Oleh: Bung Aslam
Merdeka!!!
Hidup
Mahasiswa Indonesia!!!
Hidup
Rakyat Indonesia!!!
Saudara-saudara
sekalian, setiap tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional. 2 Mei adalah tanggal kelahiran tokoh yang sangat berjasa bagi
pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara. “Bapak Pendidikan Indonesia”
tersebut memiliki nama asli Soewardi Soejaningrat dengan gelar Raden Mas. Ia
lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dan wafat pada 26 April 1959 juga di
Yogyakarta. Ia diangkat sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional oleh Presiden
Soekarno dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305/ Tahun
1959, tanggal 28 November 1959.
Ia
dianggap sebagai “Bapak Pendidikan Indonesia” karena banyak berkontribusi di
dunia pendidikan nasional dengan mendirikan perguruan Taman Siswa pada 3 Juli
1922. Perguruan tersebut bercorak nasional dan menanamkan rasa kebangsaan dalam
jiwa anak didik[1].
Hingga saat ini perguruan Taman Siswa masih kokoh berdiri dan berkembang dengan
sangat baik di Kota Pendidikan, Yogyakarta.
Saya
tidak ingin menulis biografi perihal Ki Hadjar Dewantara. Saya ingin
mempertanyakan kepada saudara-saudara sekalian, apakah hari kelahiran Ki Hadjar
Dewantara hanya diabadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional semata? Apa hanya
cukup dengan melaksanakan upacara bendera setiap tanggal 2 Mei, maka kita telah
larut dalam euphoria-nya? Saya
katakan, tidak! Sebagai Mahasiswa, kita tidak boleh larut dalam hal demikian.
Saudara-saudara
sekalian, 2 Mei 2015 bertepatan dengan 126 tahun hari kelahiran Ki Hadjar
Dewantara. 3 Juli 2015 nanti juga bertepatan dengan 93 tahun berdirinya
perguruan Taman Siswa. Sudah tua. Ya. perjuangan Ki Hadjar Dewantara untuk
mengubah pendidikan Indonesia menjadi lebih baik hampir berlalu seabad.
Hal
tersebut menjadi refleksi bagi kita, bangsa Indonesia. Apakah bangsa kita telah
benar-benar mengenyam pendidikan dengan baik? Apakah pendidikan di Indonesia
telah merata? Apakah seluruh anak-anak kecil nan lugu di Papua sana telah
menikmatinya? Apakah seluruh anak-anak Indonesia dari Sabang hingga Merauke
telah menyicipi manisnya pendidikan dengan layak? Belum saudara-saudara
sekalian! Jangankan di Papua, di Jawa pun masih banyak anak Indonesia yang
belum bisa mengenyam pendidikan dengan layak. Bahkan, sekadar menyicipinya pun
tidak bisa karena himpitan ekonomi.
Berbanding
terbalik dengan kondisi di perkotaan dengan menjamurnya sekolah-sekolah swasta
milik para Kapitalis yang diisi oleh para anak-anak orang kaya. Anak para Kapitalis.
Anak Konglomerat. Anak-anak yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk tersenyum riang
karena kantong orang tuanya begitu tebal. Namun, di perkotaan juga masih banyak
anak yang hanya bisa berlapang dada menerima takdir menjadi anak kaum Marhaen[2],
anak si miskin. Terpaksa menjadi pemulung, terpaksa mengamen, bahkan
dieksploitasi orang tuanya sendiri untuk menjadi pengemis. Itulah keadaan kaum
miskin kota, saudara-saudara sekalian.
Dengan
parafrase yang terkenal dari Ki Hadjar Dewantara yakni “Memanusiakan manusia”,
pendidikan hendaklah menjadikan manusia seutuhnya. Dengan pendidikan, manusia
dibentuk pengetahuan dan karakternya[3].
Pendidikan seharusnya menjadi senjata utama pembebas kaum Marhaen dari
pemiskinan yang dilakukan oleh sistem yang menindas, yakni Kapitalisme,
Kolonialisme, dan Imperialisme. Dengan pendidikan, seharusnya kita sebagai
orang-orang yang berpendidikan membantu para Marhaen mendapat haknya di bidang
pendidikan.
Permasalahannya,
pendidikan saat ini sangat bernuansa Kapitalistik. Bahkan pendidikan secara
tersirat terlah bertujuan melanggengkan cengkeraman Kapitalisme. Menurut
Mastono, pendidikan bernuansa Kapitalistik memiliki dua tujuan utama. Pertama,
untuk memproduksi para buruh siap kerja. Saudara-saudara sekalian, tidak dapat
terelakkan bahwa saat ini universitas, sekolah, dan pendidikan non-formal,
banyak yang mengarahkan para peserta didik menjadi lulusan yang berstandar
dengan perkembangan Kapitalisme. Kedua, pendidikan dikondisikan untuk memaklumi
Kapitalisme. Tidaklah mengherankan bahwa banyak mahasiswa hingga dosen saat ini
menganggap Kapitalisme sebagai corak produksi yang alamiah[4].
Kita
harus melawan hal tersebut, saudara-saudara sekalian. Oleh sebab itu, perlu
dibangun pendidikan yang bernuansa Sosialistik. Pendidikan yang bertujuan untuk
mencapai sila ke-5 Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah sesegera mungkin harus mengusir
seluruh Korporasi penghisap rakyat di Indonesia. namun, dengan mengharapkan
pemerintah semata sangat mustahil tujuan tersebut tercapai. Selain berbagai
tuntutan untuk pemerataan dan keadilan pendidikan bagi rakyat harus terus
dilayangkan kepada pemerintah, kita juga harus memberi pendidikan kepada kaum
Marhaen dari akar rumput.
Salah
satu contohnya adalah Yayasan yang didirikan oleh Anies Baswedan, Indonesia
Mengajar dengan gerakannya yakni Gerakan Turun Tangan. Terjun langsung
memberikan pendidikan kepada kaum Marhaen di berbagai daerah pelosok di seluruh
Indonesia. Selain itu, berbagai komunitas pengajar pun telah banyak berdiri.
Kita harus menghargai hal tersebut dan harus ikut bergabung. Namun lagi-lagi,
tanpa lenyapnya Kapitalisme dan Imperialisme Modern yang bernaung dalam
Korporasi asing dan dalam negeri, mustahil pendidikan yang bernuansa Sosialistik
dapat terlaksana.
Selain
dengan usaha melenyapkan Kapitalisme dan Imperialisme Modern dari bumi
Indonesia, perlu rasanya melanjutkan usaha Ki Hadjar Dewantara untuk
menumbuhkan semangat kebangsaan dalam pendidikan. Oleh sebab itu, sekolah
kebangsaan di Indonesia harus mulai didirikan dan diperbanyak jumlahnya. Saya
memiliki gagasan untuk mendirikan sekolah kebangsaan yang berbasis Nasionalisme
Soekarno.
Mengapa
Nasionalisme Soekarno? Sebab nasionalisme a la Soekarno adalah
Sosio-Nasionalisme. Bukan nasionalisme a la Perancis yang menjadi cikal bakal
Kapitalisme. Bukan pula Nasionalisme a la Jerman, Italia dan Jepang di masa
lalu yang Chauvinis & Fasis. Yang membunuh bangsa lain karena terlalu
membanggakan bangsanya sendiri. Tapi Sosio-Nasionalisme, yakni Nasionalisme
yang bersifat Sosialistik. Nasionalisme yang bertujuan untuk keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Nasionalisme yang berperikemanusiaan seperti
Nasionalisme kata Mahatma Gandhi. Bung Karno sering berkata “Nasionalisme
Indonesia adalah Taman Sarinya Internasionalisme”. Maksudnya adalah demi
mencapai Internasionalisme yang bertujuan untuk keadilan sosial di seluruh
dunia, perlu Nasionalisme Indonesia untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Nasionalisme dalam pandangan Bung Karno dalah tahap awal untuk
menuju Internasionalisme.
Hal
tersebut perlu ditanamkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Sosio-Nasionalisme,
sebagai satu dari tiga bagian dari asas perjuangan buatan Bung Karno,
Marhaenisme (Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, Ketuhanan Yang
Berkebudayaan). Demi mewujudkan hal tersebut, perlu didirikan sekolah
kebangsaan berbasis Nasionalisme Soekarno yang saya sebut sebagai “Sekolah
Sosio-Nasionalisme”.
Memang
terkesan utopis gagasan saya tersebut. namun bukan tidak mungkin hal tersebut
dapat dilakukan, saudara-saudara sekalian. Semua keberhasilan di dunia ini
bermula dari gagasan yang terjebak antara khayalan dan kenyataan. Bukan tidak
mungkin suatu saat nanti “Sekolah Sosio-Nasionalisme” banyak berdiri di seluruh
penjuru Indonesia.
Dengan
penanaman kebangsaan tersebut dalam pendidikan, diharapkan anak-anak Indonesia
akan berjiwa Sosialistik sebab sekolah dan universitas tempat mereka belajar
juga bernuansa Sosialistik. Sehingga tujuan pendidikan dalam pemikiran Ki Hadjar
Dewantara (memanusiakan manusia) dapat terwujud.
Merdeka!!!
Hidup
Mahasiswa Indonesia!!!
Hidup
Rakyat Indonesia!!!
[1]
Team Penyusun Bahtera Jaya, “Album 90 Pahlawan Nasional”, Jakarta: Bahtera
Jaya, 1985, hlm. 39
[2]
Rakyat Indonesia yang dimelaratkan oleh Kapitalisme, Kolonialisme, dan
Imperialisme. Istilah yang dipopulerkan oleh Bung Karno dan menjadi asas
perjuangan buatannya, Marhaenisme.
[3]
Mastono, Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM 2011, Wakil Ketua Bidang Kaderisasi
Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
Yogyakarta, “Pendidikan yang Membebaskan Marhaen: Menyongsong GMNI Mengajar”,
Yogyakarta: DPC GMNI Yogyakarta, materi diskusi menyambut Hari Pendidikan
Nasional, 28 April 2015.
[4] Ibid,.