Tuesday, August 16, 2016


Komisariat GMNI FIB UGM Mengucapkan:

Selamat Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang ke-71 !

"Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh Bangsa yang jiwanya BERKOBAR-KOBAR dengan tekad Merdeka. MERDEKA atau MATI!"

(BUNG KARNO)


Bahagia itu sederhana. Bersama Masyarakat, rakyat jelata, kaum Marhaen / 'Wong Cilik' Indonesia, berkumpul, 'srawung', bercengkerama, mengadakan acara bersama, dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan. Hari Kemerdekaan merupakan salah satu momentum persatuan Bangsa Indonesia. 

Namun...

Semoga kita tidak larut dalam sekedar euforia semata. Mari sama-sama kita sadari, bahwa perjuangan kita masih panjang: Mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Mari kita hayati pesan Bung Karno ini:

"Kalau mau hidup, harus makan. Kalau mau makan, harus kerja. Jika tidak kerja, tidak makan. Jika tidak makan, pasti mati. Itulah Undang-Undangnya Dunia"

(BUNG KARNO)

Artinya, jika punya keinginan mari kita perjuangkan. Bangsa Indonesia dulu ingin Merdeka, maka seluruh elemen Bangsa Indonesia bersatu berjuang bersama hingga akhirnya dapat lepas dari Penjajahan Belanda & Jepang. 

Kini, mari kita bersatu kembali untuk memperjuangkan cita-cita Pendiri Bangsa Indonesia: Mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Maukah kamu bersatu bersama kami?
Sudikah kamu melepaskan egomu dan duduk bersama merumuskan arah perjuangan Bangsa?
Relakah kamu melebur bersama Rakyat, merasakan langsung penderitaan kaum Marhaen Indonesia?

Semoga menjadi renungan kita bersama 🙌

MERDEKA !!!!!!!!!!!

Yogyakarta, 17 Agustus 2016.

Atas Nama Kaum Marhaen Indonesia,
Komisariat GMNI FIB UGM.

Monday, August 15, 2016

PEKAN PENERIMAAN ANGGOTA BARU
KOMISARIAT GMNI FIB UGM

Merdeka!!!

Selamat Datang,
Mahasiswa Baru Universitas Gadjah Mada.

Puji Tuhan Yang Maha Esa atas Anugerah-Nya untuk kita semua. Selamat bagi kalian yang telah diterima menjadi bagian dari Civitas Akademika Universitas Gadjah Mada. Tentunya kebanggaan bisa berkuliah di 'Kampus Kerakyatan'.

Ya. UGM menjadi Kampus Negeri pertama yang berdiri setelah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tepatnya pada 19 Desember 1949. Berdirinya UGM menjadi pembuktian pada Dunia Internasional bahwa Bangsa Indonesia saat itu mampu mendirikan Universitas Negeri di saat kondisi dalam negeri sedang masa Perang Revolusi Fisik melawan upaya Penjajahan kembali Belanda atas Indonesia.

Hampir 67 tahun berlalu, marilah kita bertanya. Masihkah UGM layak disebut sebagai 'Kampus Kerakyatan' ? Apakah Mahasiswanya semakin dekat atau semakin jauh dari Rakyat, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para Pendiri Bangsa Indonesia? Silakan menjadi bahan renungan kita masing-masing.

Penting bagi kita untuk mempelajari kembali tentang semangat Kebangsaan & Kerakyatan yang erat disematkan pada Universitas Gadjah Mada.

Salah satu wadah untuk mempelajari dan mendalami semangat Kebangsaan dan Kerakyatan itu, ialah di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Apa itu GMNI?
GMNI merupakan Organisasi Gerakan Mahasiswa lingkup luar kampus (Ekstra Universitas) yang bergerak di bidang Kebangsaan dan Kerakyatan dengan Azas Marhaenisme Ajaran Bung Karno sebagai salah satu Tokoh Proklamator Kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Apa itu Marhaenisme?
Singkatnya, paham yang Bung Karno buat untuk menyelamatkan Kaum Marhaen.

Siapa itu Kaum Marhaen?
Kaum yang tertindas. Rakyat jelata Indonesia. Kaum miskin Indonesia. 'Wong Cilik'. Petani, Nelayan, Asongan, Kang Gojek, Penjual Angkringan, Buruh Pabrik, Kuli Bangunan, dan semua yang kecil-kecil. Itulah Marhaen, Sahabat kita semua yang harus kita bela dan perjuangkan. Bung Karno dan seluruh Pendiri Bangsa Indonesia mengajarkan kita untuk memperjuangkan itu semua, untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Di GMNI kita akan belajar dan memperjuangkan itu semua.

Mantap tidak?
Mantap dong. Joss! Top markotop!

Tertarik?

Kuy!!!! Gabung! 🙌
Silakan ikut dalam Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB) Komisariat GMNI FIB UGM.

Sabtu 3 September 2016
Di Sekretariat DPC GMNI Yogyakarta.

Narahubung:
Alem Putra Arma (0852-7245-4952)
ID Line: ap_arma

Ini gak cuma untuk Mahasiswa FIB UGM aja, lho. Di UGM kini ada 5 Komisariat GMNI (FIB, FISIPOL, Kedokteran Umum, Kedokteran Hewan, dan Filsafat).

Untuk kamu yang tertarik tapi Fakultasnya belum ada Komisariat, gapapa gabung aja bersama kami di Komisariat GMNI FIB UGM.

Kami tunggu kehadiranmu! 🙌
"Tanpamu, Kita Kurang Satu!"

- Komisariat GMNI FIB UGM -


Wednesday, August 10, 2016

{OPINI KADER}

"SETELAH SARJANA, MAU JADI APA?"


Oleh:
Ahmad Andriyanto
(Kader GMNI FIB UGM)

Pendidikan merupakan sebagai suatu proses pembentukan karakter manusia yang mengarah pada pada kemandirian hidup, memerlukan suatu perencanaan yang matang dan terencana.

Oleh karenanya, peran pendidikan sering diarahkan pada upaya peningkatan kualitas manusia. Keberhasilan pembangunan bangsa, akan sangat bergantung pada kondisi sumber daya manusia yang cukup tinggi sehingga dalam realitasnya dibutuhkan pola penyelenggaraan pendidikan yang mengakomodasi setiap tuntutan kebutuhan lingkungan dan masyarakat.

Pendidikan harus memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan. Salah satu institusi pendidikan yang mampu menciptakan individu yang kritis dan berbudaya adalah perguruan tinggi.

Perguruan tinggi merupakan salah satu institusi pendidikan yang paling diincar oleh setiap pemuda di Indonesia yang ingin melanjutkan studi nya ke jenjang yang lebih tinggi. Setiap tahunnya, tidak sedikit pendaftar perguruan tinggi sehingga terjadi persaingan yang cukup ketat. Setidaknya satu pemuda/i harus mampu mengalahkan minimal 20 orang untuk mendapatkan satu bangku di perguruan tinggi. Banyaknya peminat yang ingin mengenyam pendidikan di perguruan tinggi berdampak pada jumlah perguruan tinggi yang ada.

 Alhasil, dalam satu kota terdapat lebih dari 2 institusi pendidikan selevel dengan perguruan tinggi. Namun, jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah pemuda/i yang mampu mendapatkan bangku kuliah. Bahkan, masih banyak pemuda/i yang putus sekolah dikarenakan gagal dalam seleksi tersebut. Mahalnya biaya pendidikan dan kuota program studi menyebabkan banyak pemuda/i tidak mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan sesuai jurusan yang diinginkan.

Hingga saat ini menjadi sarjana mungkin masih manjadi dambaan dan harapan bagi sebagian besar orang, tentu dengan alasan  dan motif yang  beragam, mulai dari motif yang bersifat naif-pragmatis hingga motif altruistik-idealis.

Dalam hal ini, motif naif-pragmatis bisa dimaknai sebagai dorongan yang lebih tertuju kepada kepentingan pribadi, misalnya untuk menjadi kaya-raya, atau mendapat kedudukan dalam jabatan, melalui upaya dan tindakan yang menghalalkan segala cara. Sementara motif altruistik-idealis dapat dipahami sebagai motif yang didasari untuk melayani dan memberikan manfaat bagi orang lain, melalui upaya belajar keras dan penuh kesungguhan.

Sarjana adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1).  Untuk memperoleh gelar sarjana, secara normatif dibutuhkan waktu perkuliahan selama  4-6 tahun atau telah menempuh perkuliahan dengan jumlah SKS sebanyak 140-160. Jika seseorang sudah dinyatakan lulus oleh sebuah perguruan tinggi, maka dia berhak menyandang gelar sarjana.
Hingga era akhir  70-an,  keberadaan sarjana boleh dikatakan tergolong makhluk langka di bumi Indonesia, mungkin karena pada waktu itu jumlah perguruan tinggi (negeri maupun swasta) di Indonesia masih  relatif terbatas.

Namun seiring dengan semakin diperluasnya jumlah program studi dan terus berkembangnya jumlah perguruan tinggi hingga ke pelosok-pelosok daerah, maka jumlah sarjana Indonesia pun semakin bertebaran, dengan bidang keahlian yang beragam.
Pendidikan dalam era demokrasi memberikan wahana bagi pembentukan nasib dan perilaku masyarakat.

Oleh karena itu, dalam implementasinya, pendidikan diarahkan pada kebijakan yang lebih transparan, serta memiliki komitmen bagi akuntabilitas publik. Secara umum, kondisi masyarakat dalam melihat peran pendidikan hanya sebatas strategi formalistik untuk memperoleh gelar tertentu. Di sisi lain, pendidikan pun masih belum banyak menyentuh terhadap kebutuhan masyarakat secara riil, sehingga seringnya pendidikan dinobatkan sebagai “menara gading” di tengah keberadaan komunitas tertentu. Rendahnya kepedulian masyarakat terlihat dari menurunnya tingkat partisipasi terhadap standar kualitas yang diinginkan, baik secara fisik maupun bobot lulusan.

Saat ini, banyak pemuda yang berorientasi pada gelar dan kelas sosial. Alhasil, pendidikan hanya dijadikan sebatas penopang gelar akademis dan indikasi naiknya kelas sosial. Institusi pendidikan dipacu dan diarahkan untuk menciptakan individu yang kritis, taat peraturan, dan buruh profesional. Nilai-nilai sosial dikesampingkan sehingga menghasilkan sarjana yang lebih mengedepankan citra ketimbang bergaul dengan masyarakat kelas bawah.

Pendidikan yang sebagian besar diisi oleh para kelas menengah dibentuk untuk berorientasi pada proses belajar setinggi-tingginya hanya demi gelar semata, memenuhi ekspektasi orang tua, dan ilmunya pun tidak bermanfaat sama sekali untuk orang lain—malah nggak sedikit juga yang ilmunya mendatangkan mudarat bagi orang banyak. Permasalahan utamanya terletak pada struktur absurd yang menjadikan institusi pendidikan tak terjangkau bagi kaum miskin, dan cara kerjanya makin mirip pabrik percetakan ijazah. Itulah yang semestinya harus diurai bersama.

“Seolah-olah kita ini bukan korban sistem pendidikan cetek yang orientasinya hanya gelar, seolah kita bukan sarjana abal-abal”.

Terlepas dari penting atau tidaknya mendapatkan gelar akademis seseorang, seharusnya seseorang yang ber-“gelar” mampu melihat lebih dalam makna di balik gelarnya, dan menyadari ada sebuah tanggung jawab moral disana, yaitu bagaimana ia bisa bermanfaat bagi kehidupan dan sesamanya sesuai dengan gelar bidang pendidikan yang telah ia raih. Kembali pertanyakan pada diri sendiri, setelah lulus sarjana, lalu mau jadi apa?