"SETELAH SARJANA, MAU JADI APA?"
Oleh:
Ahmad Andriyanto
(Kader GMNI FIB UGM)Pendidikan merupakan sebagai suatu proses pembentukan karakter manusia yang mengarah pada pada kemandirian hidup, memerlukan suatu perencanaan yang matang dan terencana.
Oleh karenanya, peran pendidikan sering diarahkan pada upaya peningkatan kualitas manusia. Keberhasilan pembangunan bangsa, akan sangat bergantung pada kondisi sumber daya manusia yang cukup tinggi sehingga dalam realitasnya dibutuhkan pola penyelenggaraan pendidikan yang mengakomodasi setiap tuntutan kebutuhan lingkungan dan masyarakat.
Pendidikan harus memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan. Salah satu institusi pendidikan yang mampu menciptakan individu yang kritis dan berbudaya adalah perguruan tinggi.
Perguruan tinggi merupakan salah satu institusi pendidikan yang paling diincar oleh setiap pemuda di Indonesia yang ingin melanjutkan studi nya ke jenjang yang lebih tinggi. Setiap tahunnya, tidak sedikit pendaftar perguruan tinggi sehingga terjadi persaingan yang cukup ketat. Setidaknya satu pemuda/i harus mampu mengalahkan minimal 20 orang untuk mendapatkan satu bangku di perguruan tinggi. Banyaknya peminat yang ingin mengenyam pendidikan di perguruan tinggi berdampak pada jumlah perguruan tinggi yang ada.
Alhasil, dalam satu kota terdapat lebih dari 2 institusi pendidikan selevel dengan perguruan tinggi. Namun, jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah pemuda/i yang mampu mendapatkan bangku kuliah. Bahkan, masih banyak pemuda/i yang putus sekolah dikarenakan gagal dalam seleksi tersebut. Mahalnya biaya pendidikan dan kuota program studi menyebabkan banyak pemuda/i tidak mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan sesuai jurusan yang diinginkan.
Hingga saat ini menjadi sarjana mungkin masih manjadi dambaan dan harapan bagi sebagian besar orang, tentu dengan alasan dan motif yang beragam, mulai dari motif yang bersifat naif-pragmatis hingga motif altruistik-idealis.
Dalam hal ini, motif naif-pragmatis bisa dimaknai sebagai dorongan yang lebih tertuju kepada kepentingan pribadi, misalnya untuk menjadi kaya-raya, atau mendapat kedudukan dalam jabatan, melalui upaya dan tindakan yang menghalalkan segala cara. Sementara motif altruistik-idealis dapat dipahami sebagai motif yang didasari untuk melayani dan memberikan manfaat bagi orang lain, melalui upaya belajar keras dan penuh kesungguhan.
Sarjana adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1). Untuk memperoleh gelar sarjana, secara normatif dibutuhkan waktu perkuliahan selama 4-6 tahun atau telah menempuh perkuliahan dengan jumlah SKS sebanyak 140-160. Jika seseorang sudah dinyatakan lulus oleh sebuah perguruan tinggi, maka dia berhak menyandang gelar sarjana.
Hingga era akhir 70-an, keberadaan sarjana boleh dikatakan tergolong makhluk langka di bumi Indonesia, mungkin karena pada waktu itu jumlah perguruan tinggi (negeri maupun swasta) di Indonesia masih relatif terbatas.
Namun seiring dengan semakin diperluasnya jumlah program studi dan terus berkembangnya jumlah perguruan tinggi hingga ke pelosok-pelosok daerah, maka jumlah sarjana Indonesia pun semakin bertebaran, dengan bidang keahlian yang beragam.
Pendidikan dalam era demokrasi memberikan wahana bagi pembentukan nasib dan perilaku masyarakat.
Oleh karena itu, dalam implementasinya, pendidikan diarahkan pada kebijakan yang lebih transparan, serta memiliki komitmen bagi akuntabilitas publik. Secara umum, kondisi masyarakat dalam melihat peran pendidikan hanya sebatas strategi formalistik untuk memperoleh gelar tertentu. Di sisi lain, pendidikan pun masih belum banyak menyentuh terhadap kebutuhan masyarakat secara riil, sehingga seringnya pendidikan dinobatkan sebagai “menara gading” di tengah keberadaan komunitas tertentu. Rendahnya kepedulian masyarakat terlihat dari menurunnya tingkat partisipasi terhadap standar kualitas yang diinginkan, baik secara fisik maupun bobot lulusan.
Saat ini, banyak pemuda yang berorientasi pada gelar dan kelas sosial. Alhasil, pendidikan hanya dijadikan sebatas penopang gelar akademis dan indikasi naiknya kelas sosial. Institusi pendidikan dipacu dan diarahkan untuk menciptakan individu yang kritis, taat peraturan, dan buruh profesional. Nilai-nilai sosial dikesampingkan sehingga menghasilkan sarjana yang lebih mengedepankan citra ketimbang bergaul dengan masyarakat kelas bawah.
Pendidikan yang sebagian besar diisi oleh para kelas menengah dibentuk untuk berorientasi pada proses belajar setinggi-tingginya hanya demi gelar semata, memenuhi ekspektasi orang tua, dan ilmunya pun tidak bermanfaat sama sekali untuk orang lain—malah nggak sedikit juga yang ilmunya mendatangkan mudarat bagi orang banyak. Permasalahan utamanya terletak pada struktur absurd yang menjadikan institusi pendidikan tak terjangkau bagi kaum miskin, dan cara kerjanya makin mirip pabrik percetakan ijazah. Itulah yang semestinya harus diurai bersama.
“Seolah-olah kita ini bukan korban sistem pendidikan cetek yang orientasinya hanya gelar, seolah kita bukan sarjana abal-abal”.
Terlepas dari penting atau tidaknya mendapatkan gelar akademis seseorang, seharusnya seseorang yang ber-“gelar” mampu melihat lebih dalam makna di balik gelarnya, dan menyadari ada sebuah tanggung jawab moral disana, yaitu bagaimana ia bisa bermanfaat bagi kehidupan dan sesamanya sesuai dengan gelar bidang pendidikan yang telah ia raih. Kembali pertanyakan pada diri sendiri, setelah lulus sarjana, lalu mau jadi apa?
No comments:
Post a Comment