Sunday, December 21, 2014

22 Desember: Hari Ibu, Hari Pergerakan Wanita Indonesia

Diambil dari Blog Bung Aslam (Kaderisasi)

https://aslamanandarizal.wordpress.com/2014/12/22/22-desember-hari-ibu-hari-pergerakan-wanita-indonesia/


Setiap tanggal 22 Desember di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Ibu. Di media sosial, hari tersebut selalu menjadi trending topic. Namun banyak yang tidak mengetahui mengapa tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Ibu. Pada 22-25 Desember 1928 diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Hari pembukaan kongres tersebut -22 Desember- ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959 sebagai Hari Ibu. Penetapan tersebut berdasarkan SK Presiden RI No. 316/1959. Kongres Pertama Indonesia yang pertama disebut sebagai titik awal pergerakan wanita Indonesia.

Melihat kondisi wanita Indonesia pada masa sekarang cukup memprihatinkan. Pergerakan wanita Indonesia saat ini seperti macan ompong. Para wanita dari kelas menengah ke atas banyak yang terlena dengan gemerlapnya dunia. Dari golongan sosialita, hingga remaja. Banyaknya pusat hiburan dan perbelanjaan di perkotaan  membuat para wanita semakin jauh dari nilai-nilai perjuangan yang dipelopori oleh R.A. Kartini yang diteruskan oleh Dewi Sartika, Rohana Kudus, dan lain-lain pada masa kolonial. Sementara para wanita dari kelas menengah ke bawah, masih banyak yang tertindas.
Berkali-kali media di Indonesia memaparkan kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga yang kebanyakan wanita, tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, dan buruh wanita terutama yang paling terkenal pada kasus Marsinah di penghujung masa Orde Baru. Seperti kata Soekarno, JAS MERAH: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Memang benar. Di saat ramainya ucapan selamat Hari Ibu di mana-mana. Marilah kita mempelajari sejarah awal pergerakan wanita Indonesia. Hal tersebut menjadi refleksi bagi para wanita Indonesia saat ini untuk tidak melupakan perjuangan para Srikandi bangsa demi keadilan bagi wanita. Juga untuk menyadarkan bahwa 22 Desember bukan hanya Hari Ibu, tetapi Hari Wanita Indonesia.
Menatap 2015, pemerintah harus semakin memperhatikan nasib kaum wanita Indonesia yang tertindas. Dunia pergerakan wanita di Indonesia yang mati suridi masa Orde Baru dengan dominasi PKK & Dharma Wanita, harus digalakkan kembali. Propaganda mengenai pentingnya wanita di Indonesia untuk bergerak melawan ketidakadilan harus diperbanyak.  Perlu ada reformasi bagi organisasi-organisasi wanita di Indonesia saat ini.
SEJARAH PERGERAKAN WANITA INDONESIA
Pergerakan wanita Indonesia pada masa kolonial diawali dari perjuangan untuk meninggikan kedudukan sosial. Menurut A.K. Pringgodigdo, soal-soal politik seperti hak-pemilihan sama tidak menjadi perundingan, sebab kaum laki-laki pun tidak mempunyainya, soal kemerdekaan tanah air sama sekali masih jauh dari padanya. Bagi kaum wanita pada masa itu, paham tentang budi pekerti, keagamaan dan adat, masih menjadi rintangan tersebsar baginya untuk dapat bertindak jauh daripada apa yang dekat-dekat terletak didepannya saja. Hal pertama yang menggerakan kaum wanita untuk bergerak adalah masalah pernikahan dan hidup keluarga. Banyaknya kawin paksa, poligami, kekuasaan mutlak kaum laki-laki dalam pernikahan menyebabkan berontaknya kaum wanita.
KARTINI: PELOPOR KEBANGKITAN WANITA INDONESIA
Raden Ajeng (R.A) Kartini, yang telah dinyatakan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 1964, dan tanggal lahirnya masih dirayakan sebagai hari raya nasional, lahir pada 21 April 1879 dari keluarga yang bermadu. Ayahnya adalah Raden Mas Adipati Sosroningrat, Bupati Jepara. Ibunya adalah istri pertama Bupati itu tetapi secara sosial ibunya adalah istri kedua setelah garwa padmi atau istri pertama yang resmi. Ia dinikahi secara resmi, tetapi karena keturunan golongan rendah, hanya bisa menjadi garwa selir (istri simpanan)[1].
Pandangan umum berdasarkan buku-buku mengenai sejarah pergerakan wanita Indonesia menjelaskan bahwa Kartini adalah pelopor dari pergerakan tersebut. A.K. Pringgodigdo menganggap bahwa pergerakan wanita dalam permulaannya di masa kolonial adalah gerak dari seseorang yakni Kartini. Cita-cita Kartini semakin menyebar dan wanita-wanita Indonesia lain mulai ikut bergerak untuk maksud yang sama yakni pendidikan dan pengajaran untuk kaum wanita. Kartini dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita Indonesia setelah rekannya seorang Kepala Departemen Pendidikan pemerintah kolonial sejak tahun 1900 –J.H Abendanon- pada tahun 1911 menerbitkan tulisan-tulisan Kartini yang merupakan surat-menyurat dengan dirinya berbahasa Belanda yang ia beri judul Door duisternis tot licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Kartini sering dijadikan sebagai referensi utama bagi bangkitnya kesadaran kaum wanita Indonesia pada masa kolonial dan diikuti pada masa berikutnya hingga saat ini. Cora Vreede-De Stuers menyebut Kartini sebagai salah satu tokoh penting dari “para pelopor gerakan feminis”.  Kartini lahir di era transisi antara zaman feodal yang ditandai dengan corak ekonomi tanah (agraris) dan awal-awal bagi tumbuhnya industrialisasi modern, yang waktu itu didominasi industry perkebunan (cultuurstelsel)[2].
Pandangan Kartini yang universal tentang kaum wanita dan manusia telah menempatkannya sebagai tokoh yang memang layak diteladani oleh wanita modern saat ini. Berbeda dengan wanita saat ini yang begitu membanggakan diri akan zaman modern ketika struktur dan kultur pasar bebas (kapitalisme) memenjarakan mereka dalam gaya hidup satu dimensi. Kartini pada zamannya justru mempertanyakan tatanan feodal (kebangsawanan) yang mengungkungnya, yang membuatnya bertanya dan menggugat tradisi yang berkembang untuk memasung kemanusiaan[3]. Meskipun menentang poligami, namun Kartini tak kuasa menolak paksaan keluarga untuk menikahkannya dengan R.M. A.A. Djojohadiningrat, Bupati Rembang saat itu. Kartini meninggal setahun berikutnya, 1904, saat melahirkan anaknya.
Gagasan-gagasan Kartini menyebar begitu cepat dan menggerakkan kaum wanita Indonesia pada masa kolonial untuk mendobrak tatanan lama dalam masyarakat daerah. Semangat emansipasi wanita dan kesetaraan gender pasca wafatnya Kartini semakin tinggi di berbagai daerah di Hindia-Belanda. Tujuan utamanya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada kaum wanita agar tidak terbelakang dan selalu di bawah kekuasaan laki-laki. Pasca diberlakukannya politik Etis oleh pemerintah kolonial, banyak anak-anak bangsawan yang memperoleh kesempatan mendapatkan pendidikan. Hal tersebut membuat pemikiran orang-orang bumiputera semakin sadar untuk melawan penindasan yang ada. Pendidikan yang berbasis rasionalitas ala Barat, membuat rasionalitas para orang-orang bumiputera meningkat. Akibat pendidikan tersebut, muncul banyak organisasi orang-orang bumiputera dari berbagai kalangan yang didirikan hampir berbarengan. Di awali dari Budi Utomo yang berdiri pada 20 Mei 1908, hari tersebut kelak dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada tahun 1912 berdiri organisasi wanita pertama di Hindia-Belanda bernama Putri Mardika. Organisasi yang didirikan dengan bantuan Budi Utomo tersebut bertujuan memajukan pengajaran anak-anak perempuan. Setahun berikutnya pada berdiri organisasi Keutamaan Istri yang didirikan Dewi Sartika. Bertujuan untuk mengadakan rumah-rumah sekolah untuk anak-anak perempuan. Pada tahun tersebut pula berdiri badan-badan untuk mengadakan sekolah-sekolah Kartini. Selain itu, terdapat pula perkumpulan-perkumpulan kaum ibu yang memajukan kecakapan wanita seperti menjahit, memasak, memelihara anak, dan sebagainya. Di antaranya adalah Pawiyatan Wanito di Magelang, Wanito Susilo di Pemalang, Wanito Hadi di Jepara, dan lain-lain. Menurut A.K. Pringgodigdo dalam bukunya Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, karakter dari perjuangan wanita pada masa awal pergerakannya di masa kolonial adalah gerakan perbaikan kedudukan dalam pernikahan, hidup keluarga, dan kecakapan sebagai seorang ibu. Gerak wanita pada masa ini tidak saling menyerang dan dengan pelan-pelan. Pergerakan tersebut pada masa ini tidak bersifat politis, menyerang golongan Islam yang tidak menolak poligami, laki-laki, dan pemerintah kolonial.
Organisasi-organisasi wanita pada masa Hindia-Belanda tersebut menjadi politis baru terlihat pada sekitar tahun 1920-an, ketika organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Taman Siswa dan lain-lain memiliki divisi khusus wanita. Pada periode tersebut (1920-an) pula muncul sejumlah bentuk protes yang terorganisasi pertama melawan masalah semacam pelacuran dan perdagangan perempuan. Menurut Petrus Blumberger, di Jawa Barat perhimpunan perempuan seperti Maju Kemuliaan di Bandung dan Hati Suci, bersuara tegas melawan kejahatan tersebut.
KONGRES PEREMPUAN I: TONGGAK AWAL PERGERAKAN WANITA INDONESIA
Kongres Perempuan Indonesia yang pertama diadakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Dihadiri oleh 30 perkumpulan wanita. Diantara pendorong-pendorong kongres tersebut adalah Putri Indonesia, Wanito Katolik, Wanito Mulyo, Wanito Utomo, Aisyiyah, Jong Islamieten Bond bagian wanita, Sarekat Islam bagian wanita, Jong Java bagian wanita, dan Wanita Taman Siswa. Kongres tersebut dipimpin oleh Nyonya Soekonto. Dalam kongres tersebut diambil keputusan: mendirikan Badan Permufakatan perkumpulan-perkumpulan wanita dengan nama Perikatan Perhimpunan Perempuan Indonesia (PPPII) yang bertujuan untuk memberi penerangan dan perantaraan kepada perkumpulan yang tergabung di dalamnya. PPPII akan memberikan dermasiswa / beasiswa untuk anak-anak perempuan yang pandai dan tidak mampu, mengadakan kursus-kursus tentang kesehatan, memberantas pernikahan anak-anak, dan memajukan kemajuan untuk anak-anak perempuan[4].
Dalam kongres tersebut juga terjadi kesepakatan untuk membuat tiga mosi kepada pemerintah kolonial, yakni menambah sekolah untuk anak-anak perempuan, pemberian keterangan ta’lik pada waktu nikah, mengadakan peraturan untuk menyokong janda-janda dan anak-anak piatu pegawai negeri Hindia-Belanda. Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan ini, hari pembukaan kongres tersebut, 22 Desember (1928), ditetapkan oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959 sebagai Hari Ibu. Penetapan tersebut berdasarkan SK Presiden RI No. 316/1959. Itulah yang dikenal sebagai Hari Ibu saat ini. Sejatinya, 22 Desember bukan hanya Hari Ibu, tetapi juga Hari Pergerakan Wanita Indonesia.
[1]  Saskia Eleonora Wieringa, Hesri Setiawan (penerjemah), Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, 1999, Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra, hlm. 98-99
[2]  Nurani Soyomukti, Perempuan di Mata Soekarno, 2009, Yogyakarta: Garasi, hlm. 30
[3]  Ibid., hlm 32
[4]  Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Masyarakat, 1981, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.171-172

Thursday, December 4, 2014

Mencintai Indonesia (Untuk anak cucu kami)



Mencintai Indonesia
(Untuk anak cucu kami)
Satu alasan,,
Betapa negeri ini terlalu indah untuk dibenci
Sungguh keberagaman menjadi hal mutkak
Identitas bangsa yang dibangun diatas persamaan nasib
Ukiran semangat dan kerja keras menjadi kebanggaan setiap insan
Keindahan setiap lekuk tubuh ibu pertiwi
Memebentuk kegamuman kami terhadap sang Khalik
Dari kami yang mencintai bangsa dan tanah surga ini
Bukankah banyak masalah?
Benar  nak, banyak masalah, teramat banyak untuk dihitung
Adalah mereka yang tidak mencintai bangsa ini penyebabnya
Usirlah mereka nak dari peradaban sejarah
Para perusak....
Suatu hari kelak ...
Akan ada senyum yang menghiasi setiap langkah tegapmu nak
Ceritakanlah, ceritakanlah nak betapa kami bangga
Kami bangga di dilahirkan di tanah yang kau injak sekarang
Damai dan tenang tidur diatas awan keberagaman
Ceritakanlah kepada anak cucu nanti nak
Betapa sudah lamanya kami mencari alsan untuk membenci bangsa ini
Ceritakanlah,ceritakan nak
Betapa banyaknya sampah di negara ini
Tapi ceritakanlah pula betapa kami mencoba pungut  satu persatu
Ceritakan juga betapa banyaknya borok di setiap lekuk tubuhnya
Kami coba obati dengan sebisa kami
Wariskanlah nak, wariskanlah kecintaan kami ini
Suatu hari nanti kau akan tahu
Betapa Semua itu adalah kebenaran nak
Saat semilir angin telah berhenti mengaliri darahmu


Matahari di ujung tanah anarki



Matahari di ujung tanah anarki
Terbit laksana senja di pagi hari
Mungkinkah?
Mungkin saja,senja di pagi hari
Ketika yang belum saatnya tiba tibalah sudah
Tak ada beda baik dan jahat
di tanah anarki
Ajakan pagi dari sebuah sore kelam
Di tanah anarki
Dimana penindasan dihalalkan
Kemunafikan dijunjung tinggi
Keberagaman dipandang rendah
Dan kejujuran tiada berharga
Sebenarnya ada hal yang paling gila di dunia ini
Kebohongan terhadap diri sendiri
Terlalu banyak jawaban kosong
Yang menenggelamkan sejarah
Sejarah peradaban di tanah anarki
Ya di tanah anarki
Lalu,,,
Seperti apa ini akan dilanjutkan
Ketika kebengisan menjadi modal utama
Dalam menentukan nasib berlaksa-laksa
Tergeletak menghampa di pinggiran asa
Tidak ada kejelasan dalam berpihak
Tiada lagi dia punya ruh kebaikan
Di tanah anarki....
Ketika seremoni dikedepankan daripada esensi
Ketika eksekusi dipentingkan daripada kemiskinan
Ketika persepsi ditandingkan dengan fakta
Di tanah anarki
Tiada perbedaan

Tuesday, December 2, 2014

UNTUKMU, PEKIK "MERDEKA!!!"

Disadur dari Blognya Bung Aslam https://aslamanandarizal.wordpress.com/2014/11/24/untukmu-pekik-merdeka/

ASLAMA NANDA RIZAL



Tersapu kian jauh
Terkikis kian habis
Yang dahulu berjaya
Kini langka yang tiba

Dahulu, kau selalu bergema

Penuh hirau akan lapisan sosial
Lambaian dan genggaman tangan
Pertanda, pertanda kau dahulu bermakna!

Dirimu masih resmi

Dirimu masih bersemi
Namun tercabik pedih ini hati
Dirimu tak lagi menyentuh dasar negeri

Kini, dimanakah dirimu?

Kau bilang, kau masih ada
Kau bela dirimu
Ah tidak, kami yang membelamu!

Tidurlah dengan lelap

Nikmatilah semilir angin
Hiruplah udara sejuk yang menyergap
Damaikanlah segenap dirimu punya batin

Cukup! Sudah cukup waktu tidurmu!

Bangunlah! Bangkit dan berjayalah!
Tak mampu? Apa? Kau bilang kau tak mampu?
Pecundang! Lemah!

Teganya, oh teganya

Peluh dan darah dahulu tersemai
Para pendahulu rela berkorban
Demi sesuatu yang indah rasanya
Ya. Terucapnya namamu dengan lantang

Kini, kami yang membelamu

Yang membangunkanmu
Dari tidur panjangmu
Yang membangkitkanmu
Dari penjajahan gaya baru

Kini, namamu selalu terucap

Getaranmu selalu terasa
Jiwamu selalu mengena
Dalam segenap kami punya cinta
Untukmu, pekik “MERDEKA!