruh Rakyat Indonesia.
Sepanjang Sejarah pasca Kemerdekaan Indonesia, soal Agraria menjadi puncak perjuangannya pada periode 1950-an hingga diterapkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Banyak kajian mengenai positif dan negatifnya Kebijakan tersebut, yang jelas itu merupakan Kebijakan yang sangat jelas mengenai Agraria, berpihak ke Marhaen. Bukan ke Korporasi, apalagi elit politik.
Namun semua diputarbalikkan sejak Orde Baru berkuasa. UUPA dibuat mati-suri, di-peti es-kan hingga kini. Pasca Reformasi 1998, justru kehidupan Agraria Indonesia semakin Kapitalistis dan jauh menyimpang dari cita-cita para Pendiri Bangsa dan Negara Indonesia.
Selengkapnya, mari kita diskusikan!


Monday, December 5, 2016

SANG SURYA MENYINARI DESA: Perluasan Muhammadiyah di Pedesaan Jawa






Oleh:
Aslama Nanda Rizal
(Komisaris GMNI FIB UGM 2016)


Pengantar

Muhammadiyah terkenal sebagai organisasi berasas Islam yang mengedepankan pemurnian Islam yang sesuai Al-Qur’an & Sunnah dan menolak praktik keagamaan yang dianggap bertentangan dengan keduanya.  Muhammadiyah dalam pemikirannya mengedepanan rasionalitas berdasarkan keilmuan modern, dengan perjuangannya memberantas kebodohan baik dalam pemikiran yang dianggap kuno hingga memberantas tahayul, bid’ah, churafat (TBC). Muhammadiyah menasbihkan dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan, bukan sebagai organisasi atau partai politik. Muhammadiyah mengambil jalur pencerdasan terlebih dahulu kepada masyarakat lewat gerakan sosialnya.

Walaupun bukan organisasi maupun partai politik, namun bukan berarti Muhammadiyah tidak peduli dengan urusan politik. Pada masa pergerakan nasional, Muhammadiyah menjadi salah satu pendukung bahkan memiliki kontribusi yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan hingga kini, Muhammadiyah adalah salah satu organisasi kemasyarakatan yang konsisten mempertahankan Republik Indonesia.

Perkembangan Muhammadiyah dapat dikaji dalam banyak aspek, mulai dari dialektika pemikiran di internal, gerakan sosial, hingga perjuangan politiknya. Namun dalam tulisan ini, membahas lebih fokus pada gerakan sosial dan pengaruh Muhammadiyah di pelosok atau pedalaman desa, terutama di Jawa. Hal tersebut menarik sebab Muhammadiyah terkenal di lingkungan perkotaan, dan aktivisnya lebih banyak bergelut di dunia intelektual dibanding melebur dengan kalangan bawah yang sering dianggap sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU) –organisasi Islam yang berlatar tradisional dan diklaim berbasis akar rumput / kalangan bawah-.


Perkembangan Varian Muhammadiyah

Muhammadiyah kerapkali mendapat banyak stigma sebagai salah satu bagian dari kelompok fundamentalis Islam atau Wahabi. Inti ajaran Muhammadiyah terkait purifikasi Islam dianggap sama seperti kelompok tersebut. Apakah benar demikian? Menurut Kuntowijoyo, ternyata ada beberapa ragam atau varian Muhammadiyah pada perkembangannya (Mulkan, 2013: 17). Kuntowijoyo membaginya menjadi kelompok Dahlan (kelompok awal Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan dan sezamannya, masih toleran terhadap TBC), Al-Ikhlas (kelompok yang mengedepankan penegakkan Syariat Islam yang puritan) Neo-Tradisionalis (kelompok MuNu / Muhammadiyah – NU). Neo-Sinkretis (MuNas / Muhammadiyah – Nasionalis, disebut juga MarMud / Marhaenis – Muhammadiyah.

Kuntowijoyo menyebut hal tersebut perlu diketahui publik sebab Muhammadiyah selama ini selalu digambarkan sebagai gerakan purifikasi Islam yang homogen, ternyata pada perkembangannya beragam. Walaupun pada perkembangannya, justru kelompok Al-Ikhlas justru dominan (seperti tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berpolitik lewat Partai Masyumi, dan kini warga Muhammadiyah yang berpolitik lewat Partai Keadilan Sejahtera / PKS, terjadi pembauran antara Muhammadiyah dengan kelompok Tarbiyah, banyak terjadi).

Publik (termasuk warga Muhammadiyah itu sendiri) seringkali melupakan bahwa Muhammadiyah generasi awal dapat diterima semua golongan karena K.H. Ahmad Dahlan sangat toleran dengan praktik keagamaan di zamannya, juga bermain cantik dalam perjuangan politiknya melawan pemerintah kolonial Hindiia-Belanda dengan mengikuti alur peraturan pendidikan yang diterapkan masa tersebut. Muhammadiyah zaman itu juga mengikuti pola pendidikan Barat sehingga diterima pemerintah kolonial. Menurut K.H. Ahmad Dahlan hal tersebut penting agar umat Muslim juga menjadi cerdas dan dapat menerima ilmu modern agar dapat memperjuangkan agama Islam dengan rasional dan melepaskan praktik keagamaan tradisional secara perlahan-lahan.

Setelah wafatnya K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa. Hal tersebut mempengaruhi dakwah Muhammadiyah, sebagaimana yang terjadi di tanah Minangkabau. Umat Muslim Minangkabau yang sebelum menyebarnya Muhammadiyah, telah terlebih dahulu dianggap sebagai fundamentalis Islam (sebagai penerus kaum Padri). Maka itu akhirnya Muhammadiyah menjadi dominan unsur Anti-TBC dan semakin keras penentangannya terhadap praktik keagamaan tradisional. Hal tersebut berbeda dengan Muhammadiyah di Jawa, khususnya Yogyakarta saat ini, yang tetap mempertahankan toleransinya terhadap kultur dan praktik keagamaan tradisional masyarakat Jawa.

Jargon Muhammadiyah yakni “kembali pada Qur’an dan Sunnah” seringkali dimaknai sebagai formalisasi Syariah dan juga pembatasan. Abdul Munir Mulkan menyebut kelompok tersebut kelompok “serba-ibadah”. Mereka berpendapat bahwa hal-hal yang tiada tuntunannya dalam Qur’an & Sunnah berarti tidak boleh dilakukan. Hal tersebut tentunya baik karena menjaga kemurnian Islam dan praktik keagamaan yang dinilai sebagai bid’ah, namun Mulkan menyebut bahwa hal tersebut bukan semata pembatasan, melainkan juga pembebasan. Tiada tuntunan bukan berarti tidak boleh dikerjakan, selama tidak menyimpang dari tentunya, Islam mengenal hukum mubah (Mulkan, 2013: 22).
Ada persamaan antara kelompok Muhammadiyah MuNu dengan MuNas. Keduanya sama-sama berjiwa nasionalis, tradisional, dan membaur dengan kalangan akar rumput atau Marhaen, umat Muslim yang berada di pedalaman desa. Salah satu contoh studi kasus yang dapat diangkat dalam hal ini adalah dari hasil penelitian Mulkan yakni umat Muslim di Wuluhan, Jawa Timur. Hasil penelitian tersebut yang diangkat dalam tulisan ini sebagai salah satu contoh perkembangan Muhammadiyah yang ternyata berbeda-beda perkembangannnya di berbagai daerah. Persamaan berikutnya ialah antara kelompok Muhammadiyah Neo-Tradisionalis & Neo-Sinkretis tersebut ialah sama-sama suka melakukan praktik keagamaan tradisional seperti tahlilan, selametan, dan lain-lain).

Perbedaannya mungkin hanya dalam pilihan aliran politik. Kelompok MuNu biasanya banyak terdiri dari keluarga NU yang menjadi anggota maupun simpatisan Muhammadiyah dan melebur bersama, dalam pilihan aliran politik justru condong ke NU atau bebas sesuai pilihan masing-masing. Sementara kelompok MarMud merupakan warga Muhammadiyah yang memilih aliran politik Nasionalis Bung Karno lewat Partai Nasional Indonesia (PNI) pada zamannya, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hingga Partai Denokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada perkembangan berikutnya.

Muhammadiyah di Kalangan Akar Rumput

Perjuangan Muhammadiyah dalam memberantas TBC mengalami kesulitan di tataran akar rumput. Menurut Karim, kesulitan tersebut karena TBC telah mengakar sejak lama dan tataran akar rumput merupakan basis NU dengan kyai sebagai sumber pengetahuan keagamaan, masyarakat bertaklid kepadanya (Karim 1995).

Masyarakat kalangan akar rumput juga terkenal sebagai masyarakat yang sinkretik dengan tradisi spiritualitasnya sendiri atau disbut abangan. Biasanya mereka menjadikan dukun sebagai mediator penghubung kekuatan magis spiritual dengan kehidupan mereka yang mayoritas petani. Sejak periode 1920-an hingga 1960-an, anggota Muhammadiyah dari kalangan akar rumput sangat sedikit. Perluasan Muhammadiyah di kalangan akar rumput baru masif setelah goncangan politik 1965.Selama 1965-1970, anggotanya bertambah 103% per tahun (88% petani) atau 600% pertambahan secara lingkup nasional (Mulkan 2013).

Pemurnian islam di kalangan akar rumput pedesaan harus menghadapi TBC yang telah menjadi fungsi status dan pekerjaan petani. Interaksi keduanya membentuk format keagamaan pengikut Muhammadiyah yang bervariasi, sesuai sejarah sosial masing-masing dan dominasi elit setempat. Peran ahli syariah yang melemah menyebabkan toleransi terhadap TBC meluas, begitu sebaliknya. Ahli syariah di Muhammadiyah menerapkan ajaran Islam murni dalam buku tarjih Muhammadiyah secara konsisten.

Di pedalaman/pedesaan/ tataran akar rumput, penyebaran Muhammadiyah terdapat beberapa pola. Peran ahli syariah sempat menguat dan terjadi banyak penghancuran makam dan tempat yang dikeramatkan. Bahkan banyak dukun telah lenyap, tempat yang dikeramatkan diubah menjadi rumah, atau minimal diterangi listrik dan menyebabkan “roh magis pergi entah kemana”. Namun hal tersebut tidak menghilangkan unsur-unsur spiritualitas masyarakat akar rumput, sebab “roh-roh” tersebut tetap berada di dalam hatinya, hidup dalam kesadaran mereka.

Doktrin Islam murni yang diperjuangkan kelompok Al-Ikhlas di pedesaan ternyata sulit diterapkan di lapangan. Di luar ibadah formal atau khusus, banyak jamaah Muhammadiyah di tataran akar rumput yang tetap tahlilan, selametan, dan lain-lain. Masyarakat pedesaan di sana juga masih mempercayai kekuatan gaib yang mempengaruhi peristiwa duniawi, yang dianggap “tidak ada tuntunannya dalam Qur’an & Sunnah”.

Gagasan kesalehan merupakan faktor penting untuk memahami kehidupan umat di pedalaman/pedesaan. Perkembangan Islam di Indonesia didominasi oleh kaum sufi dengan membawa ajaran sufismenya yang ternyata cocok atau lebih diterima kalangan akar rumput di negeri ini. Terutama karena nilai-nilai ajarannya yang sinkretik, cocok dengan kearifan lokal masyarakat akar rumput Indonesia.

Sejak dahulu, sufisme inilah yang paling dominan dan diterima umat Islam Indonesia kebanyakan. Hal ini pula yang menjadikan Muhammadiyah dilemma dan pada perkembangannya menerima sufisme dengan menghubungkannya tetap dengan Qur’an & Sunnah. Menurut Rahman, dalam sejarah Islam justru sufisme sangat populer di kalangan akar rumput dan berkembang menjadi ajaran perlawanan rakyat, ketika elit penguasa didominasi ahli syariah (Rahman 1984).

Muhamamadiyah sejak didirikan lebih berkembangan di kawasan kota dan pasar. Penegasan terhadap pemberantasan TBC bukan model keagamaan petani atau kalangan akar rumput (Geertz 1983). Namun menurut Surjo, cara hidup kalangan akar rumput di pedalaman Indonesia terutama Jawa, telah menjadi lebih sistematis, ketikan Islam murni diintegrasikan dengan kearifan lokal yang sinkretik mengikuti tipologi penyebaran Islam ke wilayah Nusantara (Surjo, dkk. 1993).

Perluasan Muhammadiyah ke pedesaan bukan tanpa konflik. Jelas, sebelumnya telah dijelaskan bahwa Muhammadiyah awalnya kesulitan menembus garis akar rumput karena semangat pemberantasan TBC yang bertolakbelakang dengan tradisi keagamaan masyarakat pedesaaan Jawa. Upaya pencairan konflik tersebut pun berkali-kali dilakukan. Masa pergerakan nasional misalnya, dr. Soetomo yang seorang nasionalis memelopori pengembangan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan berkembang secara lingkup nasional hingga saat ini.

Bahkan Kyai Dahlan sendiri memilih sistem “sekuler” dalam banyak kegiatan sosial-keagamaan utamanya pendidikan, dan aktif dalam Budi Utomo serta Sarekat Islam. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Muhammadiyah menurut Mulkan justru menjadi ekslusif setelah pucuk pimpinan Muhammadiyah dikuasai oleh kelomok Al-Ikhlas, hal tersebut yang menyulitkan perluasan Muhammadiyah di tataran akar rumput.


Pribumisasi Islam Murni sebagai Jalan Tengah Perluasan Muhammadiyah

Akhir periode rezim Orde Baru menjadi tonggak awal para elit Muhammadiyah tingkat nasional menyadari betapa pentingnya mengubah pola kepeimpinan dan perluasan Muhammadiyah agar semakin diterima di seluruh lapisan umat Muslim Indonesia. Pada Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995, digaungkanlah Spiritualisasi Syariah, yang bertujuan kembali pada Islam sejati yang diterapkan Muhammadiyah pertama kali oleh Kyai Dahlan yakni dengan akal dan hati suci.
Menurut Mulkan, sebenarnya hal tersebut adalah tidak lain dari syariah plus sufisme. Namun sejak awal Muhammadiyah memang menghindari diri dari penyebutan sufisme demi menghindari mistifikasi Islam (Mulkan 2003). Menurut Mitsuo Nakamura, sufisme sevara substantif dan informal sebenarnya telah diamalkan oleh Muhammadiyah (Nakamura, Sufi Elements in Muhammadiyah: Notes from Field Observation 1980, dalam Mulkan 2003: 23). Soewara Muhammadijah pada 1915 jauh-jauh hari telah menyebutkan sufisme informal tersebut dengan istilah akhlaq mahmudah, bukan sufisme tapi akhlak.
Kesepakatan konsep “jalan baru” atau jalan tengah dalam perluasan Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah 1995 disebabkan oleh latar belakang elit pimpinannya yang kebanyakan saat itu merupakan para intelektual modern yang meluas sejak akhir 1980-an, para penggerak ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Hasil akhir dari jalan tengah tersebut adalah istilah pribumisasi islam murni, berupa siasat untuk memberantas TBC secara moderat. Hal tersebut pula yang menurut Ketua Tarjih Muhammadiyah periode 1995-2000 sebagai neo-sufisme (Abdullah 1996).
Pribumisasi Islam murni tersebut mencairkan konflik yang sebelumnya terjadi dalam usaha perluasan Muhammadiyah. Kaum petani melalui pribumisasi Islam murni tersebur dapat mengatasi konflik kepercayaan takdir dan ikhtiar bebas, keterikatan magis usaha tani dan puritansme Muhammadiyah serta konflik sosial-politik. Mereka memelihara harmoni hubungan sosial yang lebih luas dengan cara itu. Tradisi TBC dihidupkan kembali dan seluruh golongan Islam dan politik dipersatukan.
Hal tersebut juga menyebabkan meningkatnya partisipasi masyarakat pedesaan Jawa dalam kegiatan Muhammadiyah tertutama melalui pendidikan modern yang mendorong mobilitas sosial masyarakat akar rumput. Pribumisasi Islam murni dengan spiritualisasi syariah tersebut membuat masyarakat pedesaan terutama para petani lebih dapat memenuhi ritual islam tradisionalnya bersama komunitas petani yang lebih luas.

Penutup
Meluasnya Muhammadiyah ke daerah pedesaan Jawa menurut Mulkan bukanlah Islamisasi, namun merupakan pribumisasi Islam murni dengan fatwa tarjih yang tidak lagi menjadi referensi jamaah Muhammadiyah. Gerakan permunian Islam dalam masyarakat petani oleh Muhammadiyah pada perkembangannya lebih tampak pada pengorganisasian berbagai bentuk ibadah sosial seperti pengelolaan penyembelihan hewan kurban dan fitrah sehingga dapat memenuhi kebutuhan sosialnya.

Sistematisasi berbagai praktik keagamaan tradisional seperti tahlilan dan selametan kini juga dilakukan tanpa mengaitkan langsung dengan hal-hal berbau magis seperti periode sebelumnya. Jamaah Muhammadiyah antar lapisan elemen masyarakat juga kini dapat berbaur satu dengan lainnya dalam melakukan praktik keagamaan tradisional tersebut.

Kini, Muhammadiyah harus terus melakukan refleksi diri dan meneruskan perjuangan dengan jalan tengahnya itu, agar Muhammadiyah semakin dapat diterima di seluruh lapisan umat Muslim Indonesia dan tentunya dengan agenda gerakan yang lebih konkrit seperti ikut terlibat dalam penyelesaian agraria yang kini marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebab memperluas Muhammadiyah sejatinya bukan hanya memperbanyak jumlah anggota, namun juga Muhammadiyah benar-benar harus ada dan aktif dalam kehidupan masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia.




Daftar Pustaka


Abdullah M. Amin, 1996, Perkembangan Pemikiran Islam dalam Mmuhammadiyah: Perspektif Tarjih Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43, dalam BRM. No. 05/1995-2000, hlm 18-26.

Abdul Gaffar Karim, 1995, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, LKis dan Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Abdul Munir Mulkan, 2013, Marhaenis Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, Galang Pustaka: Yogyakarta.

Geertz, Clifford, 1983, Abanagan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan, Pustaka: Bandung.

Nakamura, Mitsuo, 1983, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, terjemahan, Gadjah Mada University Press: Yogayakarta.

Rahman, Fazlur, 1984, Islam, Pustaka: Bandung.


Surjo, Joko, dkk, 1993, Agama dan Perubahan Sosial; Studi Tentang Hubungan Antara Islam, Masyarakat, dan Struktur Sosial-Politik Indonesia, Pusat Antar Universitas-Studi Sosial UGM, Yogyakarta.

Wednesday, September 28, 2016

{UNDANGAN REKRUTMEN TERBUKA}

Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB)
Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.

Assalamualaikum 🙌
Salam Sejahtera untuk kita semua!
Om Swastiastu!
Namo Buddhaya!
Merdeka!

Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam untuk Kawan-kawan semua dimana pun kita berada. Semoga hari-hari kita selalu menyenangkan. Kawan-kawan yang tengah melaksanakan Ujian Tengah Semester (UTS) semoga diberi kelancaran dan hasilnya memuaskan, ya. Aamiin 😊

Perkenalkan. Kami dari Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Kini sedang melakukan Rekrutmen Terbuka, lho.

"Apa itu GMNI, Kak?"
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Dek. Sebuah Organisasi Gerakan Mahasiswa lingkup luar Kampus (Ekstra Universiter) yang bergerak di Bidang Kebangsaan & Kerakyatan Indonesia. Salah satu yang tertua di Indonesia, berdiri sejak 1954.

"Kegiatannya ngapain aja, Kak?"
Banyak, Dek. Intinya, mendalami Indonesia beserta Rakyatnya dengan sedalam-dalamnya. Di Komisariat GMNI FIB UGM kita akan belajar banyak mengenai Indonesia dan memperjuangkan Kaum Marhaen, Rakyat Kecil / "Wong Cilik".

Beberapa Agendanya yakni:
1. Ngaji Malam Jumatan (Rutin)
Mengkaji secara mendalam materi-materi di Buku " Di Bawah Bendera Revolusi", karya Presiden Republik Indonesia pertama, Bung Karno. Rutin kita lakukan setiap Kamis Malam (Malam Jumat) di Bunderan UGM dekat gerbang masuk tulisan "Universitas Gadjah Mada" mulai pukul 19.00 WIB.

2. Mengkaji Permasalahan Rakyat Kecil Indonesia
Masih banyak kasus yang menimpa Kaum Marhaen. Dari banyak kasus tersebut nanti kita Kaji beberapa dan kita dalami. Harapannya kita bisa terjun langsung membantu permasalahan tersebut. Sebagai Mahasiswa, kita tidak hanya belajar mengenai materi kuliah. Tapi juga harus belajar memperjuangkan Bangsa, utamanya orang-orang yang tertindas 

3. Gemar Mengajar
Komisariat GMNI FIB UGM menginisiasi bersama Komunitas Gerakan Membantu Marhaen (GEMAR) dan Media Pergerakan Mahasiswa, Gadjah Mada Lantang membuat agenda Mengajar. Alhamdulillah telah berlangsung sejak 10 September lalu. Insya Allah dilakukan hingga Desember nanti. Setiap Sabtu 2 pekan sekali. Di Lojisari, Desa Tegaltirto, Berbah Sleman, DIY. Kita mengajar anak-anak TK-SMA mengenai mata pelajaran dan juga materi tambahan seperti Ke-Indonesiaan, Lingkungan, Kebudayaan dan lain-lain.

4. Jelajah Tempat Bersejarah
Ini nih yang paling baru, dan masih kami agendakan. Sebagaimana yang kita tahu, di Yogyakarta / Jogja itu penuh tempat bersejarah. Baik bersejarah dalam Kebudayaan, maupun bersejarah bagi perjuangan Bangsa Indonesia. Agenda ini memang masih kita rencanakan. Makanya, yuk gabung. Biar kita makin punya banyak teman dan bisa berangkat, jelajah bareng 👪

Dan agenda-agenda lainnya 😄

"Marhaen itu apa, Kak? Kok baru denger?"
Marhaen itu nama seorang Petani di Bandung yang ditemui Bung Karno dulu, masa Kolonial Belanda. Kang Marhaen itu dijadikan istilah oleh Bung Karno sebagai simbol Rakyat Kecil Indonesia. Karena Kang Marhaen juga, Bung Karno mengistilahkan Marhaenisme sebagai Dasar Perjuangan kita.

"Ini khusus Mahasiswa FIB UGM aja ya, Kak?"
Nggak juga kok, Dek. Di UGM, telah ada 5 Komisariat berdasarkan Fakultas asal Mahasiswa:
Komisariat GMNI FIB UGM, FISIPOL UGM, Filsafat UGM, Kedokteran Umum UGM, dan Kedokteran Hewan UGM.

Kalau kamu berasal dari Fakultas yang belum ada Komisariatnya, kami sangat terbuka untuk belajar-bergerak-berjuang bersama. Beberapa Anggota Komisariat GMNI FIB UGM juga berasal dari beberapa Fakultas di UGM. Bahkan kalau kamu berasal dari Universitas Non-UGM yang belum ada Komisariatnya, juga boleh gabung kok. Alhamdulillah, bisa menambah perspektif kita dalam belajar. Sekarang zamannya belajar secara Interdisipliner, lho 📖

"Wah, asik banget, Kak! Aku mau dong gabung 🙋 Caranya gimana, Kak?"

Ayuk siniiiiiiiiii 🙌
Isi aja Form Pendaftaran ini ya.
https://gmni.typeform.com/to/TUDedn

Agenda terdekat kita, Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB). Di sana kita akan belajar bareng mengenai Ke-GMNI-an, Marhaenisme, dan Muatan Lokal. Karena kita dari Komisariat GMNI FIB UGM, maka kita akan belajar mengenai Kebudayaan dengan Tema:

"Seni & Kebudayaan sebagai Perjuangan Rakyat".

Catat baik-baik ya, Dek, acaranya.

📆 Sabtu, 1 Oktober 2016.
 Mulai pukul 12.30 WIB.
🌏 Sekretariat DPC GMNI Yogyakarta.
(Kumpul di Bunderan UGM pukul 11.30-12.00 WIB)

 Narahubung:
Ahmad Andriyanto
(ID Line: ahmadadr)

Ikuti terus, media-media kami 🙋




Ditunggu kehadiranmu ya, Kawan-kawan!
Gak sabar, belajar-bergerak-berjuang bersama kamu. Iya, kamuuu! 🙌

"Indonesia harus dipimpin oleh Kaum Nasionalis, yang benar-benar memahami Indonesia dan Rakyatnya. Kaum Nasionalis tidak boleh gamang, harus memiliki Militansi dan Dasar Perjuangan yang jelas. Tidak sekedar Nasionalis. GMNI adalah wadah pembelajaran menjadi Kader Bangsa sebagai Kaum Nasionalis itu. GMNI harus mempersiapkan Kadernya untuk menjadi Pemimpin Bangsa di masa depan. GMNI sudah terlalu lama tertidur, terutama sejak Bung Karno lengser dari Pemerintahan. GMNI harus bangkit kembali, dari bawah. Akar rumput. Ingat, di Indonesia terlalu banyak Politikus. Tapi kekurangan Negarawan".
(Prof. Suhartono, Guru Besar Ilmu Sejarah FIB UGM)

Salam Persatuan Bangsa Indonesia!
Merdeka!