Friday, October 16, 2015

JOKOWI, ORDE BARU, DAN MARHAEN INDONESIA

Oleh:
ASLAMA NANDA RIZAL
MAHASISWA JURUSAN SEJARAH UGM
KEMENTERIAN AKSI & PROPAGANDA BEM KM UGM
WAKIL KOMISARIS BIDANG KADERISASI KOMISARIAT GMNI GEOGRAFI UGM

(Materi Pada Diskusi Publik Bersama KAMMI UGM dan HTI Yogyakarta, Jumat 16 Oktober 2015)

20 Oktober 2015 nanti tepat satu tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Walaupun baru setahun menjabat, namun pemerintahan kali ini carut marut. Dalam setahun, terjadi banyak kasus baik dalam skala elit maupun akar rumput di Indonesia. Kurang lebih sebulan setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal tersebut langsung dimaknai negatif oleh kebanyakan masyarakat kita. Dalam tataran elit, kasus pemilihan Kepala Polisi RI (KAPOLRI). Melibatkan Budi Gunawan yang dianggap korupsi karena kasus rekening gendut, kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga yang terbaru mengenai revisi Undang-undang yang bertujuan untuk mengkebiri kekuatan KPK yang dilakukan oleh DPR – RI. Menurut saya, tidak hanya eksekutif, namun juga Legislatif atau Parlemen Indonesia juga keblinger.
Dalam tataran akar rumput, rakyat Indonesia terutama golongan bawah, yang oleh Bung Karno dinamakan kaum MARHAEN, semakin menderita. Baru-baru ini, Presiden Jokowi merilis paket kebijakan ekonomi tahap II. Isinya adalah memudahkan pembukaankeran investasi sebesar-besarnya bagi para pemodal yang berbisnis di Indonesia. Hal tersebut semakin melanggengkan Kapitalisme dan menyengsarakan kaum Marhaen. Sumber daya alam Indonesia semakin dikeruk untuk kepentingan perut pemodal. Bung Karno pernah berkata bahwa Kapitalisme itu bukan suatu bangsa. Kapitalis bukan hanya bangsa asing. Bukan hanya Amerika, Inggris, Jepang, Belanda, dan lain-lain. Tapi juga Kapitalis bangsa sendiri. Kapitalisme bukan soal suku, agama, ras, maupun aliran kepercayaan. Tapi Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi, yang menindas. Sangat menindas. Bahkan sangat Jahannam.
Berikutnya, kasus yang masih langgeng seperti kisah cinta Habibie dan Ainun. Ya, PT. Freeport Indonesia di tanah Papua. Sejak 1967, Freeport Berjaya mengeruk emas di “Rumah Cendrawasih”. Kepingan surge, Papua. Bahkan, kini kontraknya diperpanjang hingga 2041. Maka, sangat wajar jika gerakan Papua Barat Merdeka atau yang dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) menguat di sana. Hal tersebut adalah dampak dari pemerintah Indonesia yang mengizinkan Papua dieksploitasi secara sangat berlebihan. Bahkan, jika dilihat dari atas, tanah Papua kini cekung sangat dalam ke bawah. Sebab tambangnya dikeruk sudah hampir 50 tahun.
Selanjutnya, kasus pembangunan pabrik Semen oleh PT. Semen Indonesia di Kendeng Utara, Rembang. Lalu kasus pembangunan Bandara Kulon Progo Yogyakarta, pendirian tambang dan kebrutalan yang dilakukan TNI – AD di Urut Sewu, Kebumen. Juga yang baru-baru terekspos media dengan sangat masif, kasus pembunuhan secara biadab terhadap Salim Kancil akibat menentang pendirian pembangunan tambang di Lumajang. Jika ditelusuri, tidak heran bahwa saya menyimpulkan. Bahwa Kapitalisme bercokol akibat “Cinta Segi Empat” antara Kapitalis, Pemerintah, Akademisi, dan Aparat Negara (TNI, POLRI, dan Satpol PP). Mereka semua bekerjasama, saling bercinta, untuk kepentingan mereka dan menindas rakyat. Ya. lagi-lagi Marhaen jadi korban. Dan terakhir (yang terekspos media), adalah kasus asap di Sumatera dan Kalimantan. Hal tersebut adalah ulah para Kapitalis, yang seperti saya jelaskan sebetulnya. Didukung oleh Pemerintah, Akademisi, dan Aparat Negara. Hal tersebut membuat kita bertanya, siapa yang salah? Jelas. Pemerintah Jokowi-JK mewarisi pemerintahan sebelumnya, SBY-Boediono. Namun kini, seluruh tanggung jawab tersebut dipikul Jokowi –JK. Dan seluruhnya jika ditelusuri, adalah warisan dari rezim Diktator Orde Baru.

DOSA BESAR ORDE BARU
Orde Baru adalah biang keladi dari perusakan Indonesia. Dengan dalih, Anti-Komunisme dan dalih semangat pembangunan ekonomi, Orde Baru membuka keran investor selebar-lebarnya. Orde Baru adalah kaki tangan Kapitalis dan Imperialis Barat. Para jajaran militer saat itu kebanyakan alumni pendidikan Barat. Sangat wajar, mereka menjadi agen Barat. Padahal sebelumnya, Bung Karno telah mengkonsep perekonomian Indonesia dengan baik. Walaupun banyak kritik terhadap ekonomi Indonesia yang carut marut. Hal tersebut tidak mengapa menurut saya. Sebab, Bung Karno hanya 6 tahun menjabat sebagai Kepala Pemerintahan. sejak 1959 hingga 1965. Sejak 1945 hingga 1959, Indonesia menerapkan sistem Demokrasi Liberal / Parlementer. Bung Karno hanya menjadi Kepala Negara. Bung Karno akhirnya geram dengan sistem tersebut yang dianggap terlalu politis dan mementingkan kepentingan masing-masing partai politik. Bung Karno membubarkan sistem tersebut dan menggantikannya dengan Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, Bung Karno mengkonsep banyak gagasan untuk kemajuan rakyat Indonesia. Bahkan Bung Karno membuat Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yakni Manifesto Politik / UU 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kebudayaan Nasional (MANIPOL / USDEK). Namun sayang, belum sempat terealisasi, Bung Karno dikudeta oleh Suharto dan kawan-kawan gerombolan yang menamakan diri mereka sebagai Orde Baru.
Di masa Orde Baru, kritik terhadap pemerintah atas nama Tuhan dicap “Ekstrim Kanan, DI / TII”. Kritik terhadap pemerintah atas nama rakyat kecil dicap “Ekstrim Kiri, Komunis, PKI”. Aktivitas mahasiswa juga dikebiri dengan diberlakukannya Normalisasi Kebijakan Kampus / Badan Keamanan Kampus (NKK / BKK). Hal tersebut membuat aktivis pergerakan tidak berkutik sebab jika tertangkap akan dikenakan pasal subversive dan mengganggu stabilitas nasional. Hal tersebut membuat langgengnya Kapitalisme pada masa Orde Baru. Saya menganggapnya, Kapitalisme Terpusat. Sebab, perekonomian Indonesia harus lewat keluarga Cendana, keluarga Suharto. Di masa Orde Baru itulah, mindset investasi menghinggapi otak rakyat Indonesia hingga kini. Investasi dan penanaman modal dianggap sebagai cara instan untuk melakukan pembangunan. Indonesia juga menjadi “kacung” IMF & World Bank hingga kini dan sulit lepas dari jeratannya. Hal tersebut adalah efek dari 32 tahun Orde Baru berkuasa.

APA YANG BISA DILAKUKAN MAHASISWA?
            Itu menjadi pertanyaan konkrit yang sering dilontarkan banyak pihak. Apa yang bisa dilakukan mahasiswa? Apakah demonstrasi masih relevan? Apakah pergerakan mahasiswa masih berguna? Dan lain-lain. Berbagai pertanyaan tersebut sejatinya adalah peremehan terhadap kita, mahasiswa yang masih bergerak demi perbaikan bangsa. Saya anggap, aktivis pergerakan mahasiswa kini adalah “spesies langka”. Begitu sulitnya jaman ini. Sebab, Kapitalisme tidak sesederhana yang kita pikirkan. Kapitalisme berkembang dengan baik dan cepat sebab telah mengalami berbagai trial and error. Kapitalisme dulu adalah Kapitalisme Klasik, dan kini menjadi Kapitalisme Tingkat Lanjut. Dengan berbagai cara Kapitalisme dibungkus. Bahkan atas nama agama. Bank Syariah misalkan, mengatasnamakan agama. Mengatasnamakan Islam. Padahal sejatinya hanya kepanjangan tangan dari Kapitalisme.
            Begini, saudara-saudara sekalian. Kita terdiri dari beragam suku, agama, ras, aliran kepercayaan, ideologi, dan organisasi. Marilah kita hilangkan sentiment perbedaan tersebut. Marilah kita bersatu dalam dasar negara Pancasila untuk bergerak bersama secara Gotong Royong. Jangan memperdebatkan masalah konsep negara, karena kami dari GMNI tidak akan pernah sepaham dengan kawan-kawan dari HTI perihal negara. Kami tetap memegang teguh Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai Dasar Negara sampai tetes darah penghabisan hingga nyawa melayang. Kawan-kawan HTI pun demikian dengan konsep Khilafah Islamiyah versi mereka. Saya hadir di sini bukan untuk memperdebatkan itu. Tapi lebih untuk menjalin “ukhuwah” kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia.
            Mungkin terlihat sangat sederhana dan terkesan tidak memberi solusi. Namun marilah kita bertanya, apa yang kita punya untuk menyelamatkan rakyat kecil, kaum Marhaen? Uang melimpah? Kekuasaan? Tidak! Kita tidak punya semuanya. Yang kita punya hanyalah mulut untuk teriak melawan penindasan. Dan jemari tangan yang Tuhan ciptakan untuk menulis, mengetik, dan melakukan ini-itu untuk menyadarkan orang lain demi pembebasan kaum Marhaen (jangan-jangan Marhaen itu ialah kita sendiri) dari belenggu penjajahan halus jaman kini. Dan juga kaki untuk bergerak ke sana ke sini, untuk menghadiri berbagai diskusi dan aksi pergerakan mahasiswa. Sebab, pembuktian itu semua menurut saya bukan saat ini. Melainkan nanti, saat kita telah menjadi “orang”. Saat kita telah bekerja, saat kita telah menjadi pemerintah. Saat kita telah di atas, nurani akan mempertanyakan konsistensimu dalam perjuangan. Pembuktian sesungguhnya adalah saat kita telah diberi wewenang untuk itu.
            Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa jagalah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai Dasar Negara kita. NEGARA INI TIDAK DIBUAT UNTUK MELINDUNGI MINORITAS, BUKAN PULA UNTUK MELEGITIMASI MAYORITAS. TAPI NEGARA INI DIDIRIKAN “SEMUA UNTUK SEMUA”. BUKAN UNTUK SATU GOLONGAN. BUKAN UNTUK SATU AGAMA. BUKAN UNTUK MAYORITAS. BUKAN UNTUK DIA, BUKAN UNTUK MEREKA, BUKAN UNTUK KALIAN, BUKAN UNTUK KAMU. BUKAN UNTUK AKU. TAPI UNTUK KITA. BUKAN UNTUK SIAPA-SIAPA TERSENDIRI, TAPI.. SEMUA UNTUK SEMUA.
Saya tutup celotehan saya ini dengan Surah Al-Ma’un ayat 1 sampai 3. Surah sebagai salah satu dalil perjuangan membela si miskin, kaum Marhaen.
“Tahukah Kamu (orang) yang MENDUSTAKAN AGAMA?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. DAN TIDAK MENGANJURKAN MEMBERI MAKAN ORANG MISKIN (TIDAK PRO MARHAEN, TIDAK PRO RAKYAT KECIL, MENINDAS YANG LEMAH)”.

MERDEKA!!!

MARHAEN MENANG!!!